HEILSTÄTTEN (2018)
Rasyidharry
September 18, 2018
Davis Schulz
,
Ecki Ziedrich
,
horror
,
Kurang
,
Michael David Pate
,
Nilam Farooq
,
REVIEW
,
Sonja Gerhardt
,
Timmi Trinks
5 komentar
Silahkan googling “found footage
haunted hospital horror movie”. Anda akan menemukan setumpuk judul termasuk
Gonjiam: Haunted Asylum asal Korea
Selatan yang rilis beberapa bulan lalu. Sebab ini adalah lokasi menjemukan di subgenre yang makin menjemukan pula. Mungkin
memang ada ketakutan dalam diri kita terhadap rumah sakit maupun sanatorium, di
mana koridor gelap mengelilingi sementara aroma kematian tercium pekat bahkan
meski belum ditinggalkan atau bukan tempat melangsungkan eksperimen terlarang.
Sementara konsep found footage
(selain bentuk penghematan biaya) diharapkan menangkap nuansanya secara nyata. Tapi Heilstätten keliru menangkap esensi found footage. Visualnya menyolok, terlampau berusaha terlihat
bergaya dan terpoles untuk menciptakan atmosfer tidak nyaman, juga begitu
bising ketika penggunaan musik berlebih melucuti realisme alih-alih merayap
tanpa penonton sadari selaku ambient.
Jajaran tokoh utamanya adalah para YouTuber. Marnie (Sonja Gerhardt) dari
kanal soal mengahadapi ketakutan yang juga “final
girl” kita, Betty (Nilam Farooq), seorang daily vlogger (pastinya membicarakan tentang apa entahlah), dan
duet prankster, Chris-Finn (Davis
Schulz dan Timmi Trinks), yang gemar melawan hukum termasuk menyelinap ke kamar
mayat untuk mengambil swafoto bersama jenazah. Singkatnya, mereka adalah 2
remaja tolol yang bahkan tak tahu jika Perang Dunia belum lima kali pecah dan
memutuskan menghabiskan malam di rumah sakit angker demi mendongkrak
popularitas.
Duo penulis naskahnya, Michael
David Pate (juga menyutradarai) dan Ecki Ziedrich jelas ingin menggambarkan
mereka sebagai orang-orang bodoh dengan kepedulian nol besar sehingga pantas
menerima hukuman dari hantu penunggu rumah sakit yang konon menebar kutukan mematikan
pada siapa saja yang menginjakkan kaki di sana. Pada film horor di mana
kebodohan karakter dihalalkan atas nama intensitas, intensi tersebut terasa
cocok. Ketika di film lain kita terpancing berujar, “Kenapa karakternya begitu
bodoh??!!”, di sini kita bisa maklum, “Tentu saja remaja-remaja penggila
popularitas ini sebodoh itu”.
Heilstätten kentara menyimpan keinginan agar penonton
menertawakan karakternya, pun beberapa poin berpotensi jadi komedi gelap
menggelitik saat kebodohan mengakibatkan kecelakaan bahkan kematian. Sayang, Michael
David Pate tidak memiliki keberanian melangkah sepenuhnya ke sana. Dia ragu
mengajak kita menertawakan kemalangan. Di satu titik, filmnya malah coba
memberi pengampunan pada salah seorang tokoh dengan memberinya peran “teman
yang setia”. Inkonsistensi tone yang
membingungkan pun gagal dihindari.
Beberapa ide menarik terkait cara memunculkan
hantu sejatinya bertebaran, namun metode yang Pate pakai membuatnya sulit
disaksikan, entah akibat kamera yang bergoyang hebat atau penyuntingan chaotic. Setiap penampakan hadir, kamera
bergetar atau adegan berpindah (atau gabungan keduanya) sebelum kita bisa
melihat jelas peristiwa di layar. Titik balik jelang akhir berpotensi menyegarkan
dan mengangkat keseluruhan film, namun lagi-lagi karena pendekatan “Jangan
tunjukkan terornya”, peluang itu gagal dimanfaatkan. Heilstätten melewatkan kesempatan banting setir melangkah ke ranah torture porn brutal banjir darah. Sewaktu
kejutan pertama di awal babak ketiga masih selaras dengan tema, momen
pamungkasnya membunuh segala harapan Heilstätten
menjadi horor layak tonton.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
5 komentar :
Comment Page:Dulu excited dengan gaya2 found footage, tapi makin ke sini makin banyak yg ga bagus ya... Btw, Devil's backdoor dah nonton belum bang?
Belum pernah denger itu, gugling juga nggak nemu.
Udh lihat trailer perdana captain Marvell belum bang ?
Udah dong, trailer MCU pertama yang bisa bikin tertarik karena elemen dramanya.
bang gak ngereview film bleach (2018)?
Posting Komentar