Tampilkan postingan dengan label Fajar Nugros. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fajar Nugros. Tampilkan semua postingan

REVIEW - SRIMULAT: HIL YANG MUSTAHAL - BABAK PERTAMA

Status sebagai "babak pertama" memang melukai narasi milik Srimulat: Hil yang Mustahal. Naskah buatan Fajar Nugros tampil bak prolog yang diulur-ulur, kemudian usai sebelum memberi payoff sepadan (masalah khas film yang kisahnya dipecah). Secara penceritaan, filmnya lemah. 

Tapi di menit awal, ketika dalam gerak lambat, satu demi satu anggota Srimulat turun dari mobil yang dikerumuni para penggemar, sementara Whiskey and Soda kepunyaan Roberto Delgado yang lebih dikenal publik Indonesia sebagai "lagu tema Srimulat" terdengar, saya bisa merasakan kekaguman Fajar pada kelompok komedi legendaris itu. Srimulat: Hil yang Mustahal mungkin kurang lihai bercerita, namun ia jelas dibuat memakai cinta. 

Alurnya sederhana. Popularitas Srimulat sebagai grup lawak di Jawa telah tersebar, dan mereka pun diundang ke Jakarta guna tampil di televisi nasional. Teguh (Rukman Rosadi), selaku pemimpin Srimulat, mengutus Asmuni (Teuku Rifnu Wikana) untuk mengepalai rombongan yang terdiri dari Timbul (Dimas Anggara), Tarsan (Ibnu Jamil), Tessy (Erick Estrada), Basuki (Elang El Gibran), Nunung (Zulfa Maharani), Paul (Morgan Oey), Anna (Naima Al Jufri), serta istri Teguh, Djudjuk (Erika Carlina).

Muncul satu nama baru, yaitu Gepeng (Bio One), pemain kendang yang justru lebih lucu dari mereka semua. Teguh mengizinkannya bergabung, meski beberapa pihak keberatan, khususnya Tarsan. Penggambaran Tarsan di sini cukup menarik. Penggambarannya tak dipaksakan "sempurna", walau "Tarsan asli" tampil sebagai cameo. Bahkan di salah satu bagian, meski tersirat, filmnya menyebut Tarsan "tidak lucu", karena tugasnya adalah membuat anggota lain terlihat lucu. 

Ada juga bumbu romansa antara Gepeng dan Royani (Indah Permatasari), puteri Babe Makmur (Rano Karno) si pemilik kontrakan tempat Srimulat tinggal selama di Jakarta. Tapi fokus utama tetap tentang para anggota Srimulat, terutama proses mereka mencari kekhasan masing-masing, seperti Tarsan dengan seragam tentara, atau Tessy yang mendapat ide memakai batu akik serta pakaian wanita. 

Penuturannya memang kurang rapi. Kadang tampak ingin bercerita, tetapi bentuknya tidak jarang seperti kumpulan sketsa. Untungnya, kumpulan sketsa yang lucu. Selain humor toilet yang cenderung menjijikkan alih-alih menggelitik, sisanya efektif memancing tawa. Seperti sudah saya sebut, kekaguman Fajar terhadap Srimulat amat kentara. Dia tahu letak "daya bunuh" tiap lawakan, lalu mempresentasikannya berbekal timing serta semangat yang tepat. Ini karya terbaik seorang Fajar Nugros.

Ensemble cast-nya juga berjasa besar. Salah satu ensemble cast terbaik di film kita. Saking bagusnya, sulit memilih sosok favorit. Merujuk pada kemiripan tampang dan gerak-gerik, Ibnu Jamil cukup menonjol. Apalagi ia berhasil "lulus ujian" tatkala muncul di satu frame bersama Tarsan. Tapi bukan berarti nama lain kalah bagus. Bio One di performa terbaik, Teuku Rifnu mengolah citra intimidatifnya selaku penguat komedi, Zulfa Maharani sempurna memotret ke-lebay-an Nunung, sedangkan Elang El Gibran sempat memamerkan kekuatan dramatik di sebuah momen non-verbal.

Momen favorit saya adalah sewaktu anggota Srimulat berkumpul di teras bersama Ki Sapari (Whani Darmawan), kemudian melempar satu per satu lawakan klasik yang sudah kita kenal betul. Saya tertawa, tapi anehnya, juga terharu. Aneh, karena sebagai anak 90an, kenangan saya akan Srimulat yang bubar pada 1989 jelas sedikit. Hanya lewat acara Aneka Ria Srimulat (1995-2003), itu pun sebatas tahu, bukan menggemari. 

Sampai saya sadar, rasa haru tersebut bukan dipicu nostalgia tentang Srimulat, melainkan memori-memori indah yang dibawa lawakannya. Kaki terinjak, melorot dari kursi, dan lain-lain, adalah lawakan yang senantiasa muncul di tongkrongan. Lakukan itu, maka orang-orang yang tumbuh pasca era kejayaan Srimulat pun tetap bakal berkata, "Waah Srimulat". Srimulat telah meresap begitu kuat dalam keseharian kita. Srimulat lebih dari salah satu bagian kultur, melainkan kultur itu sendiri. 

Lawakan Srimulat memang "lawakan tongkrongan". "Gayeng" kalau kata kami orang Jawa. Itulah mengapa pemakaian teras sebagai latar menjadi penting. Tempat yang identik dengan kesantaian, tawa, kehangatan, kebersamaan. Sama seperti nilai-nilai usungan Srimulat.

REVIEW - YOWIS BEN FINALE

"Andai saja" adalah reaksi yang berulang kali muncul di kepala selama menonton ini. Andai saja babak akhirnya dipadatkan, pula dipersingkat sehingga tak perlu dipecah ke dalam dua film. Andai saja demikian, bisa saja Yowis Ben Finale jadi installment terkuat, alih-alih yang terlemah seperti sekarang. Sayang sekali.

Ketika babak konklusi merasa perlu membuka lima menit pertamanya dengan kompilasi trailer tiga judul sebelumnya (plus dua menit rekap ending Yowis Ben 3), entah selaku tapak tilas atau sebatas penambal durasi, jelas ada yang salah. Terbukti, begitu mulai memasuki narasi sesungguhnya, kejanggalan amat terasa.

Yowis Ben Finale dibuka kala Bayu (Bayu Skak), Cak Jon (Arife Didu), dan Ibu Bayu (Tri Yudiman) berada di situasi emosional, menangis, saling minta maaf dan memaafkan. Latar tempat, akting, ditambah konteks mengenai "janji kepada mendiang anggota keluarga", mampu melahirkan pemandangan haru. Tapi ada yang janggal. Adegan ini mestinya mengisi akhir second act, atau bahkan resolusi di third act. Bukan mengawali first act.

Wajar, sebab Yowis Ben 3 dan Yowis Ben Finale sejatinya memang sebuah kesatuan, yang dipotong secara tidak seimbang. Alhasil, struktur narasinya aneh. Film memiliki extended version merupakan hal biasa, tapi Yowis Ben Finale adalah extended third act. Durasi 95 menitnya berisi konklusi-konklusi dari rangkaian konflik film ketiga. 

Konflik Bayu dengan Cak Jon, usaha Cak Jon merebut kembali hati Mbak Rini (Putri Ayudya) dari Arjuna (Denny Sumargo), masalah finansial Doni (Joshua Suherman) dan Yayan (Tutus Thomson), romansa segitiga antara Bayu dengan Asih (Anya Geraldine) dan Susan (Cut Meyriska), hingga cita-cita Nando (Brandon Salim) kuliah di Amerika yang mengancam nasib Yowis Ben, semua penyelesaiannya ditumpuk di sini. 

Kekurangan tersebut jamak menjangkiti finale sebuah seri yang dipaksa untuk dipecah menjadi dua bagian, tapi baru sekarang saya menemukan yang pembagiannya begitu kasar, begitu asal, sepenuhnya menutup mata terhadap kepatutan bercerita. 

Dampak lainnya, kekhasan franchise ini pun lenyap. Gojek kere miliknya masih sekuat biasanya, pun kali ini Devina Aureel diberi kesempatan unjuk gigi memamerkan bakat mengocok perut penonton. Tapi kuantitasnya jauh terpangkas, akibat terpaksa memberi ruang pada drama-drama yang menunggu diselesaikan. Begitu pula terkait band. Yowis Ben adalah kisah sekelompok remaja mengalami proses pendewasaan melalui band, namun kecuali satu sekuen penutup, praktis perihal kegiatan bermusik nyaris tak terjamah. 

Pertikaian internal Yowis Ben kala Nando mengutarakan niat berkuliah di luar negeri juga terkesan dipaksakan. Saya paham bahwa Fajar Nugros dan Bayu Skak selaku penulis ingin menekankan bagaimana keempatnya tak cuma sekadar band, melainkan keluarga yang selalu bersama, dan menolak saling meninggalkan. Tapi sebagaimana diucapkan karakternya, Yowis Ben juga mata pencaharian mereka. Sumber penghidupan bagi keluarga. Ketimbang memutuskan bubar, bukankah lebih masuk akal mencari pengganti, atau terus berjalan sebagai trio? 

Sekali lagi, sangat disayangkan. Padahal beberapa adegan dramatis digarap cukup kuat. Misal pernyataan "Aku ora dianggap maneh?" dari Cak Jon kepada Bayu dan ibunya yang merupakan ekspresi kehangatan nilai keluarga khas Jawa, atau sebuah konklusi masalah berlatar gereja dengan iringan choir yang membawa pesan persatuan. Semua kuat apabila berdiri sendiri. Tapi film adalah kumpulan adegan yang berpadu menciptakan keutuhan narasi. 

REVIEW - YOWIS BEN 3

Seri Yowis Ben, dari judul pertama hingga ketiga, tidak pernah mengalami peningkatan berarti. Baik kekurangan maupun kelebihannya selalu sama. Tapi kelebihannya terkait identitas. Ada identitas kuat yang dipahami betul oleh para penggemarnya, sehingga wajar bila jumlah penontonnya stabil di kisaran yang tinggi (film pertama 935 ribu, film kedua satu jutaan). Itu juga alasan saya terus kembali, termasuk untuk Yowis Ben Finale di akhir tahun nanti, biarpun tak pernah menyebut diri sebagai "penggemar". 

Identitas tersebut berupa candaan. Gojek kere. Menontonnya bak sedang duduk santai di warung kopi sederhana sembari ngobrol ngalor ngidul bersama teman-teman hingga tengah malam. Adakah obrolan berbobot? Mungkin tidak. Bisa jadi esok pagi detail obrolannya sudah terlupakan, tapi kita ingat, bahwa saat itu kita bersenang-senang.

Alkisah, Yowis Ben kini semakin tenar. Tur keliling Jawa tengah dilakoni Bayu (Bayu Skak), Doni (Joshua Suherman), Nando (Brandon Salim), dan Yayan (Tutus Thomson). Apalagi selain Doni, masing-masing mempunyai pasangan suportif. Bayu dengan Asih (Anya Geraldine), Nando dengan Stevia (Devina Aureel), sedangkan Yayan dan Mia (Anggika Bolsterli) bahagia berkat keberadaan putera mereka, Singo (tentu nama unik si bayi dijadikan running joke menggelitik sepanjang durasi). 

Sayangnya, rentetan masalah segera menghampiri. Nando terjebak dilema karena ingin berkuliah di luar negeri, sementara keluarga Bayu dan Doni sama-sama terlilit kesulitan finansial. Masalah terpelik dihasilkan Cak Jon (Arief Didu), yang belakangan sulit fokus pada pekerjaannya. Terlebih saat mantannya, Rini (Putri Ayudya), mendadak muncul, dalam posisi telah bertunangan dengan Arjuna (Denny Sumargo), seorang tentara.

Seperti saya sebutkan di atas, Yowis Ben terasa seperti obrolan ngalur ngidul, sebab memang demikian alurnya dikemas. Tidak tertata. Misalnya first act yang tampil layaknya road movie, namun tanpa destinasi pasti. Sebatas kedok agar naskah buatan Fajar Nugros dan Bayu Skak bisa melempar lelucon-lelucon secara acak. 

Pun memasuki menit-menit berikutnya, penceritaan semakin sulit fokus akibat jumlah konflik yang turut bertambah. Apalagi Yowis Ben 3 adalah bagian pertama dari dua bagian babak final, sehingga jangankan resolusi, beberapa konflik bahkan belum terurai secara memadai. Alurnya tampak seperti keping-keping puzzle yang berserakan di lantai. 

Tapi bukankah Yowis Ben memang senantiasa begitu? Poin-poin di atas dituliskan karena tetap merupakan kelemahan, tetapi sejak sebelum film dimulai, saya sudah mengantisipasinya, memilih untuk menerimanya, dan tidak lagi ambil pusing. Saya datang untuk menertawakan gojek kere para anggota Yowis Ben, Cak Jon, dan Kamidi (Erick Estrada). 

Biarpun cenderung hit-and-miss (juga masalah lama), secara keseluruhan, saya menikmatinya. Saya yakin target pasarnya bakal berpikiran serupa. Saya tertawa setiap ada yang terkejut mendengar nama "Singo". Saya tertawa ketika lelucon "batuk dan batik" dilontarkan, walau telah berkali-kali menyaksikannya di trailer. Saya tertawa membaca papan bertuliskan "Band Liyo". Imajinasi liar cenderung ngawur, pelesetan receh, hingga pisuhan-pisuhan, semua itu adalah wujud hiburan yang dekat.

Ada satu keunggulan di luar komedinya. Di babak akhir, Arief Didu dan Bayu Skak memamerkan kemampuan akting drama mereka. Saya cukup terkejut melihat Bayu. Ini penampilan terbaiknya. Penonton Jawa mungkin juga merasakan, bagaimana menusuknya kata-kata yang Bayu ucapkan. Kata bernada penyesalan akibat bersikap "durhaka" terhadap keluarga, yang rasanya takkan sekuat itu dampaknya bila diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Itulah yang disebut identitas.

DIGNITATE (2020)

Dignitate jelas bukan persembahan terbaik seorang Fajar Nugros, tapi film ini membuktikan bahwa sang sutradara/penulis naskah telah memantapkan cirinya, terutama perihal mengocok perut penonton lewat “gojek kere”. Bahkan dalam karya terbarunya yang dipenuhi keklisean dramatisasi khas adaptasi cerita Wattpad remaja ini, gaya tersebut tetap Fajar pertahankan dan berujung mengangkat kualitas Dignitate, walau akhirnya tidak banyak yang dapat dilakukan, sebab ia mendapat materi sumber yang terlanjur sukar diperbaiki.

Dikisahkan, Alana (Caitlin Halderman) terpaksa pindah ke sekolah baru akibat suatu alasan yang baru diungkap belakangan. Karena alasan itu pula mamanya (Izabel Jahja) bersikap (terlalu) protektif. Di kelas, Alana duduk sebangku dengan Alfi (Al Ghazali), siswa idola para siswi yang bukan cuma ganteng, juga berotak encer. Walau demikian, sososk Alfi jauh dari kata ramah. Dia hanya fokus pada pelajaran, juga kerap berlaku kasar kepada wanita, biarpun sahabatnya, Keenan (Teuku Ryzki), berulang kali memintanya berubah.

Tidak perlu menonton ribuan film atau membaca setumpuk novel remaja untuk tahu, walau awalnya selalu bertengkar, Alana dan Alfi nantinya akan saling cinta. Masalahnya adalah, mereka berdua sama-sama menyimpan masa lalu kelam. Dan bukan cerita Wattpad populer namanya, kalau tidak ada twist berupa keterkaitan-keterkaitan yang didasari kebetulan-kebetulan menggelikan. Ditambah jajaran pemain berparas cantik dan tampan, bagi sebagian besar target pasarnya, Dignitate punya amunisi lengkap untuk membuat mereka berteriak histeris bahkan menangis.

Penonton di luar golongan tersebut mungkin juga bakal menangis. Menangis meratapi mengapa remaja sekarang menggilai kisah semacam ini, yang seolah tidak lengkap jika ceritanya belum berlarut-larut guna memfasilitasi semua jenis penderitaan dan kesialan, yang memancing respon “Ya ampun kasihan banget!” atau “Ya Tuhan, bisa-bisanya....”. Apabila filmnya ditutup sekitar 10 menit lebih cepat, niscaya hasilnya jauh lebih baik.

“Berlebihan” adalah kata yang paling pas menggambarkan alur Dignitate. Sangat berlebihan, niat baik menyampaikan pesan tentang “harga diri wanita” tenggelam dan berhenti sebagai kalimat-kalimat kosong yang keluar dari mulut karakternya saja. Tapi selaku penulis naskah, Fajar Nugros memang tidak bisa berbuat banyak. Tuntutan setia terhadap materi adaptasi karya Hana Margaretha demi memuaskan penggemar tak bisa dikesampingkan, meski beberapa kebodohan semestinya bisa diperbaiki.

Hasil pencarian gambar di Google untuk kata "Alana" yang seluruhnya memperlihatkan wajah si karakter; mama Alana yang dengan mudah melunak walau baru sekali bertemu Alfi; bagaimana Alana bisa mendadak muncul di parkiran pada sebuah peristiwa dramatis jelang akhir. Berbagai kejanggalan di atas bukanlah keabsolutan yang mustahil dibenahi.

Tapi seperti telah disampaikan, untungnya Fajar melakukan satu “pertolongan darurat” dengan cara menginjeksi humor-humor ringan andalannya, yang setia menyegarkan suasana di tengah tuturan dramanya. Tahun lalu Fajar juga sempat menggarap adaptasi cerita Wattpad lewat MeloDylan, tapi keliarannya bagai tertahan. Sedangkan dalam Dignitate, tiap ada kesempatan, komedi selalu ditampilkan. Dan uniknya, ini termasuk salah satu presentasi komedi terbaik yang pernah Fajar lakukan. Materinya segar, timing penghantarannya tepat, dan jajaran pemainnya, termasuk Teuku Ryzki, Dinda Kanya Dewi, hingga dua langganan sang sutradara, yakni Arief Didu dan Erick Estrada, mampu memanfaatkan kesempatan sesingkat apa pun.

Sedangkan pada dua pemeran utama, terjadi ketimpangan. Sewaktu penampilan Caitlin Halderman dapat dijabarkan memakai kata-kata yang mendeskripsikan “protagonis lovable” (lucu, bertenaga, menggemaskan, dan lain-lain), Al Ghazali belum berubah sejak debutnya di Runaway enam tahun lalu. Gestur, mimik wajah, maupun luapan emosinya masih kaku. Mungkin ada unsur kesengajaan mengingat penokohan Alfi yang juga “kaku”, tapi itu bukan berarti sang aktor harus bertingkah layaknya robot sepanjang durasi.

MELODYLAN (2019)

Diangkat dari cerita Wattpad berjudul sama yang kemudian dijadikan novel, MeloDylan mungkin mewakili anggapan muda-mudi usia remaja awal mengenai definisi “cerita kompleks”. Mengangkat tema “move on” selaku kegemaran target pasarnya, kita dijejali “lingkaran setan” di mana tokoh-tokohnya mencintai seseorang, yang sayangnya menaruh hati pada pihak lain. A mencintai B, B mencintai C, C mencintai D, D mencintai A.

Seperti judulnya telah sampaikan, dua tokoh utamanya adalah Melody (Aisyah Aqilah) dan Dylan (Devano Danendra). Sebagai siswi baru, Melody sudah menyulut kehebohan selepas kabar  ia diantar pulang Dylan diketahui seisi sekolah. Dylan memang sosok idola wanita. Tapi si cowok populer sendiri hanya menyukai Bella (Zoe Abbas Jackson), teman masa kecilnya yang sakit-sakitan. Di sisi lain, Bella sudah lama menyimpan perasaan kepada Fathur (Angga Aldi Yunanda), yang rupanya mencintai Melody.

Selanjutnya adalah paparan mengenai usaha tokoh-tokoh menghadapi kondisi di mana cinta bertepuk sebelah tangan, berusaha melangkah ke luar dari sakit hati tersebut, yang dipresentasikan melalui jalinan alur episodik. MeloDylan tampil bagai kumpulan bab-bab novel, yang satu dan lainnya nyaris tanpa jembatan penghubung. Akibatnya, narasi bergerak kasar, penuh keterburu-buruann dalam menyajikan proses yang dilalui karakternya.

Padahal move on butuh proses. Apalagi jika membahas Dylan, yang telah sejak dahulu mencintai Bella. Bagaimana mungkin semudah itu Dylan mengaku di depan Bella, kalau ia mulai menyukai Melody? Apa pula yang membuatnya terpikat pada sang siswi baru? Baik Dylan maupun Melody tak memiliki kualitas menonjol (selain paras rupawan) supaya penonton setidaknya bisa mempercayai ketertarikan di antara mereka.

Aisyah Aqilah melalui gaya manja ditambah sisi keras kepala mempunyai kapasitas serupa Shandy Aulia di Eiffel...I’m In Love. Penampilan menghibur yang tak mampu ditandingi lawan mainnya, Devano Danendra, yang tanpa kharisma, nampak tersiksa memerankan pemuda cuek idola remaja. Alhasil, hubungan Melody-Dylan jauh dari menarik. Saya lebih tertarik menyaksikan kekonyolan pasangan Anna (Yasmin Napper) dan little prince-nya, Angga (Indra Jegel).

Ya, MeloDylan cukup terselamatkan berkat sentuhan humornya. Dilandasi naskah buatan Endik Koeswoyo (Me & You vs The World, Erau Kota Raja), sutradara Fajar Nugros menularkan gaya “gojek receh” yang belakangan makin ia patenkan pasca kesuksesan dua film Yowis Ben. Membawa dua pelakon andalannya, Arief Didu dan Erick Estrada (yang kembali memerankan tokoh bernama Mukidi), banyolan-banyolan “murah” yang sering memadukan kebodohan dan absurditas mampu melahirkan kesegaran yang jarang ditemui dalam film setipe.

Seolah Fajar tahu, apabila digarap sebagaimana romansa putih abu-abu kebanyakan, MeloDylan bakal minim dinamika. Terbukti, begitu menyentuh paruh akhir tatkala komedi mulai dikesampingkan, filmnya pun tampil menjemukan. Rentetan konflik dramatik dengan urgensi yang sesungguhnya tinggi namun terkesan dipaksakan guna menyulut pertikaian mulai mengisi. Apa susahnya bagi Dylan berpamitan pada Melody (bahkan kalau perlu mengajak kekasihnya itu) untuk membesuk Bella yang kondisinya anjlok? Momen penutupnya berpotensi menghadirkan romantika manis, andai saja kita diajak lebih banyak menghabiskan waktu berkualitas bersama dua protagonisnya.

YOWIS BEN 2 (2019)

Sebuah band merantau dari kampung halaman dan/atau mengganti manajer “asli” karena dianggap kurang kompeten memfasilitasi ambisi mereka melompat lebih jauh adalah perkara umum. Biar demikian, situasi itu sungguh rumit. Tapi dalam Yowis Ben 2, pesannya sederhana: Tindakan tersebut tidaklah bijak, karena kita tidak seharusnya meninggalkan keluarga yang tumbuh bersama kita sedari nol.

Tapi apakah anda mengharapkan olahan cerita kompleks dari film begini? Rasanya tidak. Serupa keceriaan lagu-lagu synth-pop berbahasa Jawa milik Yowis Ben, filmnya pun tercipta demi menyulut keceriaan penonton. Kedalaman dan kesubtilan mungkin tetap dirindukan, tapi takkan menghancurkan Yowis Ben 2. Sebab memasuki film kedua, pijakannya makin mantap, sementara humor mengalir nyaman dan penuh percaya diri.

Alkisah, setelah lulus SMA, para personil Yowi Ben dihadapkan pada rentetan masalah. Bayu (Bayu Skak) ditinggalkan kekasihnya, Susan (Cut Meyriska), yang memilih berkuliah di Jerman bersama Roy (Indra Widjaya). Konflik yang dipresentasikan sambil lalu ini sejatinya membuat segala perjalanan film pertamanya sedikit sia-sia. Bukan itu saja, ia mesti membantu sang ibu (Tri Yudiman) melunasi kontrakan rumah.

Lalu ada Yayan (Tutus Thomson), yang selepas menikahi Mia (Anggika Bolsterli) via taaruf, dituntut menanggung perekonimian keluarga. Nando (Brandon Salim) masih kesulitan menerima papanya (Richard Oh) berpacaran lagi, tapi hal ini tak berdampak besar akan keseluruhan kisah, sedangkan Doni (Joshua Suherman).....well, he’s just there.

Berangkat dari beberapa kegundahan itu, Yowis Ben merasa Cak Jon (Arief Didu) tak lagi cocok menjadi manajer, karena ia berulang kali memberi mereka gig absurd (sunatan massal, lapas, dan lain-lain) yang gagal menghasilkan bayaran. Secara bersamaan, datanglah Cak Jim (Timo Scheunemann) dan asistennya, Marion (Laura Theux), menawarikan diri memanajeri Yows Ben asalkan mereka mau pindah ke Bandung. Cak Jim menjanjikan kehidupan mewah serta kesuksesan kilat. Yows Ben tergiur.

Sesampainya di Bandung, semangat keempatnya diuji, pula kebersamaan mereka tatkala idealisme dan tali kekeluargaan berbenturan dengan kebutuhan material. Kembali, situasi tersebut lebih kompleks dari sekedar “Jika memilih uang artinya kamu rakus dan tidak berperasaan”. Tapi memang itulah pesan usungan film ini. Mau tidak mau kita mesti menerimanya. Setidaknya itu pesan yang baik.

Seperti beberapa komedi yang juga ditulis Bagus Bramanti belakangan ini (Yowis Ben, Benyamin Biang Kerok, Love Reborn: Komik, Musik, & Kisah Masa Lalu), jalinan ceritanya berceceran di segala penjuru bagai tak terstruktur. Kisahnya penuh sesak—termasuk romansa Bayu dengan Asih (Anya Geraldine) si gadis Bandung—dan bukan mustahil penonton melupakan intisari kisahnya, sebelum diingatkan lagi oleh third act yang menyelesaikan konflik dengan begitu sederhana, cenderung menggampangkan.

Walau menyoroti perjalanan sebuah band, dan kita masih sering melihat mereka memainkan lagu-lagu yang tak kalah catchy dibanding film pertama, substansi kisah Yowis Ben 2 adalah bagaimana sebuah keluarga menghadapi perbedaan di antara mereka. Ujian itu juga saya rasakan saat mendapati Yayan melakukan taaruf, suatu praktek yang saya kurang sependapat. Tapi naskah Bagus Bramanti bukan propaganda taaruf (atau hal lain), melainkan sekadar presentasi realita. Karena itu, saya pun tergerak untuk menghormati karakter berbeda keyakinan seperti Yayan, membuktikan bahwa filmnya cukup berhasil menyampaikan pesan.

Pesan baik tersebut (dan elemen cerita lain) bakal makin berdampak andai penyampaian komedi dan dramanya tidak terkesan berdiri sendiri-sendiri. Seolah saya bisa mendengar filmnya “ganti gigi” kala melompat dari komedi menuju drama, dan sebaliknya. Pada mode komedi, karakternya bersikap sekonyol mungkin, namun begitu menginjakkan kaki di area drama, karakter yang sama mendadak bisa  bicara luar biasa serius, bahkan melontarkan petuah-petuah bijak yang bepotensi membuat Yowis Ben 2 terdengar preachy bagi sebagian penonton.

Beruntung, keceriaan “gojek kere” film ini mampu mengangkangi kelemahannya. Bukan cuma materi yang makin segar, penyutradaraan Fajar Nugros (Yowis Ben, Moammar Emka’s Jakarta Undercover) pun makin baik berkat kesediaan memperhatikan timing kala menghantarkan humor. Jajaran cast pun masih bersinar. Arief Didu berkesempatan memamerkan kapasitas mengolah rasa, Bayu Skak makin nyaman menampilkan talenta komikal lewat ekspresi dan penyampaian hiperbolis, sedangkan Anggika Bolsterli sekali lagi membuktikan bahwa ia salah satu aktris paling “gila” saat ini.

GENERASI MICIN (2018)

Generasi Micin adalah tontonan menghibur, tapi menilik dari usahanya mengangkat jarak antargenerasi sekaligus observasi terhadap remaja kekinian, film ini kosong. Ibarat hidangan penuh micin, terasa sedap namun kurang bergizi. Bukan masalah andai tujuannya memang sebatas hiburan ringan, tapi bahkan sejak sekuen pembukanya bergulir, karya penyutradaraan teranyar Fajar Nugros (Yowis Ben, Terbang: Menembus Langit) ini mengincar lebih.

Sekuen yang dimaksud menampilkan Anggara muda (Brandon Salim), sebagai keturunan Cina masa lalu, menghabiskan hidupnya bekerja keras belajar berdagang. Bahkan setelah dewasa (diperankan Ferry Salim) dan menikah, ia menjanjikan sang istri (Melissa Karim) ruko mewah di Pantai Indah Kapuk. Fakta-fakta tersebut berlaku sebagai perbandingan begitu kita bertemu putera sulung Anggara, Kevin (Kevin Anggara), si generasi micin yang (katanya) ingin semua berjalan instan, enggan bersosialisasi, memilih berkutat dengan gadget dan video game di kamarnya.

Komparasi lain datang dari Trisno (Morgan Oey), generasi pasca reformasi, yang merujuk pada salah satu dialog, punya ciri berkebalikan dengan generasi micin: lambat. Trisno sempat bermimpi jadi penyanyi, sebelum membuangnya, dan kini hanya menghabiskan waktu bermalas-malasan di rumah. Generasi Trisno tak digali cukup dalam, tapi tak jadi soal. Pertama, ini bukan film tentang mereka. Kedua, Morgan menampilkan salah satu performa terbaik, paling natural, paling asyik disimak sepanjang karirnya. Begitu asyik, saya lupa bahwa sosok Trisno tak seberapa berarti. Dia hanya memberi petuah singkat bagi Kevin, sebuah peran yang sejatinya turut diemban Anggara.

Naskah tulisan Faza Meonk (Si Juki the Movie: Panitia Hari Akhir) kebingugnan hendak menyampaikan apa serta bagaimana. Kadang, Generasi Micin bagai ingin menunjukkan perbedaan remaja-remaja micin dengan generasi sebelumnya. Salah satu elemen komedik dari aspek itu adalah cara bicara Kevin saat menjelaskan sesuatu yang secepat berondongan senapan mesin. Karena, well, sebagai generasi micin, ia identik dengan hal-hal instan dan cepat. Pun film ini menampilkan bagaimana remaja sekarang punya keunggulan yang tak dimiliki pendahulunya, semisal memanfaatkan internet demi kebaikan.

Sedangkan di kesempatan lain, filmnya justru menakankan bila semua generasi sama saja. Mereka yang tua selalu merasa generasi di bawah mereka adalah penurunan. Kondisi itu terjadi sejak dulu dan akan terus berulang. Sebab apa pun generasinya, di usia muda, mereka hanya ingin bersenang-senang, termasuk berbuat kenakalan seperti saat Kevin bersama tiga temannya, Dimas (Joshua Suherman) si penggila K-Pop, Bonbon (Teuku Ryzki) si pelupa, dan Johanna (Kamasean Matthews) melakukan kejahilan-kejahilan di sekolah sebagai pemenuhan tantangan dari sebuah situs misterius. Poin di atas (semua generasi sama) bahkan diucapkan secara gamblang oleh Chelsea (Clairine Clay), si pujaan hati Kevin, di ending, yang (biasanya) berperan selaku perangkum pesan.

Dua tuturan kontradiktif di atas saling bertabrakan. Layaknya banyak tokoh remaja di dalamnya, Generasi Micin mengalami krisis identitas, penuh kebingungan, termasuk ketika mengakhiri kisahnya lewat epilog berkepanjangan yang kelabakan menutup berbagai cabang cerita pada sisa durasinya, dari soal kehidupan sekolah Kevin dan kawan-kawan, kehidupan Trisno, romansa Kevin dan Chelsea, hingga perihal situs misterius tadi.

Namun sekali lagi, bila anda sebatas mengharapkan kelezatan seperti masakan bertabur micin, film ini mungkin memuaskan. Naskah ditambah penyutradaraan Fajar Nugros mengisinya dengan semangat bersenang-senang di tiap momen, menertawakan siapa pun, apa pun, di mana pun. Hampir semua tokoh maupun situasi didesain konyol. Terkadang tawa hadir kala humornya terasa dekat, seperti Ibu Dimas (Cici Tegal) yang tergila-gila menonton drama Korea hingga lupa solat meski berjilbab, hingga kisah “telur dipotong sepuluh”, yang saya percaya, kerap anda dengar. Sayangnya tak jarang juga humornya berlangsung datar, tenggelam dalam absurditasnya sendiri, misalnya tiap hansip bermata juling (Erick Estrada) muncul.

Seperti Kevin dengan penjabaran super cepat yang tak memperhatikan apakah lawan bicaranya paham atau tidak, Generasi Micin terus menerjang, membabat habis hampir semua kesempatan dengan humor tanpa peduli apakah tepat sasaran. Seperti kandungan micin dalam masakan pula, itu bisa menghasilkan kelezatan, tapi alangkah baiknya bila kadarnya dikontrol.

TERBANG: MENEMBUS LANGIT (2018)

Salah satu adegan dalam Terbang: Menembus Langit memperlihatkan Onggy (Dion Wiyoko) melamar Candra (Laura Basuki). Bagi karakternya, ini momen penting ketika ia menemukan cinta, kawan hidup yang menyokong sekaligus memberi motivasi bagi perjuangannya. Tapi Fajar Nugros (Yowis Ben, Moammar Emka’s Jakarta Undercover) yang bertindak selaku sutradara dan penulis naskah enggan menghantam penonton lewat dramatisasi tinggi. Berlatar warung mie ayam, ia menarik romantisme keluar dari situasi kurang romantis, setidaknya menurut Candra. Kesederhanaan itu mematenkan rasa juga nilai usungan filmnya, yang menjadikan Terbang, meski masih mempertahankan formula khas melodrama, memiliki nilai lebih dibanding “rekan-rekan sejawatnya”.

Mengangkat kisah hidup motivator sukses Onggy Hianata, Nugros justru tak semata menekankan destinasi berupa keberhasilan finansial. Lahir di keluarga sederhana di Tarakan, Onggy selalu terngiang petuah sang ayah (Chew Kin Wah) tentang ketiadaan kebebasan hidup apabila bekerja bagi orang lain. Begitu melancong ke Surabaya lalu menikah, ia pun nekat meninggalkan pekerjaan kantoran karena takut kelak tidak punya waktu menyaksikan tumbuh kembang si buah hati. Saya kerap mendapati penyesalan serupa dialami banyak ayah begitu menyongsong usia senja sementara anak mereka telah “terbang” seorang diri jauh di sana. Keluarga adalah poin utama Terbang, yang terus Nugros pertahankan sampai konklusi sewaktu ia berani menampilkan bentuk kebahagiaan sederhana ketika banyak penonton mungkin berekspektasi akan gelimag harta.
Bisa dibilang Onggy bukan jenius dalam hal bisnis. Berulang kali ia terbentur kegagalan entah akibat kesalahan strategi maupun tertipu. Sejak kecil pun ia digambarkan tidak secemerlang kakaknya di bangku sekolah. Ditambah keterbatasan ekonomi, saya pun berpikir, “bagaimana ia bisa sukses?”. “Apa rencananya?”. Selain tekad baja, Onggy digambarkan sebagai pria dengan banyak rencana. Kalimat “aku punya rencana” pun sering terlontar dari mulutnya, walau jangankan memancing keyakinan terhadapnya, filmnya lalai menjabarkan rencana apa yang dimaksud. Bahkan Onggy kuliah di jurusan apa pun urung dipaparkan. Karena bagi filmnya, yang penting penonton melihat Onggy mampu menempuh pendidikan di Surabaya, tanah impiannya. Di Surabaya pula Terbang memasuki babak paling menyenangkan berkat sentuhan komedi seputar kehidupan mahasiswa indekos, yang lagi-lagi melukiskan kebahagiaan di tengah kesederhanaan.

Tidak ketinggalan pula pesan nasionalisme, yang meski bisa diperhalus lagi penyampaiannya dengan cara “menunjukkan” alih-alih banyak “menyatakan” secara verbal, tak berkurang relevansinya. Pesan tersebut jelas penting disampaikan sekarang. Kegamblangan macam itu memang senjata andalan film inspiratif dan/atau melodrama, tapi untungnya, penokohan Onggy terhindar dari keklisean serupa. Dia pantang menyerah, namun bukan sosok suci. Penonton berkesempatan melihatnya di titik nadir, saat ia merasa lelah, dan satu-satunya hal yang bisa dilakukan adalah bersimpuh sambil bertanya pada Tuhan ditemani luapan tangis yang membuktikan kebolehan Dion Wiyoko mengolah rasa. Chemistry yang dibangun bersama Laura Basuki juga solid, menghasilkan pasangan mudah menggaet simpati walau keduanya baru bertemu saat film memasuki separuh durasi.
Salah satu tantangan terbesar Nugros di penulisan naskah tak lain menangani fakta bahwa tokoh utamanya merupakan pentolan Multi Level Marketing (MLM) negeri ini, yang bukan mustahil termasuk alasan mengapa Nugros memilih mengedepankan kekeluargaan. Bayangkan apa respon publik menonton kesuksesan ekonomi karakter yang disebabkan MLM? Fakta itu dikaburkan, dan sayangnya, dari segi naratif keputusan itu menghilangkan beberapa poin krusial. Keseluruhan alurnya memang dipenuhi lompatan kasar dan bukan cuma yang bersinggungan dengan MLM. Waktu berganti begitu saja, masalah-masalah yang dilontarkan juga berlalu sedemikian kilat.

Pada satu titik, Candra mengalami kontraksi di pasar. Dia segera melahirkan. Candra terjatuh, dan kalau saya tidak salah lihat, begitu ia dipapah oleh beberapa orang, perut Laura Basuki tampak mengempis. Ini cacat bagi elemen artistik yang secara keseluruhan terhampar baik. Detail setting dan properti masa lalu, hingga warna yang mengesankan nuansa “hikayat dari era terdahulu”, semua memanjakan mata. Bicara soal era terdahulu, Nugros memang sepertinya hendak mengajak penonton kembali, bukan saja menuju masa lalu, pula kembali ke akar, pulang ke rumah, kembali pada keluarga. Dibalik segala kelemahannya, Terbang: Menembus Langit tetap menonjol bila disandingkan dengan film-film lokal bertema perjuangan inspiratif kebanyakan.

YOWIS BEN (2018)


Saya—dan mungkin banyak dari kalian—pernah merasa jadi manusia paling kreatif ketika mencetuskan nama-nama nyeleneh seperti “Tambal Band”, “Elek Yo Band”, “KepriBand”, dan sebagainya untuk nama band, tanpa menyadari ribuan orang lain di seluruh penjuru Indonesia menyimpan ide serupa. Dalam prosesnya, dengan tujuan utama: a) Mengejar mimpi bermusik, dan b) Memikat hati wanita, studio-studio pun dijajah, panggung demi panggung dijamah. Sampai tujuan kedua terpenuhi dan salah seorang anggota membawa pacar barunya ke latihan selaku ajang pamer, di situ awal perpecahan bermula.

Yowis Ben, yang merupakan debut penyutradaraan Bayu Skak di mana ia berduet dengan Fajar Nugros (Cinta Selamanya, Moammar Emka’s Jakarta Undercover), berpotensi jadi gambaran akurat nan menggelitik soal lika-liku perjalanan band anak SMA kalau bukan karena fokus cerita yang melucuti spesifikasi tersebut. Naskah buatan Bagus Bramanti dan Gea Rexy memilih jalur formulaik from zero to hero. Yowis Ben lebih menyoroti berbagai implikasi dari terciptanya band ketimbang seluk-beluk internal band tersebut, yang mana lebih menarik, unik, dan menggelitik.
Bayu (Bayu Skak) yang dijuluki “Pecel Boy” karena tiap hari membantu ibunya berjualan pecel di sekolah jengah dianggap remeh serta ingin memikat hati Susan (Cut Meyriska). Doni (Joshua Suherman) tidak jauh berbeda, coba membuktikan pada orang tuanya bahwa dia mampu meraih kesuksesan. Akhirnya tercetus ide membuat band guna memenuhi mimpi keduanya. Yayan (Tutus Thomson) si penabuh beduk dan Nando (Brandon Salim) sang keyboardist yang berharap dikenal lewat karya daripada wajah ganteng belaka pun direkrut. Terciptalah Yowis Ben.

Panggung pertama Yowis Ben berujung kegagalan tatkala banyak film memilih langsung menonjolkan para tokoh utama sebagai rising star yang talentanya langsung mencuri perhatian publik di percobaan perdana. Pilihan realistis yang sayangnya ditinggalkan pada fase-fase berikutnya. Yowis Ben tiba-tiba sukses lewat YouTube berkat video klip ratusan ribu penonton yang menampilkan Yowis Ben bernyanyi di hadapan puluhan orang. Bagaimana band SMA melarat mampu merekrut talenta sebanyak itu? Bagaimana lagu-lagunya tercipta? Bagaimana latihan di studio yang tentunya penuh intrik sekaligus kejenakaan berlangsung? Film ini tak mempedulikan proses-proses itu, sehingga sulit pula mempedulikan perjuangan serta merayakan kesuskesan karakternya.
Hambar pula romantika Bayu dan Susan, meski pembawaan membumi, seringai naif, ditambah bakat alam Bayu Skak melucu, memudahkan kita tersenyum. Berstatus penulis cerita, entah seberapa banyak masukan yang Bayu berikan terkait penulisan naskah khususnya bumbu komedi, tapi memang humornya paling efektif tatkala Bahasa Jawa memainkan peranan besar khususnya sewaktu umpatan-umpatan dan selorohan menyeruak masuk. Ganti dengan Bahasa Indonesia, kelucuannya dipastikan menurun drastis. Unsur Jawa akhirnya lebih berperan menguatkan komedi ketimbang alur yang minim kekhasan dan bisa dipindah ke balahan dunia manapun tanpa menimbulkan perbedaan signifikan.

Yowis Ben menyasar banyak hal, mulai pembuktian orang-orang yang dipandang sebelah mata—termasuk Bahasa Jawa yang disebut kampungan oleh netizen—percintaan, persahabatan, hubungan anak dan orang tua, hingga band SMA, tanpa ada yang benar-benar tampil solid. Setidaknya keempat tokoh utamanya amat menghibur berkat ciri masing-masing, terlebih Yayan dengan kebiasaannya meminum kuah pop mie memakai sedotan. Ya, menghibur. Jangan berharap lebih dari itu bagi sebuah film tentang band beraliran musik pop-punk “towat-towet” yang gemar melafalkan “t” sebagai “c”.