THE NIGHT COMES FOR US (2018)
Rasyidharry
Oktober 20, 2018
Abimana Aryasatya
,
Action
,
Bagus
,
Dian Sastrowardoyo
,
Dimas Anggara
,
Gunnar Nimpuno
,
Hannah Al-Rashid
,
Iko Uwais
,
Indonesian Film
,
Joe Taslim
,
Julie Estelle
,
REVIEW
,
Timo Tjahjanto
,
Zack Lee
35 komentar
The Night Comes for Us dibuat oleh pria dewasa gila yang
mewujudkan mimpi basah masa kecilnya (dan beberapa kalangan penonton). Jagoan
kelewat tangguh yang nyaris tak terkalahkan dengan teman-teman yang bersedia
pasang badan, karakter-karakter dengan tampilan, kemampuan, serta latar
belakang keren, dan tentunya perkelahian demi perkelahian. Sewaktu bocah,
kartun dengan formula di atas jadi kegemaran saya. Serahkan kartun itu pada
orang di balik Rumah Dara dan Safe Haven, jadilah sajian laga yang
hanya setingkat lebih “realistis” dibanding Riki-Oh:
The Story of Ricky.
Saya membubuhkan tanda petik pada
kata “realistis” karena sejatinya, dari perspektif umum, film kedua Timo
Tjahjanto sepanjang 2018 ini jelas tidak memerlukan logika, baik dalam
pembuatan maupun proses penonton menikmatinya. Di sini, seseorang masih bisa
melancarkan pukulan meski ususnya berhamburan. Dunia yang Timo bangun adalah
dunia sarat kekerasan di mana sadisme dan pembunuhan merupakan makanan
sehari-hari manusia di dalamnya . Wajar, sebab dalam dunia ini Triad memegang
kendali. Bahkan protagonis kita jadi salah satu pentolannya sebelum membelot.
Ito (Joe Taslim) merupakan salah
satu anggota Six Seas, enam pria dan wanita pilihan dengan identitas misterius
yang bertugas menjaga keteraturan. “Menjaga keteraturan” di sini berarti
menghalalkan segala cara agar semua pihak tunduk pada Triad, termasuk membantai
seisi kampung. Tapi ketika diharuskan membunuh gadis cilik bernama Reina (Asha
Kenyeri Bermudez), Ito menahan pelatukan, lalu berbalik menghabisi anak
buahnya. Menolak tinggal diam, Triad mengirim para pembunuh terbaiknya,
termasuk Arian (Iko Uwais), yang sudah bagaikan saudara kandung Ito.
Berikutnya adalah 2 jam pertarungan yang hanya sesekali melambat ketika Timo merasa perlu menyelipkan
sedikit flashback, sedikit
pembangunan karakter, dan lebih banyak kesempatan bagi penonton bernapas. Cerita
tulisan Timo tak mendalam. Sebatas eksposisi dingin tanpa emosi, kecuali saat
Reina dan Ito duduk bersama selepas lolos dari usaha pembunuhan. Setitik hati
film ini muncul ketika sejenak beralih menuju kisah mengenai bocah polos yang menyaksikan
kebrutalan dunia tersaji di hadapannya, dan bukan mustahil, bakal mempengaruhi
pertumbuhannya.
Tapi itu cerita di lain hari. The Night Comes for Us tak punya, atau
tepatnya tak meluangkan waktu, bagi eksplorasi dramatik. Karena ini adalah
proses Timo meluapkan visi gilanya sekaligus menguji sejauh mana dia bisa
membungkus tiap kematian sekreatif mungkin. Bola-bola biliar, taser pemicu tarikan picu senapan,
hingga tulang sapi cuma segelintir contoh. Pastinya semua berujung muncratan
darah bahkan potongan tubuh berhamburan. Ketika seseorang terkena ledakan, kita
melihat serpihan tubuh mereka.
Gerak kamera Gunnar Nimpuno (Modus Anomali, Pendekar Tongkat Emas,
Killers) mungkin belum semumpuni Matt Flannery dalam dwilogi The Raid soal menangkap koreografi
buatan Iko Uwais—yang seperti biasa, rumit nan kaya variasi—tapi cukup sebagai pemberi
dinamika serta membuat penonton merasakan dampak dari beberapa pukulan dan
tusukan. Sementara musik garapan duet maut Fajar Yuskemal-Aria Prayogi (The
Raid, Headshot) yang memadukan nomor elektronik dan klasik ditambah
pilihan-pilihan lagu menarik dari Timo (Benci
untuk Mencinta dari Naif paling menonjol) setia mengiringi di belakang.
Sulit memilih mana pertarungan
terbaik, tapi 3 di antaranya begitu berkesan. Pertama saat Fatih (Abimana
Aryasatya), Bobby (Zack Lee), dan Wisnu (Dimas Anggara) menghadapi pasukan
suruhan Yohan (Revaldo dalam comeback
luar biasa). Zack Lee menggila sedangkan Abimana menambahkan bobot dramatik plus
kematangan menangani dialog yang tak terduga muncul di film macam ini.
Kedua, sewaktu duo pembunuh lesbian
anggota Lotus (satu lagi sebutan yang menarik digali bila ada film lanjutan),
Elena (Hannah Al Rashid) dan Alma (Dian Sastrowardoyo) mengepung The Operator
(Julie Estelle). Bermula di kamar lalu berlanjut ke lorong penuh potongan tubuh
manusia, sekuen ini membuktikan kebolehan ketiga aktris. Dian lewat kesintingan
yang belum pernah ia tampakkan (termasuk improvisasi menjilat tangah Hannah),
Hannah yang meyakinkan melakoni koreografi, juga Julie Estelle yang sekali lagi
membuktikan bahwa ia aktris laga nomor satu Indonesia saat ini. Karakter yang
bisa memutus jari tangannya sedemikian santai seperti The Operator jelas perlu
dibuatkan filmnya sendiri.
Ketiga tentu saja klimaks Joe
melawan Iko yang bagai rangkuman keseluruhan film: brutal sekaligus berwarna.
Joe dengan gaya bertarung lebih eksplosif dan Iko lewat kecepatan taktis yang
tak kalah “meledak”, sama-sama menembus batas,
baik dari sisis karakternya yang bertarung hingga titik (atau banjir?) darah
penghabisan, maupun perjuangan keduanya selaku aktor. Ketiadaan alur mumpuni berpotensi
menjadikan perjalanan filmnya melelahkan khususnya di pengalaman menonton pertama,
namun The Night Comes for Us
merupakan satu dari sedikit sajian laga modern yang akan dengan senang hati saya
kunjungi lagi kala membutuhkan hiburan, baik menyeluruh atau parsial guna
menikmati pertarungannya secara terpisah.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
35 komentar :
Comment Page:Sama bang.. The Operator harus dibuatkan film solo nya. Lawannya lotus klan.
Gak tayang di bioskop ya bang?
Lah.. kalo ditayangin di bioskop.. gak sampe stngahnya yg bisa di nonton😁
@Roy Yes, proses dia ngeburu satu per satu Lotus itu menarik. Dan Timo sepertinya juga tertarik ke aspek itu kalau ada sekuel/spin-off.
@jefry Nggak ada. Kalau nggak bisa akses Netflix ya tinggal berharap ada spesial screening atau tayang festival. Di layar lebar jauh lebih mantap.
@Chan Yah, makanya, walau sayang nggak bisa nonton di layar lebar, memang nggak ada jalan lain
Itu dia masalahnya.. gak puas trutama di sound.. kalo gak pake headset.. berasa pada bisik2 nontonnya
Timo memperbaiki kesalahannya di Headshot yg pergerakan kameranya yg shaky. Sy puas bgt dgn film ini, gak sabar menunggu sekuelnya (kabarnya mau dibuat trilogi, the day dan the noon?)
aku cek di lb banyak review dari orang indo justru negatif dan mencoba menjadi edgy dengan bilang naskah nya yg jelek, lah ini film kan dari awal muncul nya trailer emang film aksi.
Org indo mengharapkan apa sih dari film action? Aneh sekali, bahkan John Wick kalau bicara naskah lebih tipis dari film ini (mau berurusan dgn mafia rusia hanya karena anjingnya mati). Menurutku difilm ini Timo sdh sgt berkembang dibanding filmnya Headshot, actionnya pas dgn karakter2 yg menarik. Film ini layak dibuat sekuel atau spin off utk karakter2 yg blm tergali seperti The Operator atau Sindikat Lotus.
asli revaldo scene stealer banget tuh
Gda netflix..pngn bnget nntn.. ada cara lainkah??
Di roll credit scene akhir kok gue kayak baca nama Epy Kusnandar ya?
Nah epy kusnandar jadi apa ya...kalo sharefa kan jadi sniper
A mother love udah bisa di download bang. Semoga ini bisa juga
Bang itu operator kenapa tiba tiba muncul ya? Alasan dia ngejar lotus itu apa sih. Setuju kalau dibikinin spin off untuk dia. Btw ada beberapa dialog khususnya bang Joe Taslim agak kurang di volume, jadi pas besarin volume tv di beberapa adegan kaya langsung digeber up to the max volumenya bikin jantung copot. Shareefa kok adegannya pendek sekali, apa memang dipotong? Agak ngerasa adegannya loncat sekalipun dia jadi cameo.
Baru ngeh.. scene jilatnya dian sastro ke hannah al rashid semacan homage film mereka sblumnya Aruna & Lidahnya🤣
Si gila Timo kembali beraksi dan benar benar benar memuaskan. Benar kata bang Rasyid kali ini Timo memang mewujudkan mimpinya dengan cara yg akan sangat dicintai oleh penyuka sajian gore slasher. Misinya cuma satu menghabiskan bergalon" darah cuma dalam satu film dan itu tidak mustahil karena ada Joe dan Iko.
Semua bermain bagus, favorit saya si Bobby Bule yg bangsat :D
Baca review ini dan komentar2nya langsung sy cari dan tonton film ini. Tapi... Ya, ga tau kenapa, kayaknya film2 kaya gini memang bukan buat sy kali ya? Wkwkwk... Capek beut nontonnya. Meski sudah jauh jauh lebih baik ketimbang headshot sih.
Cuman bingung, apa bener sy ga cocok sama film kaya gini? Soalnya sy suka John Wick. Juga the Man from Nowhere nya Korea punya. Kan mirip2 toh?
@agoesinema Nah, sebenernya TNCFU ini mirip sama John Wick. Mereka fokus ke world-building daripada actual story. Bedanya, John Wick lebih detail & convincing soal pembangunan dunianya. Tapi pondasi Timo sudah cukup kok. Fokusnya memang di eksploitasi aksi, selama itu berhasil, kenapa nggak? Penonton kita sering terlalu kejam sama film negeri sendiri sayangnya.
@Zamal Well, antara bikin akun atau berharap ada special screening atau festival.
@Rez Yes, mempertanyakan itu juga. Belum sempet nonton lagi buat cari Epy di mana.
@jefry Saya sarankan sih jangan ya :)
@Lusiana Intinya Operator ini dari pihak "X" yang berlawanan sama Six Seas. Pihak mana? Ya itu belum dikasih tahu. Soal volume, saya juga sama. Tapi masih belum bisa memastikan, kualitas sound mixing yang kurang atau alat saya yang jelek. Shareefa memang cameo doang kok, mirip Morgan. Berasa dipotong karena editing yang lemah.
@Dading True! Zack Lee is one of the most underrated good actor!
@aryo Beda sih ya. John Wick & The Man from Nowhere itu masih jualan alur. TNCFU & The Raid (pertama) yang mirip. Plot hampir kosong, semua di aksi.
Scene zack lee yg menggila berujung ngehancurin kepala si "bujang gila tapak sakti"
Dan scene terakhir yg Ito gigit cutter terus dipatahin. Emg gila!
Action + slasher
Mantap banget. Lihat film kayak gini kok gak masuk bioskop bikin nyesek. Sementara film mesum berkedok horor bisa ke bioskop. Makin nyesek.
Plot nya memang gak terlalu mulus, kalau tidak mau di bilang tipis tapi adegan aksinya keren sekali, faforid sih adegan duel 3 wanita dab di ending. Katanya mau di buat trilogi ya ni film.
@Fajar Waduh, emang belakangan ini film horor mesum yang tayang di bioskop apa ya?
@Aliando Ada rencana. Tapi masih wacana.
Abis nonton ini kok kek ngrasa Eli Roth gak sebrapa ya, trus liat julie estelle kebayang cocok bgt jdi action heroine macem tomb raider ato bahkan gantiin milla jovovich kalo mau
Horor mesum emang sudah gak ada (syukurlah). Cuma terkenang aja dengan masa kegelapan perfilman Indonesia, kok bisa film slasher action bagus gini gak masuk bioskop. Kalo filmnya mengandung filsafat tingkat tinggi, masih bisa dimaklumi.
@Paradise Media luar sudah akui kelayakan dia. Tinggal tunggu dicomot Hollywood.
@Fajar Ya karena dari awal udah diambil Netflix, jadi nggak bisa tayang bioskop
Julie estelle tampilanya paling epic tuh bang di banding yang lain .. penyegar suasana .. btw itu syutingnya kapan yah bang kok serasa pemberitaanya kurang terdengar..? Behind the scene juga gak ada..
@Salembay Shoot dari sekitar Januari 2017. Hype di medsos lumayan kok. Timo selalu share progres. Terkesan nggak ada berita mungkin karena jarak antara selesai produksi sampai promo pra-rilis lumayan jauh. Setahun lebih.
berarti ini ceritanya berubah total ya?, proyeknya udah dari 2014 kan, atau cuma ganti pemerannya aja ?, dulu kayaknya ada fahri albar, arifin putra, yayan, rio dewanto juga
kalau dari segi action bagusan mana ama the raid bang?
Jauh, bagus the raid kemana2 terutama the raid 2. Imo, rada aneh juga sih mayoritas memuji bagian action nya karena sebener nya yg tergarap dengan baik cuma adegan sadis nya. Koreo action nya terkesan lambat(terutama adegan tarung yg 3 cewe), terus pas adegan keroyokan terkesan bergiliran... sama merantau aja lebih bagus merantau adegan action nya. Iko, kurang bagus sih garap koreo nya klo ngga di dampingin yayan ruhiyan. Iko plus yayan lahirlah pertarungan indah, iko vs hammergirl+baseball bat man dan adegan tarung di dapur...
Abimana ft Zack Lee itu asik. tarung tanpa martial arts, murni kebrutalan dan nyali. walaupun Abimana langsung drop pas liat ada member Lotus dateng..
dialog favorit : "Maju Bangs*tt!!"
@Madhunrijalun Ya memang belum sebagus dwilogi The Raid, tapi bukan berarti jelek juga. Dibanding mayoritas action jelas ini jauh lebih bagus. Bukan soal koreografi Iko, cuma camerawork-nya yang belum bisa secepet Flannery. Tapi di adegan lain, sinematografernya juga bisa kasih elemen-elemen rumit yang nggak akan bisa kita lihat di action Hollywood.
Tapi bang, ama merantau aja ane lebih menikmati merantau yg koreo nya masih di pegang yayan seorang (klo ngga salah)... untuk urusan koreo jelas ane megang sinema hongkong sih... trilogi ip man, kung fu jungle,fearless,iron monkey,invisible target dll. Sejauh ini film indo yg setara dengan film action hongkong secara koreo, ya cuma dwilogi the raid sih.
Karena tujuannya beda sih. Gareth memang pengen technical, fast-moving, dan kompleks, yang pas juga pas sama camerawork Flannery. Kalau Timo di TNCFU, cenderung ke hard-hitting dan gore exploitation. Yes, overall action film-film Gareth jauh lebih baik dibanding TNCFU, tapi keduanya memang punya tujuan yang beda.
Suka miris film karya anak bangsa yg bagus kayak gini masih ada aja yg bilang kurang bagus, mungkin masalah selera ya. Terlepas dari kekurangannya, jarang sekali ada film indonesia yg bisa disejajarkan sama film action ala hollywood/hongkong
Posting Komentar