ROMPIS (2018)
Rasyidharry
Agustus 17, 2018
Adinda Azani
,
Arbani Yasiz
,
Cut Beby Tshabina
,
Haqi Achmad
,
Indonesian Film
,
Lumayan
,
Monty Tiwa
,
Putri Hermansyah
,
REVIEW
,
Romance
,
Umay Shahab
7 komentar
Di pinggir jembatan di sudut suatu
kota di Belanda, Roman (Arbani Yasiz) ber-selfie
bersama Wulandari (Adinda Azani). Bukan hal yang biasa Roman lakukan. “Buat
dikasih lihat ke anak cucu”, begitu alasannya. Daripada tawa atau respon “Apaan
sih?” yang biasa dipilih banyak film percintaan remaja, kita melihat Wulan
terdiam, tersenyum canggung, sementara matanya berkaca-kaca. Saya pun demikian.
Bagi remaja, kalimat itu mungkin terdengar gombal, tapi di telinga penonton
berusia dewasa awal, apalagi yang tengah menjalani hubungan jarak jauh, ucapan
Roman bermakna lebih, berupa sebersit petunjuk bahwa orang yang kita cintai pun
ingin menghabiskan hidup bersama sampai akhir. Lebih dalam dibanding seluruh
puisi atau kalimat “Aku mencintaimu” yang tak kunjung Roman sampaikan.
Kemungkinan Roman tidak menyadari
sejauh itu, tapi di situ poinnya, yakni sebuah kejujuran ungkapan rasa.
Kejujuran, serta sedikit siratan kedewasaan yang tak mengejutkan, mengingat Rompis disutradarai Monty Tiwa, sosok
dibalik beragam sajian romansa dewasa macam Critical
Eleven (2017) dan Test Pack: You Are
My Baby (2012). Alurnya sendiri formulaik, memiliki elemen cinta segitiga
hingga latar luar negeri ketika Roman terpaksa berpisah dengan Wulan saat harus
melanjutkan kuliah di Belanda bersama sahabatnya, Samuel (Umay Shahab).
Kemudian Roman bertemu sesama orang Indonesia, mahasiswi S2 bernama Meira (Cut Beby
Tshabina) yang diam-diam terpikat padanya. Situasi bertambah pelik saat Wulan
yang khawatir, mendadak datang berkunjung.
Saya bukan pemirsa sinetronnya,
yang tentu memberi pengaruh lebih besar bagi skrip buatan Monty Tiwa, Haqi
Achmad (Ada Cinta di SMA, Sajen), dan
Putri Hermansjah (co-director Raksasa dari Jogja dan Sabtu Bersama Bapak), ketimbang film
versi 1980 yang dibintangi Rano Karno dan Lydia Kandou, maupun novel karya Eddy
D. Iskandar. Tapi saya tebak, sinetronnya serupa suguhan remaja lain yang jamak
menghiasi layar kaca. Ditambah penokohan Roman sebagai penulis puisi handal
(alasan ia dipanggil “Roman Picisan” alias “Rompis”), saya makin berprasangka
buruk. Rupanya, Rompis tak bergantung
pada buaian puisi, yang cuma kadangkala terdengar di momen yang tepat,
sebagaimana sering terjadi dalam suasana spesial pemancing inspirasi,
menjadikan kita pujangga dadakan. Singkatnya, masuk akal.
Banyak film remaja terasa
kekanak-kanakan akibat berusaha terlampau keras terlihat dewasa. Sebaliknya, Rompis sengaja bersikap santai, tampil
layaknya bocah yang gemar menggoda dan bercanda, yang justru membuatnya terasa
(lebih) dewasa. Para pembuatnya paham poin hubungan romantis bukan soal banjir
kalimat indah namun interaksi menyenangkan. Kita melihat Roman dan Wulan saling
goda, saling manja, tertawa bersama. Seringkali humor mengisi, menghadirkan tawa
yang termasuk salah satu pondasi tiap hubungan. Saya turut bahagia (dan ingin)
melihat mereka bahagia.
Tentu jajaran pemain turut berjasa.
Tampil bersama sebanyak 107 episode, chemistry
Arbani Yasiz-Adinda Azani mengalir lancar. Bahkan di beberapa bagian, interaksi
keduanya bak situasi nyata di luar naskah. Seperti seharusnya sepasang
kekasih, mereka tampak nyaman satu sama lain. Menyenangkan pula menyaksikan
gaya misterius serta "judes-tapi-mau" dari Cut Beby Tshabina, yang sekali lagi, hadir secara alamiah, tak melulu melalui tuturan verbal, juga sesekali mengandalkan gestur atau ekspresi kecil. Sedangkan Umay Shahab, yang paling banyak dibebani porsi humor, merupakan sosok
pendukung yang baik. Menarik mendapati petuah paling bermakna justru keluar
dari mulutnya, sewaktu Sam mengingatkan Roman perihal “memprioritaskan masa
depan yang sedang bersamanya saat itu”.
Rompis tetap menyimpan kelemahan. Alurnya terdiri atas terlalu
banyak konflik-konflik pendek yang direpetisi: Roman berniat menyenangkan
Wulan, Meira datang, Wulan kesal, Roman berusaha minta maaf. Sekitar 3-4 kali
kondisi serupa diulang, dan karena teramat sering, ketika tiba di resolusi
pamungkas, dampak emosinya rendah, sebab sebelumnya, kita sudah beberapa kali
sampai di titik yang sama dengan skala pertaruhan yang tak jauh beda pula. Tapi
jangan khawatir. Filmnya selalu punya cara menebus kekurangannya, sebagaimana
naskahnya rutin menyebar beberapa detail penjelas dalam dialog agar penonton
yang asing dengan sinetronnya tak tersesat.
Setiap Meira datang “mengganggu”,
saya merasa gemas, terpancing berujar “What
the hell is she doing here?! Gosh! It’s
gonna get ugly!”. Sedangkan sewaktu “penyakit gamang” menyerang Roman, saya
kesal dibuatnya sampai ingin masuk ke layar untuk menceramahinya. Rasanya
seperti ibu-ibu penggila sinetron yang gemar berceloteh mengomentari konflik
fiktif di televisi. Artinya, tontonan itu berhasil mengikat mereka. Rompis memang kisah cinta remaja ringan,
tapi kisah cinta remaja ringan yang langka, di mana penonton bisa betah berlama-lama
bersama karakternya, terjerat oleh permasalahan remeh namun pelik milik mereka.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
7 komentar :
Comment Page:Sekelas dgn dear nathan gak bagus nya ni min soalnya film remaja di era sekarang yg paling bagus hanya dear nathan..
Bdw review film serendipity dong min sutradara nya yg buat film dear nathan juga.
Iya setuju buat review serendipity. Comebacknya virgo putra after hiatus 7 tahun. Filmnya keren realita cinta rock n roll.
Wah dpt 3.5, berarti layak tonton ya...
@Aliando 11/12 lah sama Dear Nathan. Protagonisnya sama-sama likeable & filmnya feel-good. Serendipity lewat. Silhkan kalau mau angkat tema cerita 80-90an, nggak tertarik :)
Wah, lumayan nih bintangnya...
SESAT kapan bang?
gue curiga mas rasyid lagi LDR
biasanya semakin related semakin menyenangkan menontonnya
@Mofan Sesat paling nonton hari Kamis. Nggak berharap banyak.
@Teguh Kan udah disiratkan di atas :D
Posting Komentar