ANANTA (2018)
Rasyidharry
Mei 04, 2018
Alim Sudio
,
Anjasmara
,
Fero Walandouw
,
Joseph S. Djafar
,
Kurang
,
Michelle Ziudith
,
Nino Fernandez
,
REVIEW
,
Rizki Balki
,
Romance
9 komentar
Mengadaptasi Ananta
Prahadi buatan Risa Saraswati yang merupakan satu-satunya novel roman sang
penulis, Ananta berpotensi memaparkan
kisah indah tentang kebaikan dalam hidup, mengenai laki-laki yang menaruh hati
pada seorang wanita, bukan (cuma) karena parasnya, pun melalui karyanya, di
mana sisi terdalam sekaligus ungkapan rasa paling jujur wanita itu tertuang. Kisah
yang murni nan indah, andai konklusinya tidak terjerembab ke kubangan dramatisasi
klise dan tak perlu menjelang akhir, yang juga upaya penggampangan guna menutup
cerita. Ganti Fero Walandouw dengan Dimas Anggara, pindahkan lokasi ke luar
negeri, maka anda akan mendapatkan produksi MD Pictures rasa Screenplay.
Adegan pembukanya membawa kita ke dalam kelas tempat Tania
(Michelle Ziudith) berada. Kelas itu terasa asing. Siswa dan seorang guru seni
yang diperankan Astrid Tiar memenuhi ruangan, tapi saya tidak merasa
dikelilingi manusia. Mereka adalah karikatur. Ibu guru yang mencela murid panjang
lebar di tengah jam pelajaran, Tania si jago lukis yang dipandang aneh, menutup diri, tapi bisa tiba-tiba melontarkan
ungkapan bernada sinis kala guru tengah menjelaskan. Sama halnya dengan sang titular character, Ananta Prahadi (Fero Walandouw),
bocah kampung polos yang berusaha keras berteman akrab dengan Tania meski
selalu menerima perlakuan sinis.
Fero membawakan perannya dengan mengikuti formula akting
remaja kampung yang senantiasa bersikap sopan dengan postur tubuh sedikit
membungkuk dan senyum yang bak takkan sirna. Sementara Michelle Ziudith,
berpegang teguh pada buku pedoman “How to
Act Like Michelle Ziudith”, lancar menjalani tangisan demi tangisan, juga
bentakan demi bentakan. Tania memang lebih identik dengan tangisan serta
bentakan ketimbang bakat melukisnya, sebab filmnya sendiri, meski punya tokoh
utama seorang seniman “pemain warna”, urung memanfaatkannya demi menciptakan
bangunan visual menarik. Belum lagi, menengok lukisan Tania, walau menarik,
rasanya bukan hasil karya yang bakal membuat kurator asal Yogyakarta terbuai,
kemudian menawarkan pameran tunggal.
Ananta memang problematik, hingga masuk
fase pertengahan tatkala naskah Alim Sudio (Ayat-Ayat
Cinta 2, Surga Yang Tak Dirindukan 2) mulai menaburkan bumbu komedi. Selain
efektif memancing tawa, komedinya membuat rentetan kekurangan di atas bisa diterima,
karena kesan karikatur untuk sebuah karakter lebih tepat mengisi suguhan
komedik daripada dramatik. Pun berkatnya, Asri Welas sebagai Bik Eha, pembantu
Tania, berkesempatan unjuk gigi mencuri perhatian di tiap adegan yang
melibatkannya. Kemudian hadirlah sang kurator asal Yogyakarta, Pierre (Nino
Fernandez), yang memancing saya berprasangka buruk kalau Anata bakal melangkah menuju konflik standar cinta segitiga. Untung
saya keliru.
Kebersamaan Ananta-Tania-Pierre justru memunculkan titik
non-komedik terbaik filmnya, sewaktu Ananta
menampilkan sebuah bentuk kebahagiaan sederhana: duduk di bawah cahaya matahari
yang bersinar seterang senyum penuh kedamaian ketiga karakternya. Keputusan sutradara
Rizki Balki (A: Aku, Benci, dan Cinta)
menekankan pada kehangatan suasana terbukti tepat. Saat itu Tania membawa
Pierre dan Ananta mengunjungi ruang fantasinya, sambil ditemani musik gubahan
Joseph S. Djafar (London Love Story, The Perfect
Husband) yang memancarkan imaji serupa. Musiknya membuat saya seolah diajak
mengunjungi dunia dongeng walau sekilas. Bermodalkan karismanya, Nino
Fernandez tampil meyakinkan sebagai pria yang menyikapi dengan tenang khayalan
liar Tania, seolah segalanya bagian dari rutinitas yang selalu Pierre hadapi.
Sampai datanglah twist
ganda yang seketika merobohkan pondasi kisah, secepat kilat menyeret Ananta ke titik nadir. Melodrama kita
punya dua senjata andalan pencipta nuansa dramatis mengharu biru, yaitu relasi
rahasia antar karakter yang dipenuhi kebetulan serta eksploitasi kondisi medis.
Tidak tanggung-tanggung, Ananta
meleburkan kedua senjata tersebut. Pasca konklusi terungkap, motivasi Ananta
bergeser, dari kebaikan hati yang tulus karena kasih sayang, menjadi kebaikan
yang terjadi karena faktor eksternal ditambah ketiadaan pilihan bagi
karakternya. Ananta ditutup secara
mengecewakan, dan saya masih menantikan momen Anjasmara mendapat film bagus
setelah memutuskan kembali ke layar lebar.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
9 komentar :
Comment Page:spoilerin twist dong, penasaran jadinya 😁😁
Itu udah dikasih tahu loh, clue-nya jelas banget di review :D
Kurator asal Yogya, beda selera dg kurator asal Bali, Bandung atau Jakarta.
Jadi jangan memberi kredit terlalu tinggi untuk pemikiran tentang "Selera Seni Kurator dari Yogya"
Hati2 berkomentar ttg hal2 di luar bidang dan wawasanmu, Rasyid
Profesor Dumbledore mati
Ya iyalah menyebut Yogya, kan karakternya kurator dari sana. Kalo Bali ya bakal bilang kurator Bali.
Oh maaf ya, saya nulis blog tentang film bukan berarti buta soal cabang seni lain :)
Baca konteks donk mas, ini mah gak ada hubungannya kali antara penguasaan bidang dengan penjelasan karakter dalam film..kan emang filmnya yang menyampaikan itu karakter sebagai kurator seni dari yogyakarta
Ga buta, cuma meragukan
Orang Yogya sering merasa meteka paling 'nyeni'. Padahal....
Nggak apa meragukan, yang penting berani tanggung jawab dengan apa yang ditulis dengan cara nggak bersembunyi di balik anonimitas :)
Anonim atau bukan tidaklah penting, Selama yg disampaikan adalah kebenaran.
Posting Komentar