DEATH WISH (2018)
Rasyidharry
Maret 03, 2018
Action
,
Bruce Willis
,
Camila Morrone
,
Eli Roth
,
Elisabeth Shue
,
Joe Carnahan
,
Lumayan
,
REVIEW
,
Thriller
,
Vincent D’Onofrio
Tidak ada komentar
Death Wish (1974) yang mengadaptasi novel
berjudul sama karya Brian Garfield, memang layak dibuat ulang. Menonton aksi
Paul Kersey (Charles Bronson) menghabisi para kriminal bersenjatakan pistol
pemberian seorang rekan, yang menganggap kepemilikan senjata api oleh warga
sipil bersinonim dengan penurunan angka kriminalitas, kini tentu terasa
mengganggu. Alasannya jelas: gun control
issue. Melalui remake-nya, sejatinya
Eli Roth tidak memberi kontra-argumen. Keputusan merilis filmnya 16 hari pasca
insiden penembakan di SMA Stoneman Douglas pun bakal membuat Death Wish sulit diterima publik
Amerika.
Jika diperhatikan, naskah hasil tulisan Joe Carnahan banyak
melucuti subteks sosial politik film aslinya. Pembahasan soal perlu atau
tidaknya vigilantisme di tengah kurang becusnya polisi masih tertuang,
namun perannya sebatas pembuka jalan bagi Bruce Willis menghujamkan peluru ke
tubuh penjahat buruannya. Fokusnya condong pada kekeluargaan. Keluarga itu
milik Dr. Paul Kersey (Bruce Willis), seorang ahli bedah. Kersey tinggal
bersama sang istri, Lucy (Elisabeth Shue) dan puterinya, Jordan (Camila
Morrone) yang tengah menyiapkan diri untuk berkuliah di New York. Sesekali,
adik Paul, Frank (Vincent D’Onofrio) ikut berkumpul.
Hidup mereka bahagia, dan Roth sanggup menggambarkan
kebahagiaan itu secara nyata, sebagai modal penting menjelang tragedi yang
hendak menerjang. Kala Paul mesti bertugas di rumah sakit, tiga perampok
membobol rumahnya. Perlawanan Lucy dan Jordan justru berujung fatal. Salah satu
perampok melepaskan tembakan. Jordan terbaring koma, sedangkan Lucy meninggal
dunia. Keputusan mengubah karakter Kersey dari arsitek menjadi dokter pun
tepat, sebab duka sekaligus penyesalannya niscaya berlipat ganda. Menolong
nyawa manusia merupakan kegiatannya sehari-hari, dan ia tak kuasa menolong
orang-orang tercinta. Bruce Willis mengingatkan saya betapa dirinya adalah
aktor mumpuni berkat keberhasilan memancarkan kerapuhan pria paruh baya.
Death Wish enggan berlama-lama menunggu guna
mengubah Kersey jadi malaikat maut. Pergulatan psikis, depresi, hingga
konseling sejenak mengisi, tapi sebatas obligasi, supaya ada transisi antara
satu fase kehidupan protagonis dengan fase berikutnya. Kita paham betul,
satu-satunya tujuan Roth yakni memberi Bruce Willis panggung tempat dia bebas menarik
pelatuk pistol, membantai penjahat-penjahat jalanan. Tiada subplot tentang polisi
maupun jaksa yang diam-diam mengamini kehadiran vigilante layaknya film orisinalnya, hanya ada selingan diskusi
ringan dalam sebuah talk show mengenai
pro-kontra aksi main hakim sendiri, yang tak pernah ditujukan untuk
memprovokasi pemikiran penonton.
Roth cuma ingin mencengkeram penonton lewat intensitas. Death Wish paling memukau sewaktu Roth
bermain-main di area yang familiar baginya: thriller
dan kekerasan. Sang sutradara piawai membangun ketegangan memakai kesunyian
penyulut antisipasi “harap-harap cemas” penonton. Dia pun tak
menahan diri pamer kebrutalan, entah berupa cipratan darah, kepala pecah,
sampai luka-luka lain yang membuat penonton umum meringis sambil memalingkan
wajah atau menutup mata, sementara pemuja gore
bakal tersenyum puas. Semakin menyenangkan saat bumbu komedi hitam sesekali
ditaburkan. Sesuai hakikat, klimaksnya merupakan kulminasi, ketika Roth dengan
mulus mencampur sadisme dengan dinamika keluarga seputar usaha ayah melindungi
puteri tercinta. Roth memastikan penonton mau diajak mendukung Kersey.
Eli Roth tidak mau dan rasanya tidak mampu pula menyajikan thriller balas dendam kaya pesan socio-politica cerdas. Alhasil, dikesampingkan
segala tetek bengek tersebut, kemudian berdasarkan pondasi dari naskah milik Carnahan,
diubahnya beberapa aspek cerita dari versi 1974 supaya bermuara pada satu hasil,
yaitu penekanan terhadap unsur kekeluargaan. Death Wish tidak sekompleks film aslinya, tetapi lebih
menyenangkan. Sebagai salah satu orang yang menganggap Hostel overrated, jika
muncul pertanyaan, “apa film terbaik Eli Roth”, saya akan senang hati menyodorkan film ini.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar