Tampilkan postingan dengan label Herjunot Ali. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Herjunot Ali. Tampilkan semua postingan
JERITAN MALAM (2019)
Rasyidharry
Megah dan
dramatis. Sepertinya Soraya Intercine Films ingin kesan tersebut lekat dengan
mereka, sekalipun di film horror, yang biasanya identik dengan kesederhanaan
(baca: murah). Contohnya adalah Suzzanna:
Bernapas dalam Kubur tahun lalu. Mengadaptasi cerita karya meta.morfosis
yang sempat ramai dibicarakan warganet dan konon berasal dari kisah nyata, Jeritan Malam mengambil jalur serupa.
Berambisi tampil dramatis, menit-menit awalnya bahkan bak tersusun atas
cuplikan opera sabun yang berlangsung terlalu panjang.
Ketimbang
langsung menghadapi teror, kita lebih dulu disuguhi perjuangan karakter
utamanya, Reza (Herjunot Ali), yang setia menarasikan kisahnya bahkan di
titik-titik yang tak perlu lagi dijelaskan (naskahnya terlalu literal dalam
menerapkan cara bertutur materi aslinya), dalam perjuangannya mencari kerja. Setelah
ditolak belasan kali, akhirnya ia diterima bekerja di Jawa Timur. Masalahnya,
itu berarti Reza mesti meninggalkan Bogor beserta kedua orang tua, juga
kekasihnya, Wulan (Cinta Laura Kiehl). Jelang keberangkatan Reza, filmnya
didominasi perpisahan mengharu biru, yang entah berapa kali memperdengarkan
kalimat cringey, “Aku bakal kangen
luar biasa”.
Kalau anda
penasaran mengapa durasi Jeritan Malam bisa
mendekati dua jam (119 menit), di situlah jawabannya. Naskah buatan Ferry
Lesmana (Danur, Suzzanna: Bernapas dalam
Kubur) dan Donny Dhirgantoro (Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck, Antologi Rasa) gemar menyelipkan drama berlarut-larut
yang hanya membengkakkan film ketimbang mencuri hati, akibat paparan dangkal
yang hanya bersenjatakan kalimat (sok) romantic, yang di realita, mungkin cuma
bakal jadi status Facebook remaja pengidap cinta monyet.
Sebelum
berangkat, oleh sang ayah (Roy Marten), Reza dibawakan sebuah kujang sebagai
alat pelindung. Berkebalikan dengan ayahnya, Reza bersikap skeptis terhadap hal
gaib. Ditambah peristiwa tragis masa kecilnya, ketidakpercayaan Reza berkembang
jadi kebencian. Bahkan ketika dua teman kantornya, Indra (Winky Wiryawan) dan
Minto (Indra Brasco) menceritakan fakta horor terkait mess yang ketiganya
tempati, Reza menolak percaya. Bukan saja enggan percaya, Reza cenderung
meremehkan, menendang sesajen, lalu menantang para “penghuni mess”.
Jeritan Malam memang didesain supaya penonton
berharap si protagonis tertimpa hukuman atas kesombongannya. Alhasil, bila mengandalkan
Reza semata, alurnya takkan
menyenangkan diikuti. Karena itulah filmnya mengambil bentuk crowd pleasure, di mana serupa Suzzanna: Bernapas dalam Kubur, humor
turut diterapkan lewat kekonyolan dua teman Reza, khususnya Minto, dalam
menghadapi kengerian di mess. Jelas bukan komedi cerdas, namun memadai sebagai
penambah daya hibur.
Begitu
teror dimulai, gerak alur Jeritan Malam sebenarnya
sempat repetitif, kala berkali-kali kita disajikan adegan Reza terbangun di
tengah malam, minum, sebelum akhirnya diganggu sosok tak kasat mata. Beruntung
pengulangan itu tak berlangsung seterusnya, sebab semakin
kisahnya bergulir, varian peristiwanya cukup kaya, dari “perjalanan sukma” Reza
hingga ritual misterius yang jadi penyebab rentetan tragedi pada babak ketiga.
Jump scare tidak
dikesploitasi, biarpun efektivitas kemunculan hantunya tergolong inkonsisten.
Misalnya, setelah penampakan sesosok nenek di atas pohon yang punya tata rias
lumayan baik, intensitas langsung dirusak oleh serbuan pasukan tuyul dengan kualitas
CGI menyedihkan. Tapi satu hal yang cukup menarik adalah bagaimana Rocky,
dibantu sinematografi garapan Muhammad Firdaus (My Stupid Boss, Ikut Aku ke Neraka), di beberapa kesempatan, sukses
membangun atmosfer bersenjatakan sudut pandang orang pertama. Saya pernah
terlibat menggarap acara penelusuran mistis, dan menonton Jeritan Malam rasanya seperti dibawa kembali ke suasana itu, kala menyusuri
lokasi-lokasi gelap nan menyesakkan, yang memancing kecemasan karena dari balik
kegelapan itu, seolah ada figur menyeramkan tengah mengintai.
Seperti telah
disebut sebelumnya, horor satu ini ingin betul terlihat (lebih) mahal, dan itu
nampak dari penataan set dan properti, color
grading khas Soraya yang memakai kontras rendah, juga musik garapan Andhika
Triyadi (Suzzanna: Bernapas dalam Kubur,
Dua Garis Biru) yang mengandalkan suara biola menyayat ala horor/thriller klasik. Di antara semua itu,
justru akting Herjunot Ali yang nampak paling murah, sebab lagi-lagi ia masih
bermasalah dalam mengekspresikan emosi melalui mimik wajah “besar” yang selalu
berlawanan dengan definisi “natural”.
Kecintaan
Rocky terhadap gore, yang secara
mengejutkan kuantitasnya tidak seberapa, menguatkan kesan tragis dari salah
satu kematian karakternya. Andai filmnya ditutup tak lama setelah itu.
Sayangnya tidak. Jeritan Malam justru
menambahkan epilog dramatik cenderung menggurui yang merusak bangunan
intensitasnya. Sesungguhnya epilog ini bisa menambah kengerian (menegaskan
bahwa iblis yang karakternya hadapi teramat licik dan kejam) sekaligus
memantapkan status filmnya sebagai tragedi (sejalan dengan image dramatis Soraya yang saya singgung), jika narasi terkait sebuah
ritualnya dikemas lebih rapi dan jelas.
Desember 14, 2019
Andhika Triyadi
,
Cinta Laura Kiehl
,
Cukup
,
Donny Dhirgantoro
,
Ferry Lesmana
,
Herjunot Ali
,
horror
,
Indonesian Film
,
Indra Brasco
,
Muhammad Firdaus
,
REVIEW
,
Rocky Soraya
,
Roy Marten
,
Winky Wiryawan
ANTOLOGI RASA (2019)
Rasyidharry
“Selamat datang di kehidupan cinta
gue yang berantakan”, sapa Keara (Carissa Perusset) pada penonton. Dan memang
pernyataan itu paling pas, sebab Antologi
Rasa sungguh menghadirkan kisah cinta segiempat luar biasa rumit nan
berantakan. Begitu berantakan, pesan yang filmnya hendak sampaikan soal
hubungan pun bak hilang ditelan keruwetannya. Atau memang tiada pesan apa pun?
Ketika pikiran para karakter semakin jernih jelang kisah berakhir, tidak
demikian halnya penonton.
Tapi jika anda memandang Antologi Rasa hanya sebagai satu lagi
film tentang betapa resahnya mencintai seseorang yang tak dapat dimiliki,
adaptasi novel berjudul sama karya Ika Natassa ini sesungguhnya bekerja cukup
baik. Saya bisa memahami mayoritas rasa sakit karakternya, bahkan nyaris
menitikkan air mata tatkala konflik lagi-lagi dibawa menuju resolusi di
bandara, yang mana telah dipakai menutup ribuan drama romantika.
Keara, Harris (Herjunot Ali), Ruly
(Refal Hady), dan Denise (Atikah Suhaime) adalah sahabat yang mencari nafkah di
satu kantor, bahkan sama-sama datang terlambat di hari pertama bekerja. Ada
persamaan lain di antara mereka, di mana masing-masing saling memendam cinta.
Harris mencintai Keara yang mencintai Ruly yang mencintai Denise yang sudah
menikah. Rumit memang. Antologi Rasa
seperti antologi hal-hal menyakitkan yang terjadi saat cinta bertepuk sebelah
tangan.
Begitu banyak hal menyakitkan muncul
membuat paling tidak ada satu-dua peristiwa yang pernah penonton alami, sehingga
merasa terikat terhadapnya. Cukup ambil contoh perasaan Harris. Dia terjebak di
friendzone, terlanjur jadi tempat Keara
mencurahkan isi hati soal pria lain yang ia cintai. Fisik sang gadis amat
dekat, namun tidak hatinya, yang digambarkan oleh suatu malam di Singapura,
kala Keara berbaring di perut Harris, sementara si pria hidung belang mengaku
sudah menemukan wanita yang sempurna baginya. Tentu Keara tak tahu bahwa wanita
itu adalah dirinya.
Paruh pertama, yang menjabarkan perjalanan Keara dan Harris ke Singapura untuk
menyaksikan balapan F1 (Ruly membatalkan keikutsertaannya demi menemani Denise),
merupakan bagian paling bernyawa berkat keberhasilan Junot sejenak
mengesampingkan persona “cowok cool”
yang lekat padanya (AKHIRNYA!). Kepribadian unik dan cerianya membawa energi
serta getaran menyenangkan, bukan hanya dalam hidup Keara, juga bagi pengalaman
menonton kita. Walau sewaktu dipaksa melakoni adegan serius, kecanggungan kaku
khasnya kembali lagi.
Carissa, dalam penampilan layar
lebar perdana, menunjukkan kualitas yang hanya bisa dideskripsikan melalui
kalimat Ruly untuk Keara berikut: “Efek lo ke cowok itu luar biasa”. Bukan cuma
soal paras cantik. Ada aura menghipnotis yang memancing ketertarikan. Sesuatu
yang mustahil dilatih, dan kelak bakal menjadikannya bintang besar selama jeli memilih
peran. Di situasi dramatik, konsistensi Carissa perlu diperbaiki, tapi caranya menghantarkan
kalimat emosional di “adegan bandara” cukup membuktikan potensinya. Sebuah
kalimat yang lama saya nantikan keluar dari mulut karakter saat menghadapi
perpisahan. Kalimat kuat yang bertindak selaku ungkapan perasaan jujur,
sehingga saya memaafkan bagaimana Antologi
Rasa tenggelam dalam kerumitannya sendiri.
Fase berikutnya, yang menampilkan
perjalanan bisnis Keara bersama Ruly ke Bali, sayangnya tak seberapa menarik. Refal
membuktikan kapasitasnya memerankan pria baik kharismatik, tapi fakta bahwa
Ruly adalah pria kalem yang kurang jago menyegarkan suasana lewat lelucon
seperti Harris, menjadkan interaksinya dengan Keara seringkali hampa. Terlalu
banyak kekosongan di paruh kedua Antologi
Rasa.
Film ini disutradarai Rizal
Mantovani (Kuldesak, 5 cm, Eiffel...I’m In
Love 2), yang saya percaya, senantiasa memiliki visi ciamik perihal
merangkai gambar cantik meski pengadeganannya kekurangan sensitivitas (itu
sebabnya kebanyakan horor Rizal berakhir buruk). Rizal tak kuasa mengangkat
bobot emosi adegan, tapi lebih dari mampu untuk membuatnya nampak elegan
sekaligus mewah. Dibantu sinematografi garapan Muhammad Firdaus (Sang Kiai, My Stupid Boss, Target),
semua selalu terlihat cantik, baik pemandangan (Singapura, Bali, bahkan nuansa
malam Jakarta) maupun tokoh-tokohnya. Walau akan lebih baik andai Rizal tak
terlalu bergantung pada jajaran pemain atau benih-benih yang ditanam naskah
buatan Donny Dhirgantoro (Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck, Supernova: Ksatria, Putri, & Bintang Jatuh) dan
Ferry Lesmana (Danur, Suzzanna: Bernapas
dalam Kubur).
Februari 15, 2019
Atikah Suhaime
,
Carissa Perusset
,
Cukup
,
Donny Dhirgantoro
,
Ferry Lesmana
,
Herjunot Ali
,
Indonesian Film
,
Muhammad Firdaus
,
Refal Hady
,
REVIEW
,
Rizal Mantovani
,
Romance
SUZZANNA: BERNAPAS DALAM KUBUR (2018)
Rasyidharry
Judul film ini terdengar seperti gabungan
antara Bernafas dalam Lumpur (1970)
dan Beranak dalam Kubur (1971), dua
film yang dibintangi Suzzanna Martha Frederika van Osch. Judul yang disebut
pertama bukan horor, namun drama, yang konon merupakan film Indonesia pertama
yang berani menonjolkan seksualitas, pemerkosaan, juga kata-kata kasar, dengan “sundel”
alias “sundal” alias “pelacur” sebagai salah satunya. Menariknya, elemen-elemen
plot Suzzanna: Bernapas dalam Kubur banyak
mengambil inspirasi dari Sundel Bolong (1981).
Kebetulan? Sepertinya begitu. Tapi
saya bakal percaya jika muncul pernyataan bahwa easter egg di atas adalah kesengajaan. Sebab orang-orang di balik Suzzanna: Bernapas dalam Kubur terbukti
paham betul kriteria yang harus dipenuhi kala membuat “Film Suzzanna”. Ini
bukan biopic, bukan pula remake, melainkan penghormatan yang
dilakukan dengan benar, alih-alih sekedar usaha tak tahu malu guna mengeruk
uang. Ini adalah ode yang menunjukkan betapa (warisan) Suzzanna masih
menghembuskan napas terornya dari dalam kubur.
Pendekatan tersebut tampak dari
pemilihan nama tokoh utama. Bukan Alicia, Lila, atau (yang paling tenar)
Suketi, tapi Suzzanna, yang diperankan oleh Luna Maya dalam penjelmaan sempurna
sebagai sang ratu horor. Dalam wujud manusia (a.k.a. sebelum bertransformasi
menjadi sundel bolong), kita melihat Luna dalam balutan prostetik yang
membuatnya bak kembaran Suzzanna, apalagi ditambah kefasihannya berlogat bak
noni Belanda. Walau sesekali terdengar inkonsisten, Luna sebagai Suzzanna
adalah pemandangan adiktif yang membuat saya lupa, jika butuh beberapa lama
sebelum horor merangsek masuk.
Suzzanna dan sang suami, Satria (Herjunot
Ali), menjalani kehidupan penuh cinta yang bahagia, khususnnya saat setelah
tujuh tahun, momongan yang dinanti akhirnya tiba. Tapi jika mengenal film-film
Suzzanna, tentu anda tahu ada tragedi bersiap mengacaukan kebahagiaan mereka. Tragedi
yang hadir dalam wujud rencana empat karyawan Satria: Umar (Teuku Rifnu
Wikana), Dudun (Alex Abbad), Jonal (Verdi Solaiman), dan Gino (Kiki Narendra).
Mereka memutuskan merampok rumah Satria setelah permintaan naik gaji ditolak. Aksi
itu dilangsungkan di tengah penugasan Satria ke Jepang, sementara Suzzanna
sedang menghabiskan malam Minggu
menonton layar tancap. Ketika di luar dugaan Suzzanna pulang lebih awal, mereka
berempat terpaksa membunuh, lalu menguburnya di pekarangan belakang rumah.
Keesokan paginya ia terbangun,
seolah baru bermimpi buruk seperti biasa. Sebuah keputusan berani dari naskah karya
Bene Dion Rajagukguk (Warkop DKI Reborn:
Jangkrik Boss! Part 1 & 2, Stip
& Pensil) yang dibuat berdasarkan cerita buatannya bersama Sunil Soraya
(Supernova: Ksatria, Putri, & Bintang
Jatuh, Single) dan Ferry Lesmana
(Danur: I Can See Ghosts). Sekilas
absurd, tapi—dalam kasus langka di film horor kita—Bene menyusun aturan-aturan soal
apa yang bisa/tidak bisa sundel bolong lakukan, alasan ia melakukan “A”
daripada “B”, dan sebagainya. Jumlahnya bisa dihitung jari, tak seberapa
kompleks, tapi Bene terus konsisten membangun alur berdasarkan aturan yang ia
tetapkan.
Film-film Suzzanna dahulu adalah wujud
totalitas hiburan, yang meski punya tujuan utama menakut-nakuti, menolak
malu-malu menyentuh ranah kekonyolan, baik melalui komedi maupun cara metode
membunuh over-the-top dari sundel
bolong. Sebuah hiburan paket lengkap bagi semua kalangan yang seru disaksikan
beramai-ramai, baik di studio bioskop atau layar tancap di tengah lapangan
kampung. Suzzanna: Bernapas dalam Kubur
mengusung tujuan serupa, sehingga diselipkanlah komedi, yang penghantarannnya
dilimpahkan pada trio Asri Welas, Opie Kumis, Ence Bagus.
Ketiganya memerankan pembantu
Suzzanna. Di satu kesempatan, mereka mecurigai jati diri si majikan, dan
memulai penyelidikan yang berujung pada momen paling jenaka sepanjang film.
Khususnya Opie Kumis dengan kepiawaian melontarkan celotehan-celotehan absurd
yang kelucuannya sukar ditampik. Opie memang komedian berbakat yang butuh lebih
banyak tampil di film apik macam ini ketimbang judul-judul seperti Humor Baper (2016) atau Selebgram (2017).
Suzzanna: Bernapas dalam Kubur memang hendak mengikuti formula
horor Suzzanna masa lalu, namun juga berfungsi selaku modernisasi. Daripada b-movie, pendekatan lebih “besar”
diterapkan, yang mana dapat kita sadari hanya dengan sekilas mengamati tata
artistik dan sinematografi garapan Ipung Rachmat Syaiful (Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, Rudy Habibie). Ketika Suzzanna memeriksa
seisi rumahnya sewaktu perampokan berlangsung, kameranya bergerak mulus, menyapu
seisi ruangan lewat single take untuk
memperlihatkan keempat perampok di persembunyian masing-masing. Sedangkan musik
gubahan Andhika Triyadi (Dilan 1990, Dear
Nathan, Cek Toko Sebelah) terdengar megah sebagai cara mewah menyusun tensi
dramatis, yang sayangnya kurang berdampak akibat lemahnya performa aktor utama.
Bentuk modernisasi lainnya adalah
ditiadakannya cara membunuh cartoonish,
lalu sebagai gantinya, menambah kadar gore.
Seberapa pun saya rindu melihat sundel bolong mengendarai mobil atau traktor,
harus diakui, pemandangan tersebut akan sulit diterima penonton kekinian.
Setidaknya Suzzanna: Bernapas dalam Kubur
masih memberi kepuasan serupa kala memperlihatkan setan yang punya peran
cenderung heroik ketimbang makhluk kejam, menegakkan keadilan dengan caranya. She’s a supranatural vigilante. Tatkala
dunia nyata kerap membebaskan para pelaku kejahatan terhadap wanita dari
hukuman, menyaksikan mereka menerima penghakiman di sini jelas menyenangkan.
Aspek horornya memang tak seberapa
mengerikan. Mungkin karena sundel bolong tak pernah menampakkan diri di
lingkungan yang familiar untuk menghantui “rakyat biasa” (pinggir jalan,
perkampungan, dll.) sehingga terornya kurang terasa dekat, atau mungkin, karena
Suzzanna sendiri punya aura mistis tak tertandingi. Luna Maya sendiri
mengeluarkan kemampuan terbaiknya sebagai sundel bolong dengan tawa menyayat
telinga dan mata yang melotot begitu lebar, seolah menatapnya dapat menyebabkan
kematian.
Awalnya film ini disutradarai Anggy
Umbara (Comic 8, Warkop DKI Reborn:
Jangkrik Boss!, Insya Allah Sah 2) seorang, namun pasca suatu peristiwa
(yang tak bisa saya ungkap), Rocky Soraya (The
Doll, Sabrina) bergabung, berbagi kredit penyutradaraan. Sulit memilah mana
hasil kerja Rocky mana Anggy, sehingga saya memutuskan menganggapnya sama rata.
Pergerakan ceritanya mulus, menyebabkan alurnya nyaman dinikmati mesti suguhan
utamanya tak langsung muncul. Urusan membangun teror, kadang kita diajak
berdiam terlalu lama di satu momen sampai intensitasnya turun drastis, tapi siapa
pun yang menggarap klimaks, khususnya adegan “Kebangkitan sundel bolong”, layak
dipuji atas kemampuan mencuatkan keindahan dari dramatisasi teror. Tonton film
ini, nikmati perjalanannnya, kemudian mari menanti, apakah ular di atas pohon
itu cuma ular biasa atau petunjuk mengenai reboot
untuk.....
November 17, 2018
Alex Abbad
,
Anggy Umbara
,
Asri Welas
,
Bene Dion
,
Ence Bagus
,
Herjunot Ali
,
horror
,
Indonesian Film
,
Kiki Narendra
,
Lumayan
,
Luna Maya
,
Opie Kumis
,
REVIEW
,
Rocky Soraya
,
Teuku Rifnu Wikana
,
Verdi Solaiman
TAKUT KAWIN (2018)
Rasyidharry
“Awas lu ketabrak! Gue doain, gue sumpahin beneran ketabrak
lu!”. Itu bukan pertengkaran antara teman, melainkan luapan amarah seorang ibu
pada anaknya yang masih kecil, yang saya dengar di halte seusai menonton Takut Kawin. Merawat anak tidak mudah.
Banyak orang ragu menikah salah satunya karena belum siap punya momongan. Bagi
yang terlambat menyadari ketidaksiapannya, bisa berakhir seperti ibu di atas.
Intinya, alasan takut menikah bermacam-macam dan butuh melewati pertimbangan
panjang pula rumit sebelum mengambil keputusan. Sehingga saat Bimo (Herjunot
Ali) melamar Lala (Indah Permatasari) karena terbawa suasana sekaligus menolak dianggap
takut, saya tak terkejut prosesnya bermasalah.
Bimo melamar Lala di pesta pernikahan sahabatnya, Romy
(Junior Liem) ketika sedang mengucapkan kata sambutan. Orang tidak tahu malu
dan kurang peka mana yang melakukan itu? Lucuny, semua orang, termasuk kedua
mempelai tidak tersinggung, bahkan mendukung aksi dadakan itu. Di dunia nyata,
Bimo mungkin tidak lagi dianggap sahabat. Di dunia nyata pula, arsitek ganteng
nan kaya sepertinya takkan sulit merebut hati wanita atau menjadi “anak rumahan”
yang memesan air putih di kelab malam. Bagaimana cara Takut Kawin membuat penokohan itu bisa dipercaya? Meminta Junot
berakting penuh kecanggungan dengan bibir jarang terkatup seperti biasa.
Singkatnya, Bimo mulai meragukan keputusannya menikah setelah
mendapati ia dan Lala memiliki banyak perbedaan. Dibenturkan pada Lala yang
keras kepala, Bimo merasa selalu kalah pula kurang dihargai. Kejenakaan mengiringi prosesnya mempersiapkan mental menghadapi perkawinan. Setidaknya, begitu tujuan Takut Kawin. Masalahnya, Junot tidak
lucu. Usahanya menghidupkan Bimo yang canggung dan plin-plan justru
menghasilkan aktin kaku akibat penuturan kalimat tanpa nyawa. Sutradara debutan
Syaiful Drajat AS (juga selaku produer eksekutif) bagai kebingungan memakai
potensi deadpan comedy sang aktor. Sebaliknya,
Indah Permatasri bermain solid, dan karakter gadis keras nan dominan peranannya
mestinya lebih dieksploitasi lagi sebagai “counter”
bagi Bimo dalam rangka membangun unsur komedi.
Kenyataannya, Junot memang butuh tandem perihal melucu.
Tandem yang memberinya kesempatan merespon dan menimpali dengan ekspresi
polosnya, bukan yang “menguasai panggung” macam Adjis Doaibu atau Babe Cabita.
Contohnya sewaktu Nina Kozok (saya lupa nama tokohnya) menciumnya, lalu
bertanya “Is it good?”. Dengan cepat
Junot menjawab lewat acungan jempol, tentunya tanpa menutup bibir. Itu lucu. Takut Kawin butuh lebih banyak intraksi
mengelitik Junot-Indah.
Itulah mengapa sepertiga durasi akhir amat menghibur,
mengangkat kualitas filmnya secara drastis. Bimo selalu menghindari Lala,
begitu pun sebaliknya. Tapi kita tahu takdir akan mempertemukan keduanya lagi. Saat
akhirnya momen itu terjadi, Takut Kawin
berkembang makin mengasyikkan. Tengok konklusinya. Lucu, manis, dinamis, sebab
Junot dan Indah saling melengkapi sebagaimana Bimo dan Lala. Takut Kawin bicara soal betapa cinta
merupakan poin terpenting pernikahan, alhasil penonton harus dibuat percaya
bahwa kedua tokoh utama saling mencintai agar pesan itu tepat sasaran.
Sayangnya, selain kuantitas minim, di paruh awal pun kita lebih sering diuguhi
pertengkaran ketimbang kemesraan mereka.
Paruh akhirnya turut menyimpan kejutan (a good one), yang eksekusinya terganggu oleh penyutradaraan menggelikan
sewaktu Lala memutar lagu Berpisah-nya
Angel Karamoy di sela-sela pembicaraan seriusnya dengan Bimo. Sebuah momen yang
bukannya menyentuh, justru cringe-worthy.
Naskah buatan Alim Sudio yang tidak cukup menggali persoalan kultur pernikahan
di Indonesia maupun hubungan kedua protagonis, serta kerap kacaunya
pengadeganan Syaiful Drajat AS jadi akar permasalahan Takut Kawin. Seusai film, saya yakin,
penonton yang merasa takut melangkah ke jenjang pernikahan bakal tetap takut.
Maret 11, 2018
Adjis Doaibu
,
Alim Sudio
,
Babe Cabita
,
Comedy
,
Herjunot Ali
,
Indah Permatasari
,
Indonesian Film
,
Junior Liem
,
Kurang
,
Nina Kozok
,
REVIEW
,
Romance
,
Syaiful Drajat AS
THE DOLL 2 (2017)
Rasyidharry
Danur: I Can See Ghosts, The Curse, Jailangkung. Ketiganya termasuk horor lokal paling ditunggu karena potensi besar serta digawangi nama-nama tak sembarangan. Sayangnya ada satu persamaan lain yakni sama-sama berkualitas buruk, mengecewakan meski sejatinya digarap sungguh-sungguh. Walau demikian dua di antaranya sukses secara finansial pun nampaknya memancing kembali animo publik terhadap horor. Ikut mencoba peruntungan adalah The Doll 2 yang film pertamanya mengumpulkan lebih dari 550 ribu penonton dan bertengger di posisi 15 film Indonesia terlaris 2016.
Serupa pendahulunya, film karya sutradara Rocky Soraya ini masih mengumbar kebrutalan, mengandalkan sadisme eksplisit sebagai senjata. Prolognya berurutan menampilkan karakter paranormal Bu Laras (Sara Wijayanto) dari film pertama dan pasangan suami istri Aldo (Herjunot Ali) dan Maira (Luna Maya) beserta puteri tunggal mereka, Kayla (Shofia Shireen). Tanpa basa-basi Rocky memacu filmnya, mengumbar darah sejak menit pertama. Bukan kekerasan kosong, melainkan punya shock value yang salah satu momennya memberi statement tegas: sang roh jahat begitu kejam, bukan hantu narsis yang sekedar doyan muncul tiba-tiba.
Suatu malam kecelakaan lalu lintas yang secara logika mustahil terjadi kecuali ada peranan alkohol merenggut nyawa Kayla, membenamkan Maira dalam depresi. Atas saran sahabatnya yang tidak percaya hal-hal mistis, Elsa (Maria Sabta), Maira mencoba memanggil arwah sang puteri memakai boneka kesayangannya, Sabrina yang lebih tak masuk akal jadi mainan anak dan membuat Ghawiyah nampak menggemaskan sebagai medium. Dari situlah teror bermula, menggiring Maira menuju peristiwa-peristiwa mengerikan, seperti salah satunya kemunculan mendadak Sabrina di antara tumpukan cucian yang entah bagaimana, seluruhnya berwarna putih. Menolak percaya cerita sang istri, Aldo membawa Maire bertemu Dini (Mega Caferansa), dokter spesialis kejiwaan yang daripada membimbing justru "menyerang" dan menghakimi "halusinasi" Maira.
Paragraf di atas mendeskripsikan kelemahan paling fatal The Doll 2 yaitu kebodohan luar biasa naskah garapan Riheam Junianti (Sunshine Becomes You, The Doll, Tarot) dan Fajar Umbara (trilogi Comic 8). Film horor bisa dimaafkan bila tampil bodoh, namun lain cerita saat kebodohan tersebut hadir pada tiap titik penting, menghadirkan ganjalan untuk bisa sepenuhnya menikmati barisan kengerian. Melanjutkan jejak pendahulunya, The Doll 2 menolak eksploitasi jump scare. Kali ini hasilnya lebih baik. Sepanjang second act, ketimbang sekedar melambatkan alur kosong, ada usaha menyelipkan bobot dramatik berupa perjuangan seorang ibu menghadapi duka kehilangan buah hati. Luna Maya pun memberi suntikan nyawa melalui kesanggupan mencurahkan keputusasaan bercampur pilu. Walau akhirnya kesan draggy tetap menyeruak akibat tuturan yang cuma menjangkau permukaan.
Meski jump scare-nya sempat formulaik, Rocky mampu menyusun beberapa hentakan tak terduga yang efektif memberi daya kejut. Tapi keunggulan terbesarnya adalah teror action-oriented pemicu adrenalin yang berkulminasi di klimaks. Disokong gerak kamera liar Asep Kalila yang mendukung terciptanya suasana chaotic dan gemuruh musik dengan porsi tepat gubahan Anto Hoed, sang sutradara menyajikan puncak intensitas yang acap kali menyinggung ranah kejar-kejaran ala slasher. Membanjiri lokasi dengan darah hasil tusukan berantai atau benturan ke beragam benda, di tangan Rocky tubuh manusia dijadikan target kekerasan tak berujung, seolah memfasilitasi hasrat sadisme dalam diri penonton. Berlangsung cukup lama (sekitar 30 menit), third act-nya adalah sajian bernyali yang jarang ditemui di horor lokal belakangan ini.
Review film ini tersedia juga di: http://tz.ucweb.com/7_1C1tE
Juli 21, 2017
Anto Hoed
,
Asep Kalila
,
Cukup
,
Fajar Umbara
,
Herjunot Ali
,
horror
,
Indonesian Film
,
Luna Maya
,
Maria Sabta
,
Mega Caferansa
,
REVIEW
,
Riheam Junianti
,
Rocky Soraya
,
Sara Wijayanto
,
Shofia Shireen
Langganan:
Postingan
(
Atom
)