Tampilkan postingan dengan label Herjunot Ali. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Herjunot Ali. Tampilkan semua postingan

JERITAN MALAM (2019)

Megah dan dramatis. Sepertinya Soraya Intercine Films ingin kesan tersebut lekat dengan mereka, sekalipun di film horror, yang biasanya identik dengan kesederhanaan (baca: murah). Contohnya adalah Suzzanna: Bernapas dalam Kubur tahun lalu. Mengadaptasi cerita karya meta.morfosis yang sempat ramai dibicarakan warganet dan konon berasal dari kisah nyata, Jeritan Malam mengambil jalur serupa. Berambisi tampil dramatis, menit-menit awalnya bahkan bak tersusun atas cuplikan opera sabun yang berlangsung terlalu panjang.

Ketimbang langsung menghadapi teror, kita lebih dulu disuguhi perjuangan karakter utamanya, Reza (Herjunot Ali), yang setia menarasikan kisahnya bahkan di titik-titik yang tak perlu lagi dijelaskan (naskahnya terlalu literal dalam menerapkan cara bertutur materi aslinya), dalam perjuangannya mencari kerja. Setelah ditolak belasan kali, akhirnya ia diterima bekerja di Jawa Timur. Masalahnya, itu berarti Reza mesti meninggalkan Bogor beserta kedua orang tua, juga kekasihnya, Wulan (Cinta Laura Kiehl). Jelang keberangkatan Reza, filmnya didominasi perpisahan mengharu biru, yang entah berapa kali memperdengarkan kalimat cringey, “Aku bakal kangen luar biasa”.

Kalau anda penasaran mengapa durasi Jeritan Malam bisa mendekati dua jam (119 menit), di situlah jawabannya. Naskah buatan Ferry Lesmana (Danur, Suzzanna: Bernapas dalam Kubur) dan Donny Dhirgantoro (Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Antologi Rasa) gemar menyelipkan drama berlarut-larut yang hanya membengkakkan film ketimbang mencuri hati, akibat paparan dangkal yang hanya bersenjatakan kalimat (sok) romantic, yang di realita, mungkin cuma bakal jadi status Facebook remaja pengidap cinta monyet.

Sebelum berangkat, oleh sang ayah (Roy Marten), Reza dibawakan sebuah kujang sebagai alat pelindung. Berkebalikan dengan ayahnya, Reza bersikap skeptis terhadap hal gaib. Ditambah peristiwa tragis masa kecilnya, ketidakpercayaan Reza berkembang jadi kebencian. Bahkan ketika dua teman kantornya, Indra (Winky Wiryawan) dan Minto (Indra Brasco) menceritakan fakta horor terkait mess yang ketiganya tempati, Reza menolak percaya. Bukan saja enggan percaya, Reza cenderung meremehkan, menendang sesajen, lalu menantang para “penghuni mess”.

Jeritan Malam memang didesain supaya penonton berharap si protagonis tertimpa hukuman atas kesombongannya. Alhasil, bila mengandalkan Reza semata, alurnya takkan menyenangkan diikuti. Karena itulah filmnya mengambil bentuk crowd pleasure, di mana serupa Suzzanna: Bernapas dalam Kubur, humor turut diterapkan lewat kekonyolan dua teman Reza, khususnya Minto, dalam menghadapi kengerian di mess. Jelas bukan komedi cerdas, namun memadai sebagai penambah daya hibur.

Begitu teror dimulai, gerak alur Jeritan Malam sebenarnya sempat repetitif, kala berkali-kali kita disajikan adegan Reza terbangun di tengah malam, minum, sebelum akhirnya diganggu sosok tak kasat mata. Beruntung pengulangan itu tak berlangsung seterusnya, sebab semakin kisahnya bergulir, varian peristiwanya cukup kaya, dari “perjalanan sukma” Reza hingga ritual misterius yang jadi penyebab rentetan tragedi pada babak ketiga.

Jump scare tidak dikesploitasi, biarpun efektivitas kemunculan hantunya tergolong inkonsisten. Misalnya, setelah penampakan sesosok nenek di atas pohon yang punya tata rias lumayan baik, intensitas langsung dirusak oleh serbuan pasukan tuyul dengan kualitas CGI menyedihkan. Tapi satu hal yang cukup menarik adalah bagaimana Rocky, dibantu sinematografi garapan Muhammad Firdaus (My Stupid Boss, Ikut Aku ke Neraka), di beberapa kesempatan, sukses membangun atmosfer bersenjatakan sudut pandang orang pertama. Saya pernah terlibat menggarap acara penelusuran mistis, dan menonton Jeritan Malam rasanya seperti dibawa kembali ke suasana itu, kala menyusuri lokasi-lokasi gelap nan menyesakkan, yang memancing kecemasan karena dari balik kegelapan itu, seolah ada figur menyeramkan tengah mengintai.

Seperti telah disebut sebelumnya, horor satu ini ingin betul terlihat (lebih) mahal, dan itu nampak dari penataan set dan properti, color grading khas Soraya yang memakai kontras rendah, juga musik garapan Andhika Triyadi (Suzzanna: Bernapas dalam Kubur, Dua Garis Biru) yang mengandalkan suara biola menyayat ala horor/thriller klasik. Di antara semua itu, justru akting Herjunot Ali yang nampak paling murah, sebab lagi-lagi ia masih bermasalah dalam mengekspresikan emosi melalui mimik wajah “besar” yang selalu berlawanan dengan definisi “natural”.

Kecintaan Rocky terhadap gore, yang secara mengejutkan kuantitasnya tidak seberapa, menguatkan kesan tragis dari salah satu kematian karakternya. Andai filmnya ditutup tak lama setelah itu. Sayangnya tidak. Jeritan Malam justru menambahkan epilog dramatik cenderung menggurui yang merusak bangunan intensitasnya. Sesungguhnya epilog ini bisa menambah kengerian (menegaskan bahwa iblis yang karakternya hadapi teramat licik dan kejam) sekaligus memantapkan status filmnya sebagai tragedi (sejalan dengan image dramatis Soraya yang saya singgung), jika narasi terkait sebuah ritualnya dikemas lebih rapi dan jelas.

ANTOLOGI RASA (2019)

“Selamat datang di kehidupan cinta gue yang berantakan”, sapa Keara (Carissa Perusset) pada penonton. Dan memang pernyataan itu paling pas, sebab Antologi Rasa sungguh menghadirkan kisah cinta segiempat luar biasa rumit nan berantakan. Begitu berantakan, pesan yang filmnya hendak sampaikan soal hubungan pun bak hilang ditelan keruwetannya. Atau memang tiada pesan apa pun? Ketika pikiran para karakter semakin jernih jelang kisah berakhir, tidak demikian halnya penonton.

Tapi jika anda memandang Antologi Rasa hanya sebagai satu lagi film tentang betapa resahnya mencintai seseorang yang tak dapat dimiliki, adaptasi novel berjudul sama karya Ika Natassa ini sesungguhnya bekerja cukup baik. Saya bisa memahami mayoritas rasa sakit karakternya, bahkan nyaris menitikkan air mata tatkala konflik lagi-lagi dibawa menuju resolusi di bandara, yang mana telah dipakai menutup ribuan drama romantika.

Keara, Harris (Herjunot Ali), Ruly (Refal Hady), dan Denise (Atikah Suhaime) adalah sahabat yang mencari nafkah di satu kantor, bahkan sama-sama datang terlambat di hari pertama bekerja. Ada persamaan lain di antara mereka, di mana masing-masing saling memendam cinta. Harris mencintai Keara yang mencintai Ruly yang mencintai Denise yang sudah menikah. Rumit memang. Antologi Rasa seperti antologi hal-hal menyakitkan yang terjadi saat cinta bertepuk sebelah tangan.

Begitu banyak hal menyakitkan muncul membuat paling tidak ada satu-dua peristiwa yang pernah penonton alami, sehingga merasa terikat terhadapnya. Cukup ambil contoh perasaan Harris. Dia terjebak di friendzone, terlanjur jadi tempat Keara mencurahkan isi hati soal pria lain yang ia cintai. Fisik sang gadis amat dekat, namun tidak hatinya, yang digambarkan oleh suatu malam di Singapura, kala Keara berbaring di perut Harris, sementara si pria hidung belang mengaku sudah menemukan wanita yang sempurna baginya. Tentu Keara tak tahu bahwa wanita itu adalah dirinya.

Paruh pertama, yang menjabarkan perjalanan Keara dan Harris ke Singapura untuk menyaksikan balapan F1 (Ruly membatalkan keikutsertaannya demi menemani Denise), merupakan bagian paling bernyawa berkat keberhasilan Junot sejenak mengesampingkan persona “cowok cool” yang lekat padanya (AKHIRNYA!). Kepribadian unik dan cerianya membawa energi serta getaran menyenangkan, bukan hanya dalam hidup Keara, juga bagi pengalaman menonton kita. Walau sewaktu dipaksa melakoni adegan serius, kecanggungan kaku khasnya kembali lagi.

Carissa, dalam penampilan layar lebar perdana, menunjukkan kualitas yang hanya bisa dideskripsikan melalui kalimat Ruly untuk Keara berikut: “Efek lo ke cowok itu luar biasa”. Bukan cuma soal paras cantik. Ada aura menghipnotis yang memancing ketertarikan. Sesuatu yang mustahil dilatih, dan kelak bakal menjadikannya bintang besar selama jeli memilih peran. Di situasi dramatik, konsistensi Carissa perlu diperbaiki, tapi caranya menghantarkan kalimat emosional di “adegan bandara” cukup membuktikan potensinya. Sebuah kalimat yang lama saya nantikan keluar dari mulut karakter saat menghadapi perpisahan. Kalimat kuat yang bertindak selaku ungkapan perasaan jujur, sehingga saya memaafkan bagaimana Antologi Rasa tenggelam dalam kerumitannya sendiri.

Fase berikutnya, yang menampilkan perjalanan bisnis Keara bersama Ruly ke Bali, sayangnya tak seberapa menarik. Refal membuktikan kapasitasnya memerankan pria baik kharismatik, tapi fakta bahwa Ruly adalah pria kalem yang kurang jago menyegarkan suasana lewat lelucon seperti Harris, menjadkan interaksinya dengan Keara seringkali hampa. Terlalu banyak kekosongan di paruh kedua Antologi Rasa.

Film ini disutradarai Rizal Mantovani (Kuldesak, 5 cm, Eiffel...I’m In Love 2), yang saya percaya, senantiasa memiliki visi ciamik perihal merangkai gambar cantik meski pengadeganannya kekurangan sensitivitas (itu sebabnya kebanyakan horor Rizal berakhir buruk). Rizal tak kuasa mengangkat bobot emosi adegan, tapi lebih dari mampu untuk membuatnya nampak elegan sekaligus mewah. Dibantu sinematografi garapan Muhammad Firdaus (Sang Kiai, My Stupid Boss, Target), semua selalu terlihat cantik, baik pemandangan (Singapura, Bali, bahkan nuansa malam Jakarta) maupun tokoh-tokohnya. Walau akan lebih baik andai Rizal tak terlalu bergantung pada jajaran pemain atau benih-benih yang ditanam naskah buatan Donny Dhirgantoro (Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Supernova: Ksatria, Putri, & Bintang Jatuh) dan Ferry Lesmana (Danur, Suzzanna: Bernapas dalam Kubur).

SUZZANNA: BERNAPAS DALAM KUBUR (2018)

Judul film ini terdengar seperti gabungan antara Bernafas dalam Lumpur (1970) dan Beranak dalam Kubur (1971), dua film yang dibintangi Suzzanna Martha Frederika van Osch. Judul yang disebut pertama bukan horor, namun drama, yang konon merupakan film Indonesia pertama yang berani menonjolkan seksualitas, pemerkosaan, juga kata-kata kasar, dengan “sundel” alias “sundal” alias “pelacur” sebagai salah satunya. Menariknya, elemen-elemen plot Suzzanna: Bernapas dalam Kubur banyak mengambil inspirasi dari Sundel Bolong (1981).

Kebetulan? Sepertinya begitu. Tapi saya bakal percaya jika muncul pernyataan bahwa easter egg di atas adalah kesengajaan. Sebab orang-orang di balik Suzzanna: Bernapas dalam Kubur terbukti paham betul kriteria yang harus dipenuhi kala membuat “Film Suzzanna”. Ini bukan biopic, bukan pula remake, melainkan penghormatan yang dilakukan dengan benar, alih-alih sekedar usaha tak tahu malu guna mengeruk uang. Ini adalah ode yang menunjukkan betapa (warisan) Suzzanna masih menghembuskan napas terornya dari dalam kubur.

Pendekatan tersebut tampak dari pemilihan nama tokoh utama. Bukan Alicia, Lila, atau (yang paling tenar) Suketi, tapi Suzzanna, yang diperankan oleh Luna Maya dalam penjelmaan sempurna sebagai sang ratu horor. Dalam wujud manusia (a.k.a. sebelum bertransformasi menjadi sundel bolong), kita melihat Luna dalam balutan prostetik yang membuatnya bak kembaran Suzzanna, apalagi ditambah kefasihannya berlogat bak noni Belanda. Walau sesekali terdengar inkonsisten, Luna sebagai Suzzanna adalah pemandangan adiktif yang membuat saya lupa, jika butuh beberapa lama sebelum horor merangsek masuk.

Suzzanna dan sang suami, Satria (Herjunot Ali), menjalani kehidupan penuh cinta yang bahagia, khususnnya saat setelah tujuh tahun, momongan yang dinanti akhirnya tiba. Tapi jika mengenal film-film Suzzanna, tentu anda tahu ada tragedi bersiap mengacaukan kebahagiaan mereka. Tragedi yang hadir dalam wujud rencana empat karyawan Satria: Umar (Teuku Rifnu Wikana), Dudun (Alex Abbad), Jonal (Verdi Solaiman), dan Gino (Kiki Narendra). Mereka memutuskan merampok rumah Satria setelah permintaan naik gaji ditolak. Aksi itu dilangsungkan di tengah penugasan Satria ke Jepang, sementara Suzzanna sedang  menghabiskan malam Minggu menonton layar tancap. Ketika di luar dugaan Suzzanna pulang lebih awal, mereka berempat terpaksa membunuh, lalu menguburnya di pekarangan belakang rumah.

Keesokan paginya ia terbangun, seolah baru bermimpi buruk seperti biasa. Sebuah keputusan berani dari naskah karya Bene Dion Rajagukguk (Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 & 2, Stip & Pensil) yang dibuat berdasarkan cerita buatannya bersama Sunil Soraya (Supernova: Ksatria, Putri, & Bintang Jatuh, Single) dan Ferry Lesmana (Danur: I Can See Ghosts). Sekilas absurd, tapi—dalam kasus langka di film horor kita—Bene menyusun aturan-aturan soal apa yang bisa/tidak bisa sundel bolong lakukan, alasan ia melakukan “A” daripada “B”, dan sebagainya. Jumlahnya bisa dihitung jari, tak seberapa kompleks, tapi Bene terus konsisten membangun alur berdasarkan aturan yang ia tetapkan.

Film-film Suzzanna dahulu adalah wujud totalitas hiburan, yang meski punya tujuan utama menakut-nakuti, menolak malu-malu menyentuh ranah kekonyolan, baik melalui komedi maupun cara metode membunuh over-the-top dari sundel bolong. Sebuah hiburan paket lengkap bagi semua kalangan yang seru disaksikan beramai-ramai, baik di studio bioskop atau layar tancap di tengah lapangan kampung. Suzzanna: Bernapas dalam Kubur mengusung tujuan serupa, sehingga diselipkanlah komedi, yang penghantarannnya dilimpahkan pada trio Asri Welas, Opie Kumis, Ence Bagus.

Ketiganya memerankan pembantu Suzzanna. Di satu kesempatan, mereka mecurigai jati diri si majikan, dan memulai penyelidikan yang berujung pada momen paling jenaka sepanjang film. Khususnya Opie Kumis dengan kepiawaian melontarkan celotehan-celotehan absurd yang kelucuannya sukar ditampik. Opie memang komedian berbakat yang butuh lebih banyak tampil di film apik macam ini ketimbang judul-judul seperti Humor Baper (2016) atau Selebgram (2017).

Suzzanna: Bernapas dalam Kubur memang hendak mengikuti formula horor Suzzanna masa lalu, namun juga berfungsi selaku modernisasi. Daripada b-movie, pendekatan lebih “besar” diterapkan, yang mana dapat kita sadari hanya dengan sekilas mengamati tata artistik dan sinematografi garapan Ipung Rachmat Syaiful (Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, Rudy Habibie). Ketika Suzzanna memeriksa seisi rumahnya sewaktu perampokan berlangsung, kameranya bergerak mulus, menyapu seisi ruangan lewat single take untuk memperlihatkan keempat perampok di persembunyian masing-masing. Sedangkan musik gubahan Andhika Triyadi (Dilan 1990, Dear Nathan, Cek Toko Sebelah) terdengar megah sebagai cara mewah menyusun tensi dramatis, yang sayangnya kurang berdampak akibat lemahnya performa aktor utama.

Bentuk modernisasi lainnya adalah ditiadakannya cara membunuh cartoonish, lalu sebagai gantinya, menambah kadar gore. Seberapa pun saya rindu melihat sundel bolong mengendarai mobil atau traktor, harus diakui, pemandangan tersebut akan sulit diterima penonton kekinian. Setidaknya Suzzanna: Bernapas dalam Kubur masih memberi kepuasan serupa kala memperlihatkan setan yang punya peran cenderung heroik ketimbang makhluk kejam, menegakkan keadilan dengan caranya. She’s a supranatural vigilante. Tatkala dunia nyata kerap membebaskan para pelaku kejahatan terhadap wanita dari hukuman, menyaksikan mereka menerima penghakiman di sini jelas menyenangkan.

Aspek horornya memang tak seberapa mengerikan. Mungkin karena sundel bolong tak pernah menampakkan diri di lingkungan yang familiar untuk menghantui “rakyat biasa” (pinggir jalan, perkampungan, dll.) sehingga terornya kurang terasa dekat, atau mungkin, karena Suzzanna sendiri punya aura mistis tak tertandingi. Luna Maya sendiri mengeluarkan kemampuan terbaiknya sebagai sundel bolong dengan tawa menyayat telinga dan mata yang melotot begitu lebar, seolah menatapnya dapat menyebabkan kematian.

Awalnya film ini disutradarai Anggy Umbara (Comic 8, Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss!, Insya Allah Sah 2) seorang, namun pasca suatu peristiwa (yang tak bisa saya ungkap), Rocky Soraya (The Doll, Sabrina) bergabung, berbagi kredit penyutradaraan. Sulit memilah mana hasil kerja Rocky mana Anggy, sehingga saya memutuskan menganggapnya sama rata. Pergerakan ceritanya mulus, menyebabkan alurnya nyaman dinikmati mesti suguhan utamanya tak langsung muncul. Urusan membangun teror, kadang kita diajak berdiam terlalu lama di satu momen sampai intensitasnya turun drastis, tapi siapa pun yang menggarap klimaks, khususnya adegan “Kebangkitan sundel bolong”, layak dipuji atas kemampuan mencuatkan keindahan dari dramatisasi teror. Tonton film ini, nikmati perjalanannnya, kemudian mari menanti, apakah ular di atas pohon itu cuma ular biasa atau petunjuk mengenai reboot untuk.....

TAKUT KAWIN (2018)


“Awas lu ketabrak! Gue doain, gue sumpahin beneran ketabrak lu!”. Itu bukan pertengkaran antara teman, melainkan luapan amarah seorang ibu pada anaknya yang masih kecil, yang saya dengar di halte seusai menonton Takut Kawin. Merawat anak tidak mudah. Banyak orang ragu menikah salah satunya karena belum siap punya momongan. Bagi yang terlambat menyadari ketidaksiapannya, bisa berakhir seperti ibu di atas. Intinya, alasan takut menikah bermacam-macam dan butuh melewati pertimbangan panjang pula rumit sebelum mengambil keputusan. Sehingga saat Bimo (Herjunot Ali) melamar Lala (Indah Permatasari) karena terbawa suasana sekaligus menolak dianggap takut, saya tak terkejut prosesnya bermasalah.

Bimo melamar Lala di pesta pernikahan sahabatnya, Romy (Junior Liem) ketika sedang mengucapkan kata sambutan. Orang tidak tahu malu dan kurang peka mana yang melakukan itu? Lucuny, semua orang, termasuk kedua mempelai tidak tersinggung, bahkan mendukung aksi dadakan itu. Di dunia nyata, Bimo mungkin tidak lagi dianggap sahabat. Di dunia nyata pula, arsitek ganteng nan kaya sepertinya takkan sulit merebut hati wanita atau menjadi “anak rumahan” yang memesan air putih di kelab malam. Bagaimana cara Takut Kawin membuat penokohan itu bisa dipercaya? Meminta Junot berakting penuh kecanggungan dengan bibir jarang terkatup seperti biasa.
Singkatnya, Bimo mulai meragukan keputusannya menikah setelah mendapati ia dan Lala memiliki banyak perbedaan. Dibenturkan pada Lala yang keras kepala, Bimo merasa selalu kalah pula kurang dihargai.  Kejenakaan mengiringi prosesnya mempersiapkan mental menghadapi perkawinan. Setidaknya, begitu tujuan Takut Kawin. Masalahnya, Junot tidak lucu. Usahanya menghidupkan Bimo yang canggung dan plin-plan justru menghasilkan aktin kaku akibat penuturan kalimat tanpa nyawa. Sutradara debutan Syaiful Drajat AS (juga selaku produer eksekutif) bagai kebingungan memakai potensi deadpan comedy sang aktor. Sebaliknya, Indah Permatasri bermain solid, dan karakter gadis keras nan dominan peranannya mestinya lebih dieksploitasi lagi sebagai “counter” bagi Bimo dalam rangka membangun unsur komedi.

Kenyataannya, Junot memang butuh tandem perihal melucu. Tandem yang memberinya kesempatan merespon dan menimpali dengan ekspresi polosnya, bukan yang “menguasai panggung” macam Adjis Doaibu atau Babe Cabita. Contohnya sewaktu Nina Kozok (saya lupa nama tokohnya) menciumnya, lalu bertanya “Is it good?”. Dengan cepat Junot menjawab lewat acungan jempol, tentunya tanpa menutup bibir. Itu lucu. Takut Kawin butuh lebih banyak intraksi mengelitik Junot-Indah.
Itulah mengapa sepertiga durasi akhir amat menghibur, mengangkat kualitas filmnya secara drastis. Bimo selalu menghindari Lala, begitu pun sebaliknya. Tapi kita tahu takdir akan mempertemukan keduanya lagi. Saat akhirnya momen itu terjadi, Takut Kawin berkembang makin mengasyikkan. Tengok konklusinya. Lucu, manis, dinamis, sebab Junot dan Indah saling melengkapi sebagaimana Bimo dan Lala. Takut Kawin bicara soal betapa cinta merupakan poin terpenting pernikahan, alhasil penonton harus dibuat percaya bahwa kedua tokoh utama saling mencintai agar pesan itu tepat sasaran. Sayangnya, selain kuantitas minim, di paruh awal pun kita lebih sering diuguhi pertengkaran ketimbang kemesraan mereka.

Paruh akhirnya turut menyimpan kejutan (a good one), yang eksekusinya terganggu oleh penyutradaraan menggelikan sewaktu Lala memutar lagu Berpisah-nya Angel Karamoy di sela-sela pembicaraan seriusnya dengan Bimo. Sebuah momen yang bukannya menyentuh, justru cringe-worthy. Naskah buatan Alim Sudio yang tidak cukup menggali persoalan kultur pernikahan di Indonesia maupun hubungan kedua protagonis, serta kerap kacaunya pengadeganan Syaiful Drajat AS jadi akar permasalahan Takut Kawin. Seusai film, saya yakin, penonton yang merasa takut melangkah ke jenjang pernikahan bakal tetap takut.

THE DOLL 2 (2017)

Danur: I Can See Ghosts, The Curse, Jailangkung. Ketiganya termasuk horor lokal paling ditunggu karena potensi besar serta digawangi nama-nama tak sembarangan. Sayangnya ada satu persamaan lain yakni sama-sama berkualitas buruk, mengecewakan meski sejatinya digarap sungguh-sungguh. Walau demikian dua di antaranya sukses secara finansial pun nampaknya memancing kembali animo publik terhadap horor. Ikut mencoba peruntungan adalah The Doll 2 yang film pertamanya mengumpulkan lebih dari 550 ribu penonton dan bertengger di posisi 15 film Indonesia terlaris 2016. 

Serupa pendahulunya, film karya sutradara Rocky Soraya ini masih mengumbar kebrutalan, mengandalkan sadisme eksplisit sebagai senjata. Prolognya berurutan menampilkan karakter paranormal Bu Laras (Sara Wijayanto) dari film pertama dan pasangan suami istri Aldo (Herjunot Ali) dan Maira (Luna Maya) beserta puteri tunggal mereka, Kayla (Shofia Shireen). Tanpa basa-basi Rocky memacu filmnya, mengumbar darah sejak menit pertama. Bukan kekerasan kosong, melainkan punya shock value yang salah satu momennya memberi statement tegas: sang roh jahat begitu kejam, bukan hantu narsis yang sekedar doyan muncul tiba-tiba.
Suatu malam kecelakaan lalu lintas yang secara logika mustahil terjadi kecuali ada peranan alkohol merenggut nyawa Kayla, membenamkan Maira dalam depresi. Atas saran sahabatnya yang tidak percaya hal-hal mistis, Elsa (Maria Sabta), Maira mencoba memanggil arwah sang puteri memakai boneka kesayangannya, Sabrina  yang lebih tak masuk akal jadi mainan anak dan membuat Ghawiyah nampak menggemaskan  sebagai medium. Dari situlah teror bermula, menggiring Maira menuju peristiwa-peristiwa mengerikan, seperti salah satunya kemunculan mendadak Sabrina di antara tumpukan cucian yang entah bagaimana, seluruhnya berwarna putih. Menolak percaya cerita sang istri, Aldo membawa Maire bertemu Dini (Mega Caferansa), dokter spesialis kejiwaan yang daripada membimbing justru "menyerang" dan menghakimi "halusinasi" Maira. 
Paragraf di atas mendeskripsikan kelemahan paling fatal The Doll 2 yaitu kebodohan luar biasa naskah garapan Riheam Junianti (Sunshine Becomes You, The Doll, Tarot) dan Fajar Umbara (trilogi Comic 8). Film horor bisa dimaafkan bila tampil bodoh, namun lain cerita saat kebodohan tersebut hadir pada tiap titik penting, menghadirkan ganjalan untuk bisa sepenuhnya menikmati barisan kengerian. Melanjutkan jejak pendahulunya, The Doll 2 menolak eksploitasi jump scare. Kali ini hasilnya lebih baik. Sepanjang second act, ketimbang sekedar melambatkan alur kosong, ada usaha menyelipkan bobot dramatik berupa perjuangan seorang ibu menghadapi duka kehilangan buah hati. Luna Maya pun memberi suntikan nyawa melalui kesanggupan mencurahkan keputusasaan bercampur pilu. Walau akhirnya kesan draggy tetap menyeruak akibat tuturan yang cuma menjangkau permukaan. 

Meski jump scare-nya sempat formulaik, Rocky mampu menyusun beberapa hentakan tak terduga yang efektif memberi daya kejut. Tapi keunggulan terbesarnya adalah teror action-oriented pemicu adrenalin yang berkulminasi di klimaks. Disokong gerak kamera liar Asep Kalila yang mendukung terciptanya suasana chaotic dan gemuruh musik dengan porsi tepat gubahan Anto Hoed, sang sutradara menyajikan puncak intensitas yang acap kali menyinggung ranah kejar-kejaran ala slasher. Membanjiri lokasi dengan darah hasil tusukan berantai atau benturan ke beragam benda, di tangan Rocky tubuh manusia dijadikan target kekerasan tak berujung, seolah memfasilitasi hasrat sadisme dalam diri penonton. Berlangsung cukup lama (sekitar 30 menit), third act-nya adalah sajian bernyali yang jarang ditemui di horor lokal belakangan ini. 


Review film ini tersedia juga di: http://tz.ucweb.com/7_1C1tE