JAFF 2018 - AVE MARYAM (2018)

6 komentar
Ave Maryam membuktikan betapa perfilman kita masih terjebak pada monotonitas tema. Bukan karena karya terbaru Ertanto Robby Soediskam (7 Hati, 7 Cinta, 7 Wanita) ini luar biasa. Sebaliknya, fakta bahwa filmnya tampak segar dan menonjol meski hasilnya tak sebegitu hebat apalagi baru (dibanding sinema dunia secara umum) saat eksplorasi temanya masih menyimpan setumpuk pekerjaan rumah, makin menegaskan permasalahan tersebut.

Ditulis sendiri naskahnya oleh Robby, Ave Maryam mengisahkan biarawati bernama Maryam (Maudy Koesnaedi) yang jatuh cinta pada Yosef (Chicco Jerikho), seorang pastor baru. Maryan menghabiskan rutinitasnya merawat para biarawati tua, memandikan, menyediakan makanan hingga obat-obatan. Tapi dalam hatinya tersimpan hasrat membara yang ditekan kuat-kuat. Itulah mengapa, ketika sang pastor muda nan tampan hadir, jalan hidup Maryam berubah.

Ini adalah kisah mengenai sosok relijius yang mengambil sumpah suci, tapi ternyata ia tak sesuci kelihatannya (atau semestinya?). Tentu saya berharap melihat perjuangannya, kesulitan yang dialami dalam upaya menekan ketidaksucian itu. Ave Maryam urung menghadirkannya dengan kadar memadahi. Hanya muncul satu momen singkat kala Maryam membaca novel esek-esek, itu pun tanpa menampakkan bagaimana proses pikir dan “merasa” yang dialami Maryam pula bagaimana tahapan stimulus-respon yang dilaluinya. Buku hanya dibaca, ditutup, lalu rutinitas biasa berlanjut.

Demikian juga Yosef yang sempat dideskripsikan ingin menghadirkan perubahan. Kita melihatnya menari bersama para biarawati , tapi tidak dengan pemikiran dan ideologinya. Serupa Maryam, cuma terselip sebuah momen pendek jelang akhir tatkala ia mempertanyakan konsep dosa.

Ave Maryam malah menghabiskan mayoritas paruh pertama membagi fokus ruang personal tokoh utama dengan hal lain, termasuk paparan tentang seorang biarawati senior (Tutie Kirana) yang menjalin kedekatan dengan Yosef, di mana paparan ini nyaris terasa sebagai red herring. Betul, presentasi lingkungan sekitar Maryam diperlukan, namun demi memperkaya karakternya alih-alih berujung mengorbankan eksplorasi sisi personalnya.

Butuh waktu sampai Ave Maryam benar-benar menemukan pijakan, tepatnya saat romansa Maryam dan Yosef mulai bersemi. Dilema Maryam tersampaikan berkat kepiawaian Maudy berekspresi ketika tuturan verbal ditekan seminimal mungkin. Sebagai pastor aktif nan bersahabat yang sanggup menembus benteng hati Maryam, aksi Chicco pun asyik disimak.

Romansanya tampil apik lewat beberapa kencan “kucing-kucingan” yang tak jarang menggelitik karena kecanggungan mereka. Adegan favorit saya pun terjadi di tengah kencan, sewaktu Maryam dan Yosef duduk diam di sebuah cafe, sementara dialog dari  film yang diputar di sana menjadi latar sekaligus mewakili isi hati masing-masing. Pemandangan kreatif ini turut memperlihatkan bagaimana film acap kali dapat bertindak sebagai media ekspresi perasaan yang sukar diutarakan. Sayangnya dinamika itu berakhir dini, tepat saat situasi makin menarik dan intensitas emosional mencapai titik tertinggi (berkulminasi pasca adegan yang saya yakin takkan muncul di versi bioskop komersil). Sulit menampik pemikiran jika Ave Maryam bakal bekerja lebih efektif sebagai film pendek berdurasi 30-45 menit.

Tapi kelemahan naskah perihal pengembangan alur mampu ditebus penulisan kalimat kaya makna, yang bukan sebatas indah, juga sesuai dengan usungan tema Catholicism filmnya. Dari “Aku ingin melihat lautan tapi tidak mau terperangkap dalam ombak”, “Jika surga belum pasti untuk saya, mengapa saya urusi nerakamu?” (maaf jika beberapa kutipan kata meleset), hingga kalimat-kalimat lain, sukses meninggalkan kekaguman.

Ave Maryam pun tak diragukan adalah suguhan dalam negeri tercantik yang saya tonton sepanjang tahun. Pemakaian static shot memberi kesempatan bersinar untuk desain artistik buatan Allan Sebastian (Kartini, Pengabdi Setan), color grading menawan, sampai sinematografi Ical Tanjung (A Copy of My Mind, Pengabdi Setan) yang jeli memainkan pencahayaan plus memilih sudut cantik dibantu mise-en-scène presisi. Pun kita, penonton, punya waktu lebih guna menyerap pencapaian elemen-elemen artistik di atas. Ave Maryam mungkin belum menghadirkan kedalaman eksplorasi berani, tapi setidaknya, tampak segar ketimbang banyak film lokal lain seperti yang diharapkan.

6 komentar :

Comment Page:
Zamal mengatakan...

Penasaran tapi mungkinkah tayang reguler?

Rasyidharry mengatakan...

Tayang reguler sih kemungkinan besar tahun ini. Tapi jelas ada adegan yang dipotong.

Vian mengatakan...

Akhirnya ada juga film dr sudut pandang umur 40an, dan diperankan oleh aktris yg umurnya juga segitu (bukan aktris muda yg ditua2kan). Suka banget pas scene Maryam di pantai menengadah ke langit. Film yang cantik, bahkan di mata saya yg muslim.

Cuma yg saya bingung, di part mana latar belakang Maryam dr keluarga Muslim diceritakan? Apakah Maryam murtad? Kenapa romo di boks pengakuannya bisa kebetulan Yosef, apakah Maryam pulang sebentar ke susteran Semarang dan kemudian pergi lagi (spt ditampilkan d scene akhir)?

Posternya juga kurang ya, simply ngambil dr scene film aja.

Smg makin banyak film dg pemeran utama orang tua (apapun genrenya), bosen juga film2 qta diprotagonisi oleh usia remaja dan dewasa muda. Biar sprti Hollywood.

Rasyidharry mengatakan...

Nah soal latar Maryam sebagai muslim, saya juga bingung. Dari zaman JAFF, sinopsisnya selalu menekankan itu, tapi di filmnya sendiri bukan jadi pokok bahasan utama, cuma disiratkan aja

Andi mengatakan...

Barusan saya baca di twitter robby ertanto bilangnya gag ada yang disensor
Tapi adegan di pantai kayak ke skip deh, ato emang gag ada apa apa?

Rasyidharry mengatakan...

Bukan disensor,tapi filmnya punya 2 versi: festival & bioskop