Tampilkan postingan dengan label Henry Golding. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Henry Golding. Tampilkan semua postingan

THE GENTLEMEN (2019)

Mickey Pearson (Matthew McConaughey) sang Raja ganja di Inggris hendak pensiun dan menjual bisnisnya. Tapi The Gentlemen bukan potret seorang gangster yang tengah mencari kedamaian. Tidak ada kedamaian di sini, tidak ada upaya menggali sisi kemanusiaan dari para kriminal. Bukan pula mengenai benturan kekuasaan antar generasi gangster maupun perenungan tentang kematian yang menggelayuti pelaku dunia hitam, sebab The Gentlemen menandai kembalinya Guy Ritchie ke “akarnya” melalui suguhan komedi/kriminal bergaya yang melambungkan namanya dahulu.

Jika familiar dengan filmografi sang sutradara/penulis naskah, anda tentu tahu bahwa substansi tidak seberapa diperhatikan. Kisahnya dibuka saat Mickey berjalan memasuki bar, meminum bir, melakukan panggilan telepon, lalu seseorang yang wajahnya tak diperlihatkan berdiri di belakangnya, menodongkan senjata, dan layar menampilkan cipratan darah di gelas bir. Apa yang terjadi?

Jawaban atas pertanyaan tersebut takkan didapat secara instan. Tidak sebelum kita menyaksikan peristiwa-peristiwa liar yang diceritakan oleh Fletcher (Hugh Grant), seorang detektif swasta, kepada Raymond (Charlie Hunnam), tangan kanan Mickey. Fletcher disewa oleh Big Dave (Eddie Marsan), editor tabloid Daily Print, yang menyimpan dendam, sehingga ingin menjatuhkan Mickey dengan cara mengungkap rahasianya. Bukannya melaporkan hasil temuan pada Big Dave, Fletecher justru menawarkan itu pada Raymond dengan harga £20 juta.

Fletcher menceritakan seluruh temuannya, dan kita pun dibawa mengikuti perjalanan panjang yang membentang dari paparan masa lalu Mickey, sampai intrik-intrik yang melibatkan para pengincar kekuasaan dunia gelap perdagangan mariyuana. Ada Matthew Berger (Jeremy Strong) si milyuner Amerika Serikat yang berniat membeli semua lahan mariyuana Mickey, Dry Eye (Henry Golding) si anggota gangster Cina yang penuh ambisi, hingga seorang pelatih tinju tanpa nama (Colin Farrell) yang kebetulan terseret akibat ulah murid-muridnya.

Dalam merangkai naskahnya, Ritchie bermain-main menggunakan Fletcher selaku unreliable narrator yang gemar memalsukan cerita hanya karena iseng atau memperseru situasi. Tentu sebenarnya Ritchie yang ingin memperseru situasi. Tapi berkat penokohan Fletcher, mudah bagi kita menerima keliaran narasinya. Mudah menerima kala rasio aspek layar berubah agar tampak bak film zaman dulu atau ketika segelintir humor meta dilontarkan Fletcher. Mudah juga menerima saat beberapa kejadian diralat dan ternyata hanya rekaan yang dia pakai untuk menambah bumbu.

The Gentlemen memang kaya akan bumbu. Bumbu berupa ciri sang sutradara, yang meliputi: gerak lambat, penyuntingan kilat, dan banyak twist yang tak perlu repot-repot kita pikirkan logika serta kepentingannya, karena sekali lagi, hal-hal semacam esensi bukan budaya film-film Guy Ritchie. Budaya film-film Guy Ritchie adalah keseruan sarat machismo keren para gentlemen yang sekilas nampak bermartabat dengan setelan jas necis yang sesungguhnya adalah topeng penutup kebengisan.

Dampaknya, sewaktu adegan aksi (yang secara mengejutkan kuantitasnya tidak seberapa) atau pameran gaya Ritchie tak mengisi layar, dinamika dan daya tarik filmnya turut mengendur. Ritchie bukan seorang pencerita mumpuni, alhasil sewaktu gaya itu dilucuti, pacing-nya melemah, seolah The Gentlemen kehilangan daya. Pertanyaannya, seberapa sering itu terjadi? Untungnya tidak terlalu, mengingat elemen-elemen lain turut mengulurkan bantuan.

Selain barisan musik asyik yang tak pernah absen dari judul-judul Ritchie, performa para pemainnya mengibur lewat keberhasilan menghidupkan image jajaran “penjahat brutal berkelas”. McConaughey, Hunnam, dan Farrell menyimpan hewan buas di balik ketenangan mereka. Hewan buas yang lebih sering dilepaskan dari kandang oleh Golding dalam peran yang berlawanan dengan sosok pria kharismatik baik-baik yang mulai identik dengan dirinya. Begitu pun Grant. Selalu menyenangkan melihat Grant melawan stereotip. Sebaliknya, selalu menyenangkan melihat Ritchie tidak berusaha mengubah image dalam berkarya.

LAST CHRISTMAS (2019)

Last Christmas, yang naskahnya ditulis oleh Emma Thompson (Sense and Sensibility, Nanny McPhee, Bridget Jones’s Baby) dan Bryony Kimmings berdasarkan lagu berjudul sama buatan George Michael, merupakan komedi-romantis berlatar Natal, yang seperti banyak film Natal, “nilai apa yang diangkat” lebih dipentingkan dari penceritaan. Hasilnya klise dan kerap terlalu sentimentil, tapi merupakan kebohongan bila saya mengaku film ini gagal meninggalkan kesan.

Termasuk Last Christmas, ada total 14 lagu duo pop Wham! dan solo George Michael plus satu unreleased track (This Is How (We Want You to Get High)), mengiringi perjalanan Katarina, atau yang lebih suka dipanggil Kate (Emilia Clarke), seorang gadis dari keluarga Yugoslavia yang menetap di London pasca meletusnya perang. Hidup Kate berantakan. Hubungannya dengan keluarga, terutama sang ibu (Emma Thompson) merenggang, pun akibat kecerobohan serta keegoisannya, Kate selalu diusir di mana saja ia tinggal, menjadikannya tunawisma , mondar-mandir di jalanan London membawa koper dengan stiker “George Michael Forever”, mengenakan sepatu Elf selaku seragam kerjanya.

Kate bekerja di toko barang Natal milik Santa (Michelle Yeoh), di mana dia selalu terkena teguran si bos akibat kinerja buruknya. Mimpinya menjadi penyanyi senantiasa kandas akibat deretan kegagalan audisi. Begitu sampai di titik terendah dalam hidupnya, Kate bertemu Tom (Henry Golding). Berkebalikan dengan sinisme Kate, Tom penuh semangat bahkan cenderung eksentrik. Tom gemar menari di tengah jalan, dan ketimbang menatap layar smartphone, dia lebih suka menengadah memperhatikan detail-detail di sekitarnya.

Kate mulai tertarik pada Tom yang mengembalikan kepoitifannya, membuka matanya akan warna-warna dalam hidup yang selama ini tidak Kate acuhkan, dan dari situ, mudah menebak Last Christmas bakal bergerak ke mana. Film ini adalah soal proses Kate memperbaiki diri, menemukan kebahagiaan dengan cara mengurangi egoisme untuk membahagiakan sesama, alias sejalan dengan nilai-nilai Natal perihal kebaikan hati dan kebersamaan.

Sederhana, hanya saja di tengah perjalanan, naskahnya menambahkan beberapa kisah sampingan yang sejalan dengan nilai-nilai di atas, meski signifikansi terhadap konflik utamanya dipertanyakan. Isu rasisme sedikit disentil, sedangkan Santa, yang digambarkan keras dan dingin, rupanya bisa luluh juga karena cinta. Dia terpikat pada seorang pria pemalu pengunjung toko (Peter Mygind), pasca pertemuan pertama yang menunjukkan totalitas Michelle Yeoh mengolah rasa, bahkan untuk adegan komedik ringan sekalipun.

Setumpuk masalah kompleks menimpa Kate, namun seperti tertulis di paragraf pembuka, naskahnya cuma berfokus pada nilai daripada kualitas penceritaan. Berbasis pada konsep keajaiban Natal, filmnya melakukan simplifikasi tatkala seluruh konflik usai begitu saja begitu Kate berhasil memperbaiki diri, yang mana prosesnya juga tidak kalah instan. Beruntung kita takkan keberatan menyaksikan perubahan Kate, sebab dengan semua sifat buruknya, sosoknya tetap simpatik berkat penampilan Emilia Clarke.

Walau tampil apik di Me Before You (2016) dan Solo: A Star Wars Story (2018), di sinilah talenta sang aktris dimanfaatkan seutuhnya. Sesuatu yang sangat Clarke butuhkan guna lepas dari bayang-bayang Game of Thrones. Clarke mampu mengubah sinisme dan sikap apatis jadi kejenakaan loveable, lalu saat akhirnya Kate sukse mengentaskan diri dari jurang kesengsaraan, senyum lebarnya bakal membuatmu ikut merasakan kebahagiaan. Henry Golding jadi tandem sempurna dengan pesona bak Prince Charming dari negeri dongeng sebagaimana telah ditunjukkannya di Crazy Rich Asians.

Membungkus pertemuan dua hati itu adalah penyutradaraan Paul Feig (Bridesmaids, Spy, A Simple Favor) yang tahu caranya menangkap romantisme berlatar kelap-kelip indah hiasan lampu Natal, sembari masih meninggalkan jejak kelihaiannya memvisualisasikan komedi. Euforia serta kehangatan adegan musikal selaku penutup pun mampu dihantarkan Feig, yang efeknya akan lebih kuat andai sebelumnya tidak ada gangguan berupa twist melodramatis ala Nicholas Sparks, yang kemunculannya bisa ditebak hanya dengan membaca dua kalimat dari lirik salah satu lagu George Michael.

A SIMPLE FAVOR (2018)

Paul Feig (Bridesmaids, Spy) bereksperimen lewat A Simple Favor yang merupakan adaptasi novel berjudul sama karya Darcey Bell. Alih-alih sepenuhnya merambah “sisi gelap” sebagaimana dijadikan materi promosi lewat tagline berbunyi “The Darker Side of Paul Feig” dan mengikuti pola Hitchcockian atau Les Diaboliques (1955)—yang bahkan disebut dalam dialog—sang sutradara, bersama penulis naskah Jessica Sharzer (Nerve), berani menyatukan elemen thriller misteri dengan komedi yang jadi keahliannya. Hasilnya menyenangkan, meski acap kali campur aduk.

Itulah kenapa Anna Kendrick jadi pilihan tepat sebagai Stephanie Smothers, ibu tunggal sekaligus vlogger resep masakan dan kerajinan. Kendrick, serupa mayoritas peran-peran sebelumnya, memerankan wanita muda naif dan canggung, yang kerap membuatnya bertingkah konyol di tengah interaksi sosial. Dan dia bagus. Kendrick, selain tentunya kepiawaian pengadeganan Feig, adalah alasan humornya selalu berhasil, walau kejenakaan A Simple Favor seringkali ada di tempat yang aneh.

Tapi inilah tujuan Feig. Dia tidak ingin mencengkeram jantung penonton layaknya Alfred Hitchcock, atau menampilkan gurat-gurat kengerian bak Les Diaboliques. Feig ingin menghibur. Feig ingin kita tertawa, terjaga, terkejut, dan tentunya terpesona sebagaimana Stephanie kala ia pertama bertemu Emily Nelson (Blake Lively) saat keduanya menjemput putera mereka dari sekolah. Emily adalah wanita elegan dengan dandanan menawan seolah baru tiba dari acara peragaan busana di Paris, selaras dengan lantunan musik jazzy garapan Theodore Shapiro, komposer langganan Feig sejak Spy.

Serupa Kendrick, Lively jelas sempurna sebagai Emily, yang membuat bukan saja Stephanie, tapi juga penonton sulit melepaskan pandangan darinya. Hebatnya, ia pun mulus berkomedi. Kata “brotherfucker” takkan selucu itu kalau bukan berkatnya.

Kedua tokoh utama kita cepat akrab. Stephanie mengagumi betapa elegan Emily, sebaliknya, sang kepala divisi hubungan masyarakat suatu perusahaan mode itu menyukai kelucuan Stephanie. Mungkin Stephanie memberi hiburan bagi Emily, yang kesehariannya hanya ditemani pekerjaan serta suaminya, Sean (Henry Golding), novelis yang telah 10 tahun tak menghasilkan karya baru. Hingga suatu hari, Emily mengajukan sebuah permintaan sederhana agar Stephanie menjemput puteranya dari sekolah. Setelahnya, ia menghilang.

Where’s Emily?” merupakan pertanyaan yang filmnya ingin kita pertanyakan. Asumsi-asumsi mampu dimunculkan, teori-teori berseliweran di kepala, usaha menyatukan keping-keping puzzle pun saya lakukan didasari pengalaman menyaksikan film-film misteri bertema serupa. Kemudian filmnya menampar lewat titik balik di pertengahan durasi. Segala teori dan asumsi tadi pun runtuh.

Saya meyakini, kisah misteri yang baik bukan bergantung pada jawaban atau kejutan di akhir, melainkan proses investigasi. Konklusi yang sukar ditebak sebatas bonus. Dan kelebihan A Simple Favor terletak pada caranya mengombang-ambingkan pemikiran penonton. Setiap kita merasa mulai menemukan titik terang, fakta baru yang kontradiktif langsung dipresentasikan. Alurnya pun bergerak dinamis begitu Stephanie memutuskan memulai penyelidikan ketimbang berdiam diri dikuasai kebingungan. Di sinilah humornya berperan. Sesekali otak kita dibawa rehat sejenak dari pencarian fakta, untuk menertawakan polah Stephanie (plus jajaran tokoh pendukung) yang selalu menemukan jalan bertingkah konyol.

Sayang, mencapai babak akhir, filmnya keteteran akibat penyakit lawas: obesi terhadap twist. Kejutan demi kejutan yang mayoritas punya mekanisme absurd dijajarkan terburu-buru, tanpa memberi penonton waktu mencerna fakta yang terungkap sebelumnya. Ditambah lagi, kapasitas Feig menangani momen pengungkapan kejutan dalam misteri belum mumpuni. Mungkin ia enggan “membesar-besarkan” kejutan, namun dampaknya, beberapa titik sebatas hadir sambil lalu. Untunglah A Simple Favor tidak semata menggantungkan garis finish, pula perjalanan mencapai sana. Dan sungguh perjalanan yang menyenangkan.

CRAZY RICH ASIANS (2018)

Di luar menjadi film berlatar modern produksi studio besar Hollywood pertama yang mayoritas pemainnya diisi jajaran pemain Asia sejak The Joy Luck Club (1993), Crazy Rich Asians tidak berusaha membongkar pakem. Filmnya menerapkan formula komedi-romantis mengenai jatuh-bangun hubungan romansa, mencampurnya dengan formula lain tentang “Cerita Cinderella” lengkap dengan momen makeover  yang bakal membuatmu berharap didatangi ibu peri beserta kereta labu ajaib. Adaptasi novel bestseller berjudul sama karya Kevin Kwan ini tak berusaha menjauh, tapi memperkaya, memperdalam, sekaligus mempercantik formula yang telah paten. Demikian, Crazy Rich Asians berpeluang membangkitkan komedi-romantis arus utama dari mati suri.

Aksi kucing-kucingan untuk mendapatkan pria/gadis idaman ditiadakan (setidaknya sampai babak akhir), diganti usaha merebut hati calon mertua. Rachel Chu (Constance Wu), gadis Cina-Amerika yang menjabat profesor ekonomi di New York University menerima ajakan sang kekasih, Nick Young (Henry Golding) menghadiri pernikahan sahabatnya, Colin Khoo (Chris Pang) dengan Araminta (Sonoya Mizuno) di Singapura, sekaligus bertemu ibunya, Eleanor (Michelle Yeoh). Satu hal yang Rachel belum ketahui, Nick merupakan anak sulung salah satu keluarga terkaya di sana.

Pesona Golding membuatnya tampak meyakinkan sebagai pewaris tahta dinasti keluarga terpandang dan figur publik idola, sementara Wu, menampilkan kepolosan yang seiring waktu berkembang jadi kepercayaan diri. Berdua, mereka menciptakan pasangan komedi-romantis sempurna, tapi tidak di mata Eleanor yang menyatakan keengganan menerima Rachel lewat kesopnanan tutur yang menusuk. Tapi Eleanor bukan antagonis dangkal berupa sosok ibu kejam. Dia menyayangi Nick dan sebagai orang tua, sepenuhnya berhak meragukan Rachel. Eleanor tidak jahat, melainkan tradisional.

Karena di samping kemewahan lokasi, properti, pula busananya, Crazy Rich Asians bicara soal tradisi masyarakat Asia (termasuk Indonesia), yang mementingkan restu keluarga sebelum membawa hubungan ke tingkat lanjut. Sementara pihak keluarga menimbang “bibit, bebet, bobot”. Petuah “Menikahlah dengan orang yang satu ras/daerah /agama” seolah bergema sepanjang film. Rachel dianggap berbeda karena merupakan Cina-Amerika, tidak “murni”, dan Amerika, atau negeri Barat secara umum, terlihat negatif bagi Eleanor. Mereka rela mengorbankan keluarga demi impian. Kata “mandiri” pun bak bersinonim dengan “membuang keluarga”. Maka saat Nick berkata, “I’ll figure it out ON MY OWN”, Eleanor merespon sinis, menyebutnya sebagai “aksen Amerika”.

Crazy Rich Asians tidak berusaha mencela perspektif Eleanor, melainkan mengajak penonton mengobservasi pemicunya, yakni tradisi panjang nan mengakar, yang mau tidak mau wajib Eleanor terima dan internalisasikan sebagai kepercayaannya sendiri. Michelle Yeoh memastikan di setiap respon dingin atau keheningan dengan senyum yang terasa intimidatif untuk calon menantu mana pun, terdapat lapisan lain. Eleanor tenang di luar, namun pembawaan Yeoh membuat saya yakin bahwa di dalam, otaknya sibuk bekerja, mengkalkulasikan tiap opsi langkah layaknya pemain mahjong berpengalaman.

Mahjonng turut memainkan peran di sebuah momen penting yang berguna menyampaikan salah satu pesan utama filmnya: proses mengenali. Pertama kali kita bertemu Rachel, ia sedang mengajar di kelas, memperlihatkan kepada murid-muridnya jika kunci kemenangan dalam permainan apa pun adalah mengenali lawan. Itu pula yang terjadi sepanjang film. Permainan. Guna memenangkannya, Rachel—atau siapa saja yang mencari kelanggengan hubungan—mesti mengenali sang lawan, entah itu si calon mertua, atau sang kekasih sendiri. Crazy Rich Asians dipenuhi konflik serupa, ketika rahasia dan ketidaktahuan berujung menciptakan masalah.

Di Singapura, bukan Eleanor saja lawan Rachel, wanita-wanita sosialita pemuja Nick yang cemburu melihat si pangeran idola jatuh ke pelukannya pun jadi rintangan. Beruntung, Rachel ditemani beberapa kawan yang selalu siap sedia memberi dukungan. Salah satunya Peik Lin, sahabat Rachel semasa kuliah, yang berkat keeksentrikan Awkwafina, menjadi sumber tawa. Apabila Peik Lin adalah “Asian Ellen”, maka Gemma Chan sebagai Astrid, saudari Nick sekaligus ikon fashion Singapura, bagaikan “Asian Audrey Hepburn”. Glamor, memesona, mengenakan gaun serta perhiasan mewah ketimbang “dikenakan” oleh mereka. Keduanya, juga tokoh pendukung lain termasuk ibunda Rachel, Kerry (Tan Kheng Hua), memegang peran penting dalam perjalanan protagonis kita memahami kalau ia harus bangga akan dirinya, lalu memanfaatkan seluruh talentanya agar menjadi kekuatan. The Cinderella doesn’t needs a fairy in this fairy tale.

Anda mungkin sudah mendengar puja-puji bagi adegan pernikahan film. Saya pastikan puja-puji tersebut tidaklah berlebihan. Pernikahan Colin-Araminta  adalah adegan terbaik Crazy Rich Asians, pula salah satu momen film terindah sepanjang tahun. Pertama, tentu saja berkat hasil kerja menakjubkan departemen artistik yang turut melibatkan talenta lokal, Teddy Setiawan (Beirut) sebagai drafter. Diceritakan pernikahan itu memakan biaya $40 juta, lebih mahal dari bujet $30 juta milik filmnya. Namun saat kreativitas mengambil alih, tiada yang mustahil. Rerumputan dan bunga-bunga di kapel hingga tongkat bercahaya yang digenggam masing-masing tamu menghasilkan nuansa surgawi. Hasil karya di momen-momen lain tak kalah memikat, termasuk dekorasi ruang kelas satu pesawat yang mesti dibangun dari nol akibat maskapai Singapore Airlines menolak tawaran kerja sama.

Sutradara Jon M. Chu (Step Up 3D, Justin Bieber: Never Say Never, G.I. Joe: Retaliation) sudah terbiasa menangani film berbasis parade visual, tapi pada pengikatan janji suci Colin-Araminta, Chu membuktikan ia bukan saja jago mengkreasi gambar cantik. Penyutradaraannya mewakili keyakinan bahwa pernikahan itu sakral. Chu menghasilkan nuansa yang nyaris mystical (dan pastinya magical). Puncaknya saat kapel dialiri air dan Chu menghentikan semua sumber suara termasuk iringan manis Can’t Help Falling in Love versi Kina Grannis. Keheningan magis yang sulit ditandingi film lain tahun ini pun merobohkan pertahanan emosi saya. Pernikahan ini tidak hanya perihal pameran visual, juga interaksi karakter, dari bisikan “I love you” dua protagonis sampai kedatangan Astrid bersama sang nenek (Lisa Lu), menampakkan ragam wujud cinta, baik antar-kekasih juga keluarga.

Crazy Rich Asians adalah film yang bertujuan menyebarkan kebahagiaan, entah melalui romansa manis dan uplifting-nya, komedi segar, enegi, maupun keglamoran yang bersinar terang berkat kerja luar biasa departemen artistiknya. Mengikuti formula, di atas permukaan kisahnya takkan terlihat spesial, namun sebagaimana karakternya lakukan, cobalah mencari tahu, mengenali lebih lanjut. Amati, dapatkan pemahaman lebih lanjut, dan anda bakal menemukan berlian yang sama menyilaukannya dengan koleksi Astrid.


Note: Setelah menonton untuk kedua kali, nilai diubah dari 4 menjadi 4,5 bintang.