SABRINA (2018)
Rasyidharry
Juli 14, 2018
Christian Sugiono
,
Cukup
,
Fajar Umbara
,
horror
,
Indonesian Film
,
Jeremy Thomas
,
Luna Maya
,
REVIEW
,
Richelle Georgette Skornicki
,
Riheam Junianti
,
Rocky Soraya
,
Sara Wijayanto
14 komentar
Ada tiga jenis template.
Pertama, yang diulang karena digandrungi publik. Kedua, yang diulang karena
disukai pembuatnya kemudian menjadi gaya. Ketiga, yang diawali jenis kedua,
tapi begitu laris manis, pengulangannya dilakukan atas dasar poin pertama.
Rocky Soraya rasanya masuk jenis ketiga. The
Doll (2016) memberinya tempat menumpahkan segala elemen favoritnya (trik
ala James Wan bertemu banjir darah), tapi begitu lebih dari 550 ribu penonton
sukses didapat, tiada alasan meninggalkan usungan formula itu. Apalagi setahun
berselang, Mata Batin dan The Doll 2 masing-masing menembus angka
1,2 juta penonton.
Saat banyak pihak memuji Mata
Batin, saya justru sampai pada titik jenuh, sebab Rocky mulai repetitif.
Karyanya selalu dibuka oleh first act
lambat minim penampakan—yang mana langkah berani dan patut diapresiasi—berlanjut
ke second act berupa deretan jump scare medioker, hingga ditutup
klimaks berdarah-darah. Sabrina,
selaku spin-off seri The Doll yang makin memperlihatkan
ambisi Rocky mengikuti jejak James Wan dengan seri The Conjuring, memakai pola sama. Tapi kentara terdapat perbaikan
di sana-sini. Belum menyeuruh, namun satu langkah kecil jauh lebih berarti
daripada keengganan melangkah.
Maira (Luna Maya) pun melangkah maju ketika menikahi Aiden
(Christian Sugiono), meninggalkan tragedi dalam The Doll 2 di masa lalu. Keduanya belum dikaruniai momongan, tapi
ada Vanya (Richelle Georgette Skornicki), keponakan Aiden yang mereka rawat
pasca kedua orang tuanya meninggal. Mencuri hati Vanya yang masih selalu
merindukan mendiang ibunya tidaklah mudah. Karena itu, Maira memberikan boneka
Sabrina edisi kedua yang khusus dibuat Aiden (dia pemilik pabrik mainan) untuk
mengenang Kayla, puteri Maira yang sudah tiada. Harapannya, sebagaimana Sabrina
edisi pertama dahulu bagi Kayla, boneka baru ini bisa menemani sekaligus
menguatkan Vanya.
Memasuki kemunculan keduanya, desain Sabrina makin
mengerikan, yang berarti, semakin tak logis bila disukai bocah. Sepertinya
sekarang adalah waktunya kita menyimpan rapat-rapat ekspektasi melihat boneka
Sabrina yang lebih “masuk akal”. Bedanya, kali ini boneka itu tidak langsung
menjadi sumber masalah, melainkan permainan memanggil arwah bernama Pensil
Charlie, yang Vanya pakai guna bertemu arwah sang ibu. Bisa ditebak, justru
sosok gaib jahat yang hadir. Baghiah namanya. Salah satu anak iblis. Apakah ia
mempunyai hubungan darah dengan Ghawiah dari The Doll pertama? Entahlah.
Paruh awalnya dibungkus tempo cukup lambat pula minim teror,
yang sayangnya urung ditunjang naskah solid di tatanan drama, sehingga pondasi
kisah kekeuargaan serta gejolak batin si paranormal, Laras (Sara Wijayanto),
yang kini telah menikahi sesama paranormal bernama Raynard (Jeremy Thomas), berakhir
lemah. Gagal pula usahan menyentuh hati lewat porsi drama tersebut, walau untuk
subplot mengenai Laras, akting kurang meyakinkan Sara Wijayanto turut jadi
penyebab.
Singkat cerita, bermain Pensil Charlie membuat Vanya mampu
berkomunikasi dengan sang ibu, atau tepatnya, sosok yang ia percaya merupakan
sang ibu. Khawatir akan kondisi bocah itu, Maira dan Aiden sepakat berlibur
bertiga. Liburan itu juga titik balik filmnya, di mana tempo dipercepat,
sementara teror mulai menyergap. Kali ini, Rocky dibantu tim efek spesialnya berkenan
memutar otak demi variasi. Beberapa trik memikat, dari adegan “Edward Mordrake-esque” sampai “kesurupan
pertama” menyita atensi saya. Beberapa kali bulu kuduk berdiri, bukan karena
seram, melainkan dipicu kekaguman atas aspek teknisnya. Those weren’t scary, yet fun and highly admirable. Dipadu kemampuan
sutradara memancing intensitas melalui nuansa chaotic, jadilah Sabrina suatu
perjalanan seru. Bila diibaratkan musik, Rocky bak tengah menggeber musik rock
beroktan tinggi.
Selain faktor teknis, repetisi turut diminalisir oleh naskah
karya Fajar Umbara (Comic 8, The Doll 2)
dan Riheam Junianti (The Doll 2, Mata
Batin) lewat disertakannya beragam lokasi, yang berujung menyediakan
beragam metode berbeda pula untuk meneror. Pantai, penginapan, pabrik, dan
pastinya rumah. Setidaknya terjadi pergantian suasana sehingga mata kita takkan
lelah, walau dari alur, naskahnya sendiri seperti carbon copy dari seri-seri sebelumnya, termasuk twist-nya.
Mencapai klimaks, Sabrina
seolah kehabisan amunisi trik, ditambah kerap terlampau panjang di banyak
titik. Kita diajak berdiam terlalu lama mendengar Laras dan Raynard merapal
mantra berupa puja-puji terhadap Yang Maha Kuasa, sama seperti first act-nya yang terus-terusan
menyeret kita melihat Vanya menjalankan aplikasi pendeteksi han...maaf, maksud
saya entitas. Rocky dan tim bukannya menyerah begitu saja. Tampak usaha
menambah varian peristiwa melalui bumbu aksi yang sayangnya, tanpa koreografi
mumpuni, plus lagi-lagi performa kurang meyakinkan Sara Wijayanto mengayunkan
senjata. Sebaliknya, Luna Maya terlihat bersenang-senang melakoni akting
kesurupan gila nan over-the-top
sebagaimana dalam The Doll 2.
Beberapa kelemahan sudah teratasi, kini pekerjaan rumah Rocky
Soraya tinggal terus mengeksplorasi variasi trik jump scare dan tusuk-menusuk supaya tidak stagnan, mencari naskah
dengan pondasi solid, dan bersedia memadatkan momen-momennya agar tak
kehilangan momentum. Sebab konklusinya, yang berusaha menutup kisah di nada
melodrama, pun tidak kalah berlarut-larut bagai akan berjalan selamanya. Namun
seperti saya ungkapkan, Sabrina
memang bukan lompatan, melainkan langkah, yang meski kecil, asalkan konsisten berjalan
ke depan, bukanlah suatu persoalan.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
14 komentar :
Comment Page:Hai bang Rasyid, big fan here!
Mohon maaf nih bang, bukan ngajarin gimana nulis ulasan atau sebagainya, tapi mohon dipertimbangkan untuk engga ngasih tahu kalo ada semacam "plot twist" di suatu film. Nanti pas nonton malah nungguin twist nya aja, "'cuz mentioning a plot twist counts as a spoiler" - Wisecrack 😁
Again, I'm a big fan, love your writing and all. Ini cuma masukan aja. Peace.
@Tuan hi, thanks for reading dan masukannya. Prinsip saya sih sama kayak yang baru-baru ini dibilang Scott Derrickson, "kalau sebuah film bisa dirusak oleh spoiler, berarti film itu nggak oke". Well, nggak menganut seekstrim itu, tetep ngikutin aturan nggak tertulis: kalo mau bahas spoiler, taruh warning. Tapi kalo nulis "ada twist" nggak termasuk spoiler. Kalau sampai filmnya "rusak" karena itu, ya emang udah busuk dari sono 😁
Buat penonton sih, just don't think too much. Kalau nggak lama-lama sinopsis & materi promosi bisa dihitung sebagai spoiler. Just enjoy the movie 😊
Wah,jadi lebih tercerahkan. Terima kasih keterus-terangannya bang.
Betul juga sih, paling balik ke individu masing-masing ya bang? Poin yang saya omongin juga sangat relatif 😁
Btw, JoSyid di YouTube engga update lagi bang? Nungguin nih spoiler reviewnya Deadpool 2 😁
Si Josyid ga update lagi nih?
Kalo aja yang mainin peran jadi Bu Laras itu adiknya Sara Wijayanto, barangkali lebih bagus aktingnya. Haha.
@Tuan Itu dia. Balik lagi juga, tujuan baca review apa. Ada yang buat cari rekomendasi, ada juga yang cari sudut pandang penulisnya. Beberapa pembaca ada kok yang emang pengen sama sekali nggak tahu tentang filmnya, lalu mutusin buat baca setelah nonton 😊
@Jonathan Will be back soon. Lagi proses "transformasi"
@Heru Wah bukan barangkali lagi, barang pasti 😁
Bang ada yang saya kurang ngerti.
Pas ending di kuburan Arka tertulis wafat 27 Maret 2018.
Sementara kejadian tewasnya Arka itu sudah 1 tahun yang lalu.
Berarti setting waktunya Tahun 2019 dong :-D
Futuristik.
Jangan-jangan tahun depan ada spin off-nya lagi. Baghiah vs Bathseeba.
Klimaknya masih sama ngga mas adegan berdarah tapi korbanya ga mati-mati walau udah ditusuk dibanting berkali-kali??
Ngga ulas rocker baling kampung bang?
@dim Nggak seekstrim The Doll pertama, tapi masih gory
@Badminton Nonton tapi nggak sempet nulis. Nggak sampah kok, pesannya baik, simpel, tapi penyampaiannya nggak rapi.
Tahan juga nonton film ginian. Bang kasih list 10 film yang bikin ente walk out dong
@Mahendrata Tahan lah, kan oke filmnya. Nope, nggak pernah walk out. Selalu kasih kesempatan sampai akhir.
Posting Komentar