JAFF 2018 - AVE MARYAM (2018)
Rasyidharry
November 30, 2018
Allan Sebastian
,
Chicco Jerikho
,
Drama
,
Ertanto Robby Soediskam
,
Ical Tanjung
,
Indonesian Film
,
Lumayan
,
Maudy Koesnaedi
,
REVIEW
,
Tutie Kirana
6 komentar
Ave Maryam membuktikan betapa perfilman kita masih terjebak pada
monotonitas tema. Bukan karena karya terbaru Ertanto Robby Soediskam (7 Hati, 7 Cinta, 7 Wanita) ini luar
biasa. Sebaliknya, fakta bahwa filmnya tampak segar dan menonjol meski hasilnya
tak sebegitu hebat apalagi baru (dibanding sinema dunia secara umum) saat eksplorasi
temanya masih menyimpan setumpuk pekerjaan rumah, makin menegaskan permasalahan
tersebut.
Ditulis sendiri naskahnya oleh
Robby, Ave Maryam mengisahkan
biarawati bernama Maryam (Maudy Koesnaedi) yang jatuh cinta pada Yosef (Chicco
Jerikho), seorang pastor baru. Maryan menghabiskan rutinitasnya merawat para
biarawati tua, memandikan, menyediakan makanan hingga obat-obatan. Tapi dalam
hatinya tersimpan hasrat membara yang ditekan kuat-kuat. Itulah mengapa, ketika
sang pastor muda nan tampan hadir, jalan hidup Maryam berubah.
Ini adalah kisah mengenai sosok
relijius yang mengambil sumpah suci, tapi ternyata ia tak sesuci kelihatannya
(atau semestinya?). Tentu saya berharap melihat perjuangannya, kesulitan yang
dialami dalam upaya menekan ketidaksucian itu. Ave Maryam urung menghadirkannya dengan kadar memadahi. Hanya
muncul satu momen singkat kala Maryam membaca novel esek-esek, itu pun tanpa menampakkan bagaimana proses pikir dan “merasa”
yang dialami Maryam pula bagaimana tahapan stimulus-respon yang dilaluinya.
Buku hanya dibaca, ditutup, lalu rutinitas biasa berlanjut.
Demikian juga Yosef yang sempat
dideskripsikan ingin menghadirkan perubahan. Kita melihatnya menari bersama
para biarawati , tapi tidak dengan pemikiran dan ideologinya. Serupa Maryam, cuma
terselip sebuah momen pendek jelang akhir tatkala ia mempertanyakan konsep
dosa.
Ave Maryam malah menghabiskan mayoritas paruh pertama membagi fokus
ruang personal tokoh utama dengan hal lain, termasuk paparan tentang seorang
biarawati senior (Tutie Kirana) yang menjalin kedekatan dengan Yosef, di mana
paparan ini nyaris terasa sebagai red
herring. Betul, presentasi lingkungan sekitar Maryam diperlukan, namun demi
memperkaya karakternya alih-alih berujung mengorbankan eksplorasi sisi
personalnya.
Butuh waktu sampai Ave Maryam benar-benar menemukan
pijakan, tepatnya saat romansa Maryam dan Yosef mulai bersemi. Dilema Maryam tersampaikan
berkat kepiawaian Maudy berekspresi ketika tuturan verbal ditekan seminimal
mungkin. Sebagai pastor aktif nan bersahabat yang sanggup menembus benteng hati
Maryam, aksi Chicco pun asyik disimak.
Romansanya tampil apik lewat beberapa
kencan “kucing-kucingan” yang tak jarang menggelitik karena kecanggungan
mereka. Adegan favorit saya pun terjadi di tengah kencan, sewaktu Maryam dan
Yosef duduk diam di sebuah cafe, sementara dialog dari film yang diputar di sana menjadi latar
sekaligus mewakili isi hati masing-masing. Pemandangan kreatif ini
turut memperlihatkan bagaimana film acap kali dapat bertindak sebagai media ekspresi
perasaan yang sukar diutarakan. Sayangnya dinamika itu berakhir dini, tepat saat
situasi makin menarik dan intensitas emosional mencapai titik tertinggi
(berkulminasi pasca adegan yang saya yakin takkan muncul di versi bioskop
komersil). Sulit menampik pemikiran jika Ave
Maryam bakal bekerja lebih efektif sebagai film pendek berdurasi 30-45
menit.
Tapi kelemahan naskah perihal
pengembangan alur mampu ditebus penulisan kalimat kaya makna, yang bukan
sebatas indah, juga sesuai dengan usungan tema Catholicism filmnya. Dari “Aku ingin melihat lautan tapi tidak mau
terperangkap dalam ombak”, “Jika surga belum pasti untuk saya, mengapa saya
urusi nerakamu?” (maaf jika beberapa kutipan kata meleset), hingga
kalimat-kalimat lain, sukses meninggalkan kekaguman.
Ave Maryam pun tak diragukan adalah suguhan dalam negeri tercantik yang
saya tonton sepanjang tahun. Pemakaian static
shot memberi kesempatan bersinar untuk desain artistik buatan Allan Sebastian (Kartini, Pengabdi Setan), color
grading menawan, sampai sinematografi Ical Tanjung (A Copy of My Mind, Pengabdi Setan) yang jeli memainkan pencahayaan plus
memilih sudut cantik dibantu mise-en-scène
presisi. Pun kita, penonton, punya waktu lebih guna
menyerap pencapaian elemen-elemen artistik di atas. Ave Maryam mungkin belum menghadirkan kedalaman eksplorasi berani,
tapi setidaknya, tampak segar ketimbang banyak film lokal lain seperti yang
diharapkan.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
6 komentar :
Comment Page:Penasaran tapi mungkinkah tayang reguler?
Tayang reguler sih kemungkinan besar tahun ini. Tapi jelas ada adegan yang dipotong.
Akhirnya ada juga film dr sudut pandang umur 40an, dan diperankan oleh aktris yg umurnya juga segitu (bukan aktris muda yg ditua2kan). Suka banget pas scene Maryam di pantai menengadah ke langit. Film yang cantik, bahkan di mata saya yg muslim.
Cuma yg saya bingung, di part mana latar belakang Maryam dr keluarga Muslim diceritakan? Apakah Maryam murtad? Kenapa romo di boks pengakuannya bisa kebetulan Yosef, apakah Maryam pulang sebentar ke susteran Semarang dan kemudian pergi lagi (spt ditampilkan d scene akhir)?
Posternya juga kurang ya, simply ngambil dr scene film aja.
Smg makin banyak film dg pemeran utama orang tua (apapun genrenya), bosen juga film2 qta diprotagonisi oleh usia remaja dan dewasa muda. Biar sprti Hollywood.
Nah soal latar Maryam sebagai muslim, saya juga bingung. Dari zaman JAFF, sinopsisnya selalu menekankan itu, tapi di filmnya sendiri bukan jadi pokok bahasan utama, cuma disiratkan aja
Barusan saya baca di twitter robby ertanto bilangnya gag ada yang disensor
Tapi adegan di pantai kayak ke skip deh, ato emang gag ada apa apa?
Bukan disensor,tapi filmnya punya 2 versi: festival & bioskop
Posting Komentar