HEILSTÄTTEN (2018)

5 komentar
Silahkan googlingfound footage haunted hospital horror movie”. Anda akan menemukan setumpuk judul termasuk Gonjiam: Haunted Asylum asal Korea Selatan yang rilis beberapa bulan lalu. Sebab ini adalah lokasi menjemukan di subgenre yang makin menjemukan pula. Mungkin memang ada ketakutan dalam diri kita terhadap rumah sakit maupun sanatorium, di mana koridor gelap mengelilingi sementara aroma kematian tercium pekat bahkan meski belum ditinggalkan atau bukan tempat melangsungkan eksperimen terlarang. Sementara konsep found footage (selain bentuk penghematan biaya) diharapkan menangkap nuansanya secara nyata. Tapi Heilstätten keliru menangkap esensi found footage. Visualnya menyolok, terlampau berusaha terlihat bergaya dan terpoles untuk menciptakan atmosfer tidak nyaman, juga begitu bising ketika penggunaan musik berlebih melucuti realisme alih-alih merayap tanpa penonton sadari selaku ambient.

Jajaran tokoh utamanya adalah para YouTuber. Marnie (Sonja Gerhardt) dari kanal soal mengahadapi ketakutan yang juga “final girl” kita, Betty (Nilam Farooq), seorang daily vlogger (pastinya membicarakan tentang apa entahlah), dan duet prankster, Chris-Finn (Davis Schulz dan Timmi Trinks), yang gemar melawan hukum termasuk menyelinap ke kamar mayat untuk mengambil swafoto bersama jenazah. Singkatnya, mereka adalah 2 remaja tolol yang bahkan tak tahu jika Perang Dunia belum lima kali pecah dan memutuskan menghabiskan malam di rumah sakit angker demi mendongkrak popularitas.

Duo penulis naskahnya, Michael David Pate (juga menyutradarai) dan Ecki Ziedrich jelas ingin menggambarkan mereka sebagai orang-orang bodoh dengan kepedulian nol besar sehingga pantas menerima hukuman dari hantu penunggu rumah sakit yang konon menebar kutukan mematikan pada siapa saja yang menginjakkan kaki di sana. Pada film horor di mana kebodohan karakter dihalalkan atas nama intensitas, intensi tersebut terasa cocok. Ketika di film lain kita terpancing berujar, “Kenapa karakternya begitu bodoh??!!”, di sini kita bisa maklum, “Tentu saja remaja-remaja penggila popularitas ini sebodoh itu”.

Heilstätten kentara menyimpan keinginan agar penonton menertawakan karakternya, pun beberapa poin berpotensi jadi komedi gelap menggelitik saat kebodohan mengakibatkan kecelakaan bahkan kematian. Sayang, Michael David Pate tidak memiliki keberanian melangkah sepenuhnya ke sana. Dia ragu mengajak kita menertawakan kemalangan. Di satu titik, filmnya malah coba memberi pengampunan pada salah seorang tokoh dengan memberinya peran “teman yang setia”. Inkonsistensi tone yang membingungkan pun gagal dihindari.

Beberapa ide menarik terkait cara memunculkan hantu sejatinya bertebaran, namun metode yang Pate pakai membuatnya sulit disaksikan, entah akibat kamera yang bergoyang hebat atau penyuntingan chaotic. Setiap penampakan hadir, kamera bergetar atau adegan berpindah (atau gabungan keduanya) sebelum kita bisa melihat jelas peristiwa di layar. Titik balik jelang akhir berpotensi menyegarkan dan mengangkat keseluruhan film, namun lagi-lagi karena pendekatan “Jangan tunjukkan terornya”, peluang itu gagal dimanfaatkan. Heilstätten melewatkan kesempatan banting setir melangkah ke ranah torture porn brutal banjir darah. Sewaktu kejutan pertama di awal babak ketiga masih selaras dengan tema, momen pamungkasnya membunuh segala harapan Heilstätten menjadi horor layak tonton.

5 komentar :

Comment Page:
aryo mengatakan...

Dulu excited dengan gaya2 found footage, tapi makin ke sini makin banyak yg ga bagus ya... Btw, Devil's backdoor dah nonton belum bang?

Rasyidharry mengatakan...

Belum pernah denger itu, gugling juga nggak nemu.

Adit Tyawarman mengatakan...

Udh lihat trailer perdana captain Marvell belum bang ?

Rasyidharry mengatakan...

Udah dong, trailer MCU pertama yang bisa bikin tertarik karena elemen dramanya.

Longe Taher mengatakan...

bang gak ngereview film bleach (2018)?