SULTAN AGUNG: TAHTA, PERJUANGAN, CINTA (2018)

7 komentar
Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta menempatkan penonton di posisi sebagaimana kita sehari-hari, sebagai rakyat, menyikapi seorang pemimpin. Coba pikirkan, seberapa sering anda meragukan Camat, Bupati, Gubernur, sampai Presiden? Kita cenderung—dan merupakan hal wajar—menghakimi mereka berdasarkan apa yang terlihat kini. Karena kita pun tidak tahu menahu soal pertimbangan di belakang. Apalagi saat suatu keputusan lebih berorientasi jangka panjang. Masalahnya, walau film ini berhasil menghadirkan pemahaman soal proses di balik layar itu, hal paling esensial, yakni hasil, urung ditampilkan.

Pembicaraan terkait politik beserta filosofi di belakangnya memang rumit, namun satu jam pertama Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta tampil lebih sederhana, yang mana merupakan paruh terbaiknya. Wajah bila sederhana, sebab inilah masa di mana Sultan Agung alias Raden Mas Rangsang (Marthino Lio) masih muda dan berguru pada Ki Jejer (Deddy Sutomo) di padepokan. Menimba ilmu, baik fisik maupun batin, jadi konsentrasi utama, yang tentu saja diselingi romantika. Raden Mas Rangsang memadu kasih dengan Lembayung (Putri Marino), seorang rakyat biasa.

Romansanya hidup, selain berkat selipan interaksi keseharian santai kaya selipan humor, juga perpaduan apik Marthino-Marino. Putri Marino memudahkan siapa saja mencintai Lembayung, si gadis dengan kekuatan fisik pula batin. Ya, batinnya tergoncang kala Raden Mas Rangsang didapuk sebagai Raja sehingga mesti pulang ke Kraton sekaligus menikahi wanita lain yang ditentukan mendiang ayahnya. Tapi seiring kemampuan Putri mengguncang hati penonton lewat luapan emosi, turut ditegaskan bahwa ia ikhlas, memahami jika tiada pilihan. Jadilah elemen romansanya tak menyentuh ranah dramatisasi opera sabun. Ini tentang sepasang muda-mudi kuat yang mendahulukan kepentingan negeri.

Di antaranya, beberapa adegan laga yang disusun solid oleh Hanung Bramantyo sesekali mengisi, menghasilkan adu jurus menghibur khas kisah pendekar masa lampau. Fase masa muda Sultan Agung ditutup perebutan kekuasaan sarat intrik serta pertumpahan darah yang mana tak pernah lepas dari sejarah kerajaan mana pun. Kemudian kisahnya melompat beberapa tahun, beranjak menyelami konflik politis kompleks dan peperangan kolosal yang mengetengahkan perlawanan Kerajaan Mataram terhadap Vereenigde Oostindische Compagnie alias VOC.

Dari Marthino Lio, Sultan Agung dewasa anti diperankan Ario Bayu. Anda akan sadar betapa cerdik casting film ini begitu melihat kemiripan paras kedua aktor. Ario memerankan Sultan Agung yang telah tumbuh jadi Raja berkepribadian keras yang menolak berkompromi kala VOC berusaha menundukkan Mataram melalui kedok kerja sama dagang dengan aturan mencekik. Lembayung dewasa diperankan Adinia Wirasti, yang bukan saja jago mengolah rasa, juga meyakinkan melakoni porsi aksi. Sementara Ario, lewat wibawanya, mulus memerankan Raja yang mantap menyerukan teriakan perang “Mukti utawa mati!”.

Sultan Agung memutuskan menabuh genderang perang, mengerahkan ribuan rakyat termasuk sekumpulan petani guna menyerbu VOC di Batavia, meski menurut beberapa pihak termasuk sang paman, Tumenggung Notoprojo (Lukman Sardi), itu bak misi bunuh diri. Tapi Sultan tidak bergeming. Mengapa harus mengalah kalau ujungnya kehilangan harga diri sebagai budak penjajah? Di sini kompleksitas muncul, ketika mereka yang menaruh kepercayaan sekalipun, pasti akan bertanya-tanya, “Apakah Sultan sudah dibutakan harga diri sampai membiarkan ribuan rakyat meregang nyawa?”.

Korban berjatuhan, pasukan Mataram tersudut, kian mudah baik bagi rakyat dan penonton meragukan Sultan. Sepanjang pertempuran, jarang kita melihat Sultan, apalagi memperoleh detail soal pendorong keputusan kontroversialnya. Naskah karya BRA Mooryati Soedibyo (juga produser dan produser eksekutif), Ifan Ismail (The Gift, Ayat-Ayat Cinta 2), dan Bagas Pudjilaksono memang sengaja meninggalkan penonton dalam ketidaktahuan, serupa yang dialami pasukan Mataram di medan perang, yang lebih sering kita tengok kondisinya. Kita sama-sama ada dalam “ruang gelap”, menduga-duga maksud Sultan sebagaimana pada umumnya rakyat mempertanyakan sikap sang pemimpin.

Sekuen peperangan di benteng Batavia tampil problematik. Benar tata artistik, semisal kostum dan properti persenjataan tampak solid. CGI yang dipakai menggambarkan ribuan manusia di medan laga pun nyaman dilihat. Poin mengganjal justru ketiadaan paparan taktik. Apa taktik Mataram, hingga Jan Pieterzoon Coen (Hans de Kraker) kaget, mempertanyakan dari mana mereka paham cara mengepung benteng? Kita hanya akan melihat serbuan acak yang terkesan asal gempur. Lalu apa sebab VOC berbalik unggul? Tidak ada perubahan taktik, kecuali mendadak beberapa orang, termasuk J.P. Coen, menembakkan senapan (yang anehnya, merupakan pengulangan adegan flashback sebelumnya). Atau karena menang jumlah? Sulit dipastikan, mengingat sepanjang sekuen, pasukan Mataram justru terlihat unggul kuantitas.

Setelah lokasi pindah ke hutan, baru peperangan lebih menarik. Satu-satunya momen berisi taktik jitu hadir di sini, sewaktu prajurit Mataram menggunakan otak, memanfaatkan alam guna memberi pukulan terbesar bagi VOC. Pada fase ini, ada tata kamera menarik berupa siluet berlatar belakang warna jingga dari nyala obor. Faozan Rizal memang ahli bermain bayangan. Contoh lain eksplorasi bayangan dalam sinematografi tersaji ketika ibunda Sultan Agung, Gusti Ratu Banowati (Christine Hakim) memberi petuah kepada sang anak. Suasana ruang remang-remang, sebagian wajah Christine maupun Marthino gelap, memunculkan keintiman nan khidmat.  

Kembali menuju keputusan kontroversial Sultan. Pernyataan jika perang ini bakal terasa dampaknya 100 tahun ke depan merupakan kunci. Saat itulah asumsi saya menjadi fakta, didukung oleh sekuen berikutnya, yang menegaskan mengapa kebesaran Sultan Agung perlu kita ketahui. Sultan memikirkan masa depan. Dia memupuk bibit generasi mendatang agar kelak dapat menuai perjuangan generasi kini, yang dengan terpaksa harus berkorban bertaruh nyawa. Masalahnya, hasil nyata siasat Sultan Ahanya ditaruh di teks sebelum credit akhir. Kita tak pernah melihatnya divisualisasikan. Itu kenapa, setelah 148 menit, Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta terasa baru melaju separuh jalan. Tidak peduli seberapa mumpuni, separuh jalan tetaplah kurang utuh.

7 komentar :

Comment Page:
Laksmi mengatakan...

Review searching gak bang?

Unknown mengatakan...

searching keren, briliant bgttt ampe gk nyangka😂 smoga segera di review🙏

hilpans mengatakan...

Satu jam pertama saya menyukainya dan mengesankan..berikutnya nyawa film ada di adinia wirastii...keren bgt nih si karmen...cba dia ikutan wirosableng..uu seru..pengen liat aksi dia difilm2 action atau tema kolosal laga lain..semoga .., oh iya Teuku wisnu ,lukman,dan sipencuri perhatian si abigail,duh emang dan.meriam Belina udah lama gak main film kolosal kyk bgeini..casnya emang piawai lah ..melesat..semoga bisa bertahan lama di bioskop lah ni film kyk 22menit itu..klo booxofice susah euy

Rasyidharry mengatakan...

@hilpans Hehe makin mahal Wiro Sableng kalau pake Adinia. Soal bertahan lama di bioskop, sayangnya udah mustahil. 139 layar cuma dapet 8000-an penonton itu flop besar-besaran. Kemarin sabtu jumlah layar langsung pangkas habis.

Alvan Muqorrobin Assegaf mengatakan...

Menurut saya yang bikin Sultan Agung sepi penonton, dikarenakan Kurang gencarnya promosi deh, trailer aja keluar H- berapa minggu. Coba bandingin sama Kartini yang promo gencar-gencaran(Insiden dian sastro yg bikin gk nyampek sejuta) ya setidaknya semoga film Sultan Agung bisa diputer difestival/luar negeri. Sayang pdahal filmnya epik bgt, sama-sama bertema VOC dan diperankan Ario Bayu dg film Buffalo Boys, saya merasa film ini lebih hidup dan bikin penonton jatuh hati sekaligus penasaran.

Rasyidharry mengatakan...

@Alvan Oh iya, kayak nggak pengen ditonton dan cuma cari prestis, padahal bujet 20M dan dikasih 139 layar. Kalo Kartini sih biar nggak ada kasus Dian, susah sampe sejuta. Mentok 800. 2-3 tahun belakangan minat penonton ke film sejarah lagi turun.

Unknown mengatakan...

Kapan ada film tentang sejarah kerajaan nusantara lagi ya... film ini sangat membuat aku bangga dengan bahasa jawa... bangga dengan leluhur kita... saat ada lagu di film judulnya "Lir ilir" saat itu juga aku merasa sangat nyaman untuk menangis...