A SIMPLE FAVOR (2018)
Rasyidharry
Oktober 21, 2018
Anna Kendrick
,
Blake Lively
,
Henry Golding
,
Jessica Sharzer
,
Lumayan
,
Mystery
,
Paul Feig
,
REVIEW
,
Theodore Shapiro
,
Thriller
2 komentar
Paul Feig (Bridesmaids, Spy) bereksperimen lewat A Simple Favor yang merupakan adaptasi novel berjudul sama karya
Darcey Bell. Alih-alih sepenuhnya merambah “sisi gelap” sebagaimana dijadikan
materi promosi lewat tagline berbunyi
“The Darker Side of Paul Feig” dan
mengikuti pola Hitchcockian atau Les Diaboliques (1955)—yang bahkan
disebut dalam dialog—sang sutradara, bersama penulis naskah Jessica Sharzer (Nerve), berani menyatukan elemen thriller misteri dengan komedi yang jadi
keahliannya. Hasilnya menyenangkan, meski acap kali campur aduk.
Itulah kenapa Anna Kendrick jadi
pilihan tepat sebagai Stephanie Smothers, ibu tunggal sekaligus vlogger resep masakan dan kerajinan. Kendrick,
serupa mayoritas peran-peran sebelumnya, memerankan wanita muda naif dan
canggung, yang kerap membuatnya bertingkah konyol di tengah interaksi sosial.
Dan dia bagus. Kendrick, selain tentunya kepiawaian pengadeganan Feig, adalah
alasan humornya selalu berhasil, walau kejenakaan A Simple Favor seringkali ada di tempat yang aneh.
Tapi inilah tujuan Feig. Dia tidak
ingin mencengkeram jantung penonton layaknya Alfred Hitchcock, atau menampilkan
gurat-gurat kengerian bak Les Diaboliques.
Feig ingin menghibur. Feig ingin kita tertawa, terjaga, terkejut, dan tentunya
terpesona sebagaimana Stephanie kala ia pertama bertemu Emily Nelson (Blake
Lively) saat keduanya menjemput putera mereka dari sekolah. Emily adalah wanita
elegan dengan dandanan menawan seolah baru tiba dari acara peragaan busana di
Paris, selaras dengan lantunan musik jazzy
garapan Theodore Shapiro, komposer langganan Feig sejak Spy.
Serupa Kendrick, Lively jelas sempurna
sebagai Emily, yang membuat bukan saja Stephanie, tapi juga penonton sulit
melepaskan pandangan darinya. Hebatnya, ia pun mulus berkomedi. Kata “brotherfucker” takkan selucu itu kalau
bukan berkatnya.
Kedua tokoh utama kita cepat akrab.
Stephanie mengagumi betapa elegan Emily, sebaliknya, sang kepala divisi
hubungan masyarakat suatu perusahaan mode itu menyukai kelucuan Stephanie.
Mungkin Stephanie memberi hiburan bagi Emily, yang kesehariannya hanya ditemani
pekerjaan serta suaminya, Sean (Henry Golding), novelis yang telah 10 tahun tak
menghasilkan karya baru. Hingga suatu hari, Emily mengajukan sebuah permintaan
sederhana agar Stephanie menjemput puteranya dari sekolah. Setelahnya, ia
menghilang.
“Where’s Emily?” merupakan pertanyaan yang filmnya ingin kita
pertanyakan. Asumsi-asumsi mampu dimunculkan, teori-teori berseliweran di
kepala, usaha menyatukan keping-keping puzzle pun saya lakukan didasari
pengalaman menyaksikan film-film misteri bertema serupa. Kemudian filmnya
menampar lewat titik balik di pertengahan durasi. Segala teori dan asumsi tadi
pun runtuh.
Saya meyakini, kisah misteri yang
baik bukan bergantung pada jawaban atau kejutan di akhir, melainkan proses investigasi.
Konklusi yang sukar ditebak sebatas bonus. Dan kelebihan A Simple Favor terletak pada caranya mengombang-ambingkan pemikiran
penonton. Setiap kita merasa mulai menemukan titik terang, fakta baru yang
kontradiktif langsung dipresentasikan. Alurnya pun bergerak dinamis begitu
Stephanie memutuskan memulai penyelidikan ketimbang berdiam diri dikuasai
kebingungan. Di sinilah humornya berperan. Sesekali otak kita dibawa rehat
sejenak dari pencarian fakta, untuk menertawakan polah Stephanie (plus jajaran
tokoh pendukung) yang selalu menemukan jalan bertingkah konyol.
Sayang, mencapai babak akhir,
filmnya keteteran akibat penyakit lawas: obesi terhadap twist. Kejutan demi kejutan yang mayoritas punya mekanisme absurd dijajarkan
terburu-buru, tanpa memberi penonton waktu mencerna fakta yang terungkap
sebelumnya. Ditambah lagi, kapasitas Feig menangani momen pengungkapan kejutan
dalam misteri belum mumpuni. Mungkin ia enggan “membesar-besarkan” kejutan,
namun dampaknya, beberapa titik sebatas hadir sambil lalu. Untunglah A Simple Favor tidak semata
menggantungkan garis finish, pula perjalanan mencapai sana. Dan sungguh
perjalanan yang menyenangkan.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
2 komentar :
Comment Page:Nonton di mana ini kang Rasyid? Apakah bakal tayang di bioskop nantinya?
Kemarin ada midnite. Harusnya sih tayang reguler minggu ini ya. Antara Selasa, Rabu, atau Jumat. Suka-suka 21 lah haha
Posting Komentar