JAGA POCONG (2018)
Rasyidharry
Oktober 23, 2018
Acha Septriasa
,
Aqilla Herby
,
Aviv Elham
,
Baskoro Adi Wuryanto
,
Hadrah Daeng Ratu
,
horror
,
Indonesian Film
,
Jajang C. Noer
,
Kurang
,
REVIEW
,
Zack Lee
12 komentar
Menjaga pocong adalah premis
mengerikan, utamanya karena kegiatan itu amat mungkin dialami siapa saja.
Semakin menarik dua figur kunci Jaga
Pocong sama-sama menjajaki dunia horor untuk kali pertama: Acha Septriasa yang
kerap memamerkan akting-akting dramatik terbaik, dan Hadrah Daeng Ratu di kursi
penyutradaraan yang baru saja mempersembahkan tontonan terlucu tahun lalu
melalui dua bagian Mars Met Venus. Saya
mulai was-was begitu mendapati nama-nama yang tercantum pada departemen
penulisan. Aviv Elham (Alas Pati, Arwah
Tumbal Nyai) menulis naskah berdasarkan ide cerita Baskoro Adi Wuryanto (Jailangkung, Sakral, Gasing Tengkorak)
terdengar bagai kolaborasi dari neraka.
Mila (Acha Septriasa) adalah suster
yang menaruh perhatian besar terhadap pasien anak (ini akan jadi modus operandi
naskahnya nanti). Ketika ia bersiap pulang dari giliran jaga di rumah sakit,
Mila justru diminta secara mendadak menangani seorang pasien di rumah. Mengapa
tugas ini dilimpahkan padanya? Menurut sang atasan, “Karena memang harus kamu”.
Kalimat itu, yang nantinya bakal dipakai menjelaskan sebuah poin plot penting
jelang akhir, merupakan simplifikasi yang jamak kita temui di karya-karya Aviv
maupun Baskoro sebelumnya.
Ada satu elemen menarik, yakni
kicau burung kedasih, yang konon memberitakan kematian. Kicau tersebut terdengar
sebelum seorang pasien di rumah sakit yang Mia rawat meninggal, juga
sesampainya Mia di tujuan, dan mendapati bahwa Sulastri (Jajang C. Noer),
pasien yang semestinya dia rawat, sudah tak bernyawa. Hanya ada putera
Sulastri, Radit (Zack Lee), dan cucunya, Novi (Aqilla Herby). Kicau burung
kedasih dapat memberi sentuhan kecil, subtil, namun efektif membangun
kengerian, yang sayangnya urung diterapkan lagi begitu Jaga Pocong melancarkan terornya.
Jaga Pocong mengalun lambat di awal, mengajak kita melihat Mila
memandikan jenazah Sulastri, mengafaninya, sampai akhirnya diminta menjaga
jenazah karena Radit harus mengurus izin pemakaman. Rangkaian aktvitias
tersebut dekat dengan realita, dan itulah alasan pembangunan atmosfernya cukup
berhasil. Jaga Pocong menempatkan
protagonis dalam situasi yang kengeriannya mudah penonton pahami.
Tapi seiring waktu berlalu,
naskahnya mulai memperlihatkan kelemahan demi kelemahan. Salah satunya
ketiadaan ide mengenai apa yang harus Mila perbuat selama ditinggal seorang
diri bersama pocong Sulastri yang terbaring di tengah ruangan. Alhasil,
dibuatlah Mila menjadi karakter penuh rasa penasaran (baca: bodoh). Sewaktu tiba-tiba,
entah dari mana kain kafan membentang di hadapannya, Mila menarik itu, berusaha
mencari ujungnya. Di lain kesempatan, disorotnya wajah pocong dengan senter,
seolah tidak puas cuma melihat bagian bawah tubuhnya.
Karakterisasi lain, seperti sudah
saya sebutkan, adalah perhatian besar kepada anak-anak. Mia amat mempedulikan
Novi, sampai menghabiskan mayoritas durasi film memanggil nama si bocah.
Ketimbang Jaga Pocong, film ini
mestinya disebut Jaga Novi. Demi
mengakali ketiadaan plot (yang sejatinya bukan masalah asal ditangani secara
tepat), naskahnya menggiring Mila dalam kesibukan mencari Novi yang berulang
kali menghilang. Aviv Elham perlu memahami jika tidak semua peristiwa wajib
diverbalkan. Bahasa non-verbal justru berpeluang memaksimalkan penuturan visual
sutradara maupun akting pemain.
Keharusan meneriakkan nama Novi
cukup mengganggu penampilan Acha, yang meski bukan akting terbaik sepanjang
karirnya, jelas jauh lebih baik dibanding banyak pemeran utama horor medioker
kita. Acha berteriak, menangis, dengan cara yang memudahkan kita merasakan
keputusasaan Mila. Keputusasaan wanita biasa yang terjebak dalam situasi di
mana ia benar-benar tidak berdaya. Hadrah paham betul kapasitas aktrisnya dan
berusaha memanfaatkannya sebisa mungkin, membiarkan kamera menangkap emosi Acha
secara utuh terlebih dahulu sebelum berpindah ke teror berikutnya.
Perihal menangani teror, Hadrah
sanggup menghadirkan beberapa jump scare
solid, walau keseluruhan, masih jauh dari spesial. Tapi saya rasa itu masalah
pengalaman. Jaga Pocong merupakan pengalaman
pertama Hadrah menggarap horor, dan merujuk pada fakta tersebut, debut ini
jelas tidak buruk-buruk amat. Terlebih, tidak banyak yang bisa diperbuat ketika
diberi modal naskah yang miskin kreativitas. Riasan pocong—yang tampak mumpuni
dibanding deretan hantu muka bubur basi dalam deretan horor lokal kelas D—pun tak
banyak menolong.
Kemudian, setelah nyaris tak memberi
kontribusi, naskahnya menghabiskan 10 menit terakhir mempresentasikan twist yang memancing saya bertanya, “Apabila
ada jalan gampang guna mencapai tujuannya, untuk apa repot-repot meneror Mila melalui
penampakan-penampakan pocong yang nihil signfikansi dengan tujuan itu?”. Lalu
ketika saya mulai melontarkan pertanyaaan berikutnya, “Kenapa harus Mila?”, naskahnya
langsung menjawab, “Karena memang harus dia”. Oh, baiklah.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
12 komentar :
Comment Page:Seburuk apapun saya tetap penasaran,terutama adanya acha dsini..., brtti espektqsi jngn trrllu tinggi ya
penasaran sih acha kan ekspresif banget
kayaknya ok akting film horror
Acha bukannya my udah pernah maen film bergenre horor y bung kyk barakati trus midnight show..doi emang ekspresif bgt jago pisan..ketakutan dia.. ekspresif dia...menyelamatkan film horor itu sendiri..tapi saya menyukai ekspresif ny Nirina Zubir dfilm horor "mirror"sayang Nirina sudah gk keliatannlg main film horor setelah itu
@Zamal Oh tenang, Acha worth your time & money.
@Teguh Dan itu yang dia kasih di sini.
@hilpans Barakati lebih ke adventure sih, ala Indiana Jones yang pakai elemen horor. Kalau Midnight Show, personally lebih mandang itu sebagai giallo, yang mana kombinasi thriller+horor. Makanya Jaga Pocong ini horor murni pertama.
Kalau boleh tahu, kok ratingnya sama dg film Bayi Gaib? Apakah memang kualitasnya sama? Menurut mas rasyid mending ini apa Bayi Gaib?
"Saya mulai was-was begitu mendapati nama-nama yang tercantum pada departemen penulisan. Aviv Elham (Alas Pati, Arwah Tumbal Nyai) menulis naskah berdasarkan ide cerita Baskoro Adi Wuryanto (Jailangkung, Sakral, Gasing Tengkorak) terdengar bagai kolaborasi dari neraka."
Oke skip dulu deh kayaknya..
Pertama kali liat trailernya udah terlanjur jatuh hati
Jadi tetap bakal nonton
Baca review hanya sekedar referensi
Terima kasih review nya
@Alvan Skor 2,5 buat Bayi Gaib itu karena saking jeleknya, jadi fun ditonton. Kalau Jaga Pocong film yang digarap serius tapi kurang oke. Skor sama tapi kualitas jauh beda. Tapi memang, kalau sekarang suruk kasih skor, Bayi Gaib kasih 2 aja cukup.
premis dan trailer-nya cukup menjanjikan
Suasana yg dibangun pas awal udah oke sih apa lagi suara "dug dug dug.." yg berasa bener seperti pocong lompat lompat.
Saya juga sependapat 😂😂
Saya udah nonton filmnya tadi. Sebenernya filmnya punya premis yang oke, namun entah kenapa ada teror yg kurang kuat motivasinya untuk dihadirkan, seperti ketika novi kesurupan, pocong yg cuma nongol. Pada intinya mereka cuma butuh jasad mila, udah kyak X Man aja hehe. Terus kenapa harus ada teror tidak berarti. Sejauh ini beberapa film horor indonesia masih belum benar-benar meninggalkan penyakitnya, yaitu teror dg motivasi lemah, atau bahkan kosong.
Posting Komentar