LOVEYATRI (2018)
Rasyidharry
Oktober 07, 2018
Aayush Sharma
,
Abhiraj Minawala
,
Cukup
,
Hindi Movie
,
Niren Bhatt
,
Pratik Gandhi
,
Ram Kapoor
,
REVIEW
,
Romance
,
Ronit Roy
,
Sajeel Parakh
,
Warina Hussain
4 komentar
Sebelum memakai judul Loveyatri alias “Love Travellers” atau "A Journey of Love", film ini bertajuk Loverartri, yang menggabungkan kata “Love” dan “Navrartri”, yakni festival sepanjang 9 malam selaku
penghormatan terhadap Dewi Durga, di mana orang-orang berkumpul menarikan
tarian Garba. Judul tersebut urung digunakan akibat gencarnya protes organisasi
keagamaan Vishva Hindu Parishad, walau sesungguhnya sempurna mewakili apa yang
filmnya coba sampaikan.
Tokoh utamanya bernama Sushrut atau
sering dipanggil Susu (Aayush Sharma), pemuda bandel dari keluarga kelas
menengah ke bawah yang mengabdikan hidupnya mengajar Garba bagi anak-anak,
walau sebagaimana sang ayah katakan, tarian tersebut hanya dilakukan setahun
sekali selama 9 hari, sehingga kurang tepat menggantungkan masa depan
terhadapnya. Namun dalam jangka waktu singkat, di tengah Garba yang ia puja,
Susu menemukan cintanya. Michelle (Warina Hussain) namanya, puteri pengusaha
laundry kaya raya sekaligus siswi berprestasi di London.
Mereka berasal dari kelas ekonomi
serta budaya berbeda. Susu hidup bersama kultur lokal India, sementara Michelle
menjalani gaya hidup Barat, pula dididik oleh ayahnya, Sam (Ronit Roy) untuk
mengejar kesukesan materi. Tapi Navrarti menyatukan keduanya, atau bisa
dikatakan bahwa budaya menjembatani cinta mereka. Di tengah tarian, di antara
ratusan manusia yang tumpah ruah, Susu bertemu Michelle, dan sungguh impresi pertama
yang luar biasa, baik bagi Susu maupun saya. Bukan saja karena Warina Hussain
berparas cantik, Abhiraj Minawala si sutradara debutan pun mampu menangkap pesona
memancar sang aktris kala ia menari dan tersenyum.
Dibantu dua sahabanya, Rocket (Sajeel
Parakh) dan Negative (Pratik Gandhi), Susu menjalankan rencana konyol namun
terstruktur buatan pamannya, Rasik (Ram Kapoor), demi merebut perhatian
Michelle. Rencana itu sukses besar. Susu dan Michelle mulai berkomunikasi,
jatuh cinta, menghabiskan 9 hari bersama sebelum sang gadis mesti pulang ke
London. Tentu perpisahan di paruh pertengahan ini takkan berlangsung mulus.
Susu mengacau, lalu membawa Loveyatri
menunjukkan satu lagi aspek kultur India, kali ini terkait kultur populer di
Bollywood. Kultur di mana tokoh utama film romansa bersedia menahan derita,
berkorban apa saja atas nama cinta.
Susu melakukan hal serupa, yang
merujuk pada ucapan Rasik di sebuah bar di London, adalah tindakan yang
mengikuti jejak sederet aktor besar Bollywood, sebutlah Sha Rukh Khan, Amir
Khan, hingga Salman Khan yang di sini turut berperan sebagai produser. Sayangnya
Loveyatri melewatkan kesempatan
membuat penonton ikut mencintai romansa dua tokoh utama tatkala kebersamaan
mereka disusun atas keklisean montase romansa serta dialog-dialog dangkal hasil
tulisan Niren Bhatt. Pun sebagai film berdurasi 139 menit, Loveyatri tak menyimpan cukup konflik demi merangkai penceritaan
padat juga dinamis.
Beruntung, tiap kehampaan
nyaris memunculkan kantuk, sekuen musikalnya senantiasa hadir selaku
penyelamat. Mengandalkan desain produksi meriah beserta lagu catchy berbalut iringan perkusi energik
dan performa penuh gairah Aayush Sharma yang menutupi kapasitasnya melakoni
momen dramatik yang kurang kuat, Loveyatri
mampu memberikan kebahagiaan. Ditambah lagi beberapa humornya sukses mendarat
tepat sasaran, salah satunya saat Sam melontarkan permainan kata menggelitik
bagi The Lord of the Rings.
Resolusi yang ditawarkan oleh kisah
cinta sarat pengorbanan ini sayangnya kental simplifikasi. Loveyatri melemparkan konflik rumit hanya untuk mengakhirinya
melalui jalan luar biasa mudah (tengok cameo
Arbaaz Khan dan Sohail Khan). Untunglah sang
penyelamat (baca: musikal) datang lagi. Sewaktu filmnya ditutup lewat sekuen
musikal meriah di suatu taman di London, bagaimana bisa saya menolak untuk tersenyum
kemudian pulang dengan perasaan bahagia meskipun keseluruhan Loveyatri kurang berhasil mengaduk-aduk
perasaan?
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
4 komentar :
Comment Page:Nonton film ini karena terlanjur suka sama soundtrack-nya, dan true soundtrack-nya yang menyelamatkan film ini. Chogada masih terngiang di telinga ketimbang ceritanya yang klise dan dipertengahan setuju, bikin ngantuk. Untungnya semuanya tertebus pasca menonton Andhaadun yang bikin mata melek plus betah duduk di kursi. Di tunggu Mas Review Andhaadun-nya, hehe
Yes, lagian belum lama ini juga udah dikasih romansa beda kasta di 'Dhadak', jadi berasa kurang spesial. Tapi itulah kenapa suka romansa Bollywood, mau lemah sekalipun, lagu-lagunya pasti jadi penyelamat.
Entah kenapa saya selalu enggan kalau ditawari untuk menonton film India, entah trauma karena emak dirumah gemar menonton sinetron india yang tiap saya lihat scene-scenenya lebih menyiksa daripada film-film lars von triers atau david lynch, atau ceritanya yang bagaikan derita tiada akhir :(
@Jonatan Industri Bollywood sudah berubah, jadi waktunya persepsi & stereotip kita sebagai penonton juga berubah :)
Posting Komentar