THE HOUSE WITH A CLOCK IN ITS WALLS (2018)
Rasyidharry
September 20, 2018
Cate Blanchett
,
Comedy
,
Cukup
,
Eli Roth
,
Eric Kripke
,
Fantasy
,
Jack Black
,
Owen Vaccaro
,
REVIEW
,
Rogier Stoffers
5 komentar
Dalam salah satu perubahan jalur
karir paling ekstrim sejak George Miller membuat Babe: Pig in the City (1998) dan Happy Feet (2006), Eli Roth (Cabin
Fever, Hostel, Death Wish) beralih sejenak (?) dari kegemarannya mandi
darah menuju adaptasi novel The House
with a Clock in Its Walls, buku pertama dari 12 seri Lewis Barnavelt buatan John Bellairs (diteruskan Brad Strickland
sejak buku ketujuh setelah Bellairs meninggal). Seperti banyak produksi klasik
Amblin Entertainment, film ini bersahabat bagi penonton anak. Jika biasanya
Roth menusuk dan merobek hati, kali ini ia coba
menghangatkannya, meski akhirnya sang sutradara total bergantung pada jajaran
pemain untuk mencapai itu.
Kasus lain tentang perubahan karir
aneh adalah saat Sam Raimi membuat trilogi Spider-Man.
Raimi berhasil karena sutradara horor yang baik selalu memiliki
sensitivitas dalam menciptakan intensitas, yang mana penting bagi “film popcorn”.
Itu sebabnya saya menaruh kepercayaan terhadap Aquaman garapan James Wan. Berbeda
dengan para kompatriotnya, Roth lebih banyak mengandalkan parade kekerasan
brutal nan vulgar ketimbang memainkan tensi, yang berujung menciptakan
kelemahan terbesar The House with a Clock
in Its Walls.
Filmnya menghabiskan mayoritas
durasi untuk: 1) Memperkenalkan Lewis Barnavelt (Owen Vaccaro), si bocah
tertutup yang dianggap aneh oleh teman sebayanya, kepada dunia sihir ketika
sang paman, Jonathan (Jack Black), menampung Lewis pasca kedua orang tuanya
meninggal; dan 2) Menyoroti proses Lewis belajar menjadi warlock alias penyihir sebagaimana Jonathan. Tentu skenario buatan
Eric Kripke (Boogeyman) kental aroma “underdog story”, lengkap dengan pesan
soal “Kamu mempunyai kelebihan walau dipandang sebelah mata”.
Apabila anda perhatikan, dua poin
di atas tak mengandung elemen pertempuran kebaikan melawan kejahatan seperti
jamaknya film anak-anak. Elemen serupa tetap ada, namun datang begitu kisahnya melewati
separuh jalan. Sebelum sampai di sana, Roth sanggup membawa kita mengarungi perjalanan
menghibur. Visualnya, yang melibatkan kaca patri yang rutin berubah gambar,
perabotan yang dapat bergerak, serta singa dari rumput yang menolak buang air
di bak pasir, terlihat menarik dalam
balutan sinematografi Rogier Stoffers (School
of Rock, The Vow, Death Wish). Deretan ide imajinatif tersebut memang
didasari materi aslinya, tetapi visi kreatif Roth berjasa
menghidupkannya.
Mengikuti formula “underdog story”, tentu montage berisi usaha Lewis melatih ilmu
sihirnya bisa kita temui. Montage
yang berjalan singkat namun memikat lewat humor yang tampil kuat berkat keberadaan
Jack Black selaku salah satu keputusan casting
yang tepat. Black sempurna menangani peran di dunia fantasi ajaib seperti ini. Vaccaro
si aktor cilik pun tampil apik, khususnya saat diminta menangis tanpa perlu
terlihat menyebalkan. Tapi bintang terbesar film ini jelas Cate Blanchett
sebagai Florence Zimmerman, penyihir wanita tetangga Jonathan dengan obsesi
terhadap warna ungu. Pakaiannya berwarna ungu, bahkan ia berusaha mengubah
ularnya menjadi ungu.
Blanchett mengajarkan bagaimana
cara berakting di tontonan family-friendly.
Dia bersenang-senang di adegan-adegan ringan, entah saat bertukar ejekan dengan
Black atau ketika secara elegan tetapi playful,
terlibat di tengah-tengah aksi. Pun The
House with a Clock in Its Wall tak ubahnya film keluarga lain yang
mempunyai bagian dramatis, dan sewaktu momen itu tiba, cukup melalui satu
monolog pendek, Blanchett berhasil mencengkeram perasaan. Anda akan tahu adegan
yang mana saat menontonnya. Dengarkan getaran suaranya, perhatikan tatapan
matanya, pula keraguan kala melangkah, yang seperti halnya seseorang ketika
dikuasai emosi, tak tahu mesti berbuat apa.
Tanpa kebolehan akting pemainnya,
film ini akan menjadi perjalanan yang enak dilihat namun nihil kepekaan akan
intensitas. Narasinya terasa draggy,
juga nyaris tanpa sentakan, sebab sekali lagi, Roth bukan ahlinya menciptakan
ketegangan bahkan saat menggarap horor. Tanpa gore dia kehilangan banyak taring, walau untungnya tidak sampai
jadi macan ompong. Roth memanfaatkan kesintingannya demi menghasilkan teror.
Dia terbiasa mendobrak batas. Itulah mengapa imajinasinya bergerak liar tatkala
menangani hiburan visual, dan rasanya nyaris tak ada sutradara yang bernyali
memperlihatkan sosok iblis dalam tampilan se-disturbing Azazel versi Roth di sini.
Akibat sisi lemah penyutradaraan
Roth, saya tak sabar guna beralih dari dua poin alur di atas untuk segera
mencapai titik di mana bahaya besar, hasil dari jam yang disembunyikan dalam
dinding rumah Jonathan oleh seorang penyihir, mulai merangsek masuk. Jam itu
terus berdetak tiap malam. Jonathan dan Florence tak tahu ke mana jam itu bakal
membawa mereka, walau pastinya bukan menuju hal menyenangkan. Bahaya itu
akhirnya menampakkan wujudnya sewaktu Lewis, didorong keputusasaannya untuk
mencari teman melalui pembuktian bahwa ia bisa menguasai sihir, nekat melakukan
hal terlarang. Timbul pertanyaan, “Kenapa Lewis tak memamerkan kemampuannya
menggerakkan barang yang telah dikuasainya saja?”. Saya yakin itu sudah cukup
memesona bagi kawan-kawannya.
The House with a Clock in Its Walls bermuara di pertempuran
trio protagonis melawan monster labu plus berbagai makhluk aneh lain, yang
kembali, gagal menyentuh intensitas maksimum, salah satunya akibat klimaks yang
berakhir terlampau mudah. Setidaknya, satu momen konyol (dan agak creepy) yang melibatkan “badan Jack
Black” membuktikan bahwasanya Roth, biarpun bukan produsen ketegangan handal, memiliki
otak sinting yang dapat memproduksi hiburan.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
5 komentar :
Comment Page:Se elum membaca lebih jauh d paragraf awal saya sudah menduga2 film ini slah satu penyelamatnya karna ada cate blanchet ..dan..bommm akhrnya bnar juga, slah satu artis terbaik saya ha sperri di blue jasmin, slalu suka ..cate blanchet..
"Anda akan tahu adegan yg mana saat menontonnya..."
Ya. Saya tau. Karena saya nangis disitu 😁
@Zamal Yes! She can saves any movie. Taruh Cate Blanchett, sejelek apa pun filmnya, at least jadi enjoyable di bagian dia.
@Yolana Luar biasa emang. Saya juga sesek banget nontonnya :D
Semalem saya tonton, dan sayang banget bioskop hanya separuh terisi. Sejujurnya saya justru senang dengan penceritaannya namun sedikit mengingatkan pada masa-masa harry potter. Saya setuju ketika magnet utama film ini adalah castnya karena ada cate blanchett dan jack blacklah saya lebih memilih the house with a clock dibandingkan the predator. sempat terkesan dengan kemampuan si Lewis aktingnya bagus banget. Salfok juga dengan teman Lewis yang namanya Tarby dan Rose, karena awalnya saya pikir Rose juga ada kaitannya dengan penyihir. Ternyata hanya sebagai pemanis.
@Lusiana Rose ini kalau di novel baru dapat peran besar di buku kedua, jadi muridnya Florence, semacam tease buat sekuelnya.
Posting Komentar