CINTA SAMA DENGAN CINDOLO NA TAPE (2018)
Rasyidharry
Agustus 24, 2018
A Thesar Resandy
,
Andi Burhamzah
,
Brilian Rexy Sondakh
,
Comedy
,
Indonesian Film
,
Jelek
,
Maizura
,
REVIEW
,
Romance
,
Rusmin Nuryadin
4 komentar
Cinta Sama dengan Cindolo na Tape adalah tontonan membingungkan,
canggung, layaknya pertemuan dengan gebetan yang berujung kekacauan, grogi,
tidak tahu mesti berkata apa. Akhirnya untuk menyampaikan maksud sederhana pun sulit,
hanya bisa meracau, bicara tidak keruan. Seperti film ini, yang bermaksud menyampaikan
perihal sederhana, bahwa cinta serupa cendol dan tape, walau manis di awal akan
basi kalau dibiarkan terlalu lama, tapi terbata-bata akibat terjebak dalam
narasi tanpa arah pasti.
Film ini melanjutkan kisah film
pendek berjudul sama karya Rusmin Nuryadin (kini menjadi penulis naskah) yang
beberapa tahun lalu “meledak” di Makassar. Dua sahabat, Timi (A Thesar Resandy)
dan Ian (Brilian Rexy Sondakh), yang di film pendeknya masih siswa SMP,
sekarang telah duduk di bangku SMA. Hubungan mereka merenggang setelah Timi
merasa mendapat pengaruh buruk dari Ian, yang gemar membolos, malas belajar,
dan bergaul dengan berandalan. Singkatnya, Timi ingin bertobat. Sampai datang
Cinde (Maizura), siswi pindahan dari Jakarta, yang seketika merenggut hati
Timi, pun sebaliknya.
Ian menganggap kehadiran Cinde
membuat Timi melupakannya. Dia bingung, mengapa kawan lamanya menjauh. Ian
tidak sendiri. Saya pun bingung, kesulitan memahami jalan pikiran atau motivasi
perbuatan semua karakternya. Ambil satu adegan sebagai contoh. Ian mendatangi
Cinde, mencurahkan kekesalannya soal perubahan Timi. Cinde mengamini. Namun ketika
Cinde coba menenangkan, Ian tersinggung, merasa si gadis malah membela Timi. Lalu
Ian pergi sambil tetap mengomel, memaksa Cinde mengaku kalau sebenarnya ia
menyukai Timi. Apa ada cinta segitiga di sini? Tersirat demikian di satu
kesempatan, hanya untuk dibantah di kesempatan lain.
Semakin membingungkan, selain akibat
naskahnya, juga karena ketidakmampuan sutradara Andi Burhamzah bertutur lewat
visual dalam debutnya ini. Konon, diam punya jutaan arti, tapi Cinta Sama dengan Cindolo na Tape membuatnya
jadi milyaran alias gagal memberi titik terang. Kesubtilan bisa berujung baik.
Artinya sang pencerita menghargai intelegensi penonton, enggan menyuapi mereka.
Tapi kesubtilan yang baik mesti mengandung petunjuk-petunjuk yang mengarahkan
pemaknaan menuju satu tujuan, pula tidak saling berkontradiksi sebagaimana
terjadi di sini.
Penampilan jajaran pemain makin
menambah kekusutan, khususnya kala dituntut bicara melalui mimik wajah, yang
ketimbang menyiratkan isi hati, justru menegaskan kecanggungan serta
ketidaknyamanan di depan kamera. Apalagi sewaktu muncul jeda berhiaskan
keheningan. Saya dibuat bertanya-tanya, apakah ada humor yang hendak menyusul?
Apakah ini momen dramatis saat seseorang begitu terpana? Atau sekedar adegan
yang dibiarkan mengalir terlalu lama di ruang penyuntingan? Departemen
penyuntingan memang bermasalah. Banyak adegan
dimulai terlalu cepat atau diakhiri terlalu lama. Miskin dinamika, apalagi saat
bersinggungan dengan barter kalimat antara pemain. Kelemahan yang turut menyulut masalah pada komedinya.
Sebagian humornya berpotensi lucu.
Di atas kertas, ide-ide segar Rusmin Nuryadin dapat dirasakan. Namun ide-ide
tersebut mayoritas berupa humor yang membutuhkan gerak dinamis guna menciptakan
kesan dadakan agar mampu tampil lucu. Lelucon soal cokelat adalah contoh
sempurna ketika seluruh kekurangan-kekurangan bersatu membunuh kelucuan komedi.
Naskah yang menambahkan dialog tak perlu pasca punch line, sutradara yang luput memainkan dinamika, penyuntingan
yang sekedar “potong-dan-sambung”, hingga akting para pemain yang ada di ambang
batas antara deadpan comic atau murni
datar.
Sebaliknya, paparan dramanya justru
bergerak liar ke sana kemari layaknya setumpuk film pendek dengan karakter sama
namun tema berbeda yang dipaksa bersatu. Cinta
Sama dengan Cindolo na Tape awalnya cuma kisah cinta biasa berbalut
lika-liku dunia remaja: laki-laki bertemu perempuan, sang sahabat cemburu, pertemanan
mereka renggang. Itu saja merupakan pondasi solid, tapi bak merasa belum cukup
kompleks, konflik di atas menemukan resolusi di pertengahan durasi, kemudian
filmnya berpindah menuju permasalahan berikutnya. Benang merahnya tetap sama.
Tetap soal “Cinta adalah cindolo na tape”,
tetap membahas para laki-laki “mati kiri” yang dibutakan cinta, melupakan
teman-temannya. Tapi serupa karakternya, yakni remaja yang terombang-ambing tak
menentu, Cinta Sama dengan Cindolo na
Tape bergerak semaunya ke segala penjuru, menggantung penonton dalam
ketidakpastian, layaknya akhir pahit sebuah hubungan romansa.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
4 komentar :
Comment Page:haduhhh mnding upload review 'sultan agung' bg, pasti lbih bnyak yg nunggu film itu hehe. kan yg nyutradain hanung bramantyo biasanya bagus
Bang nonton 'searching' gak?
Bagusan mana dibanding suhu beku?
bang, di tunggu review Sultan Agung. Pengen nonton tapi nunggu review dari sini
Posting Komentar