JAFF 2018 - MALILA: THE FAREWELL FLOWER (2017)

6 komentar
Malila: The Farewell Flower—perwakilan Thailand di Oscar 2019—akan membawamu menuju perjalanan liris, yang sesekali mistis, yang berperan selaku observasi terhadap rasa sakit serta ketakutan akan kematian. Ini adalah slow-burning filmmaking yang tak melelahkan karena rutin menyuguhkan poin-poin baru untuk dimaknai.

Dua mantan kekasih, Shane (Sukollawat Kanarot) dan Pitch (Anuchit Sapanpong), bertemu setelah perpisahan panjang yang membawa masing-masing menghadapi penderitaan personal. Keduanya kehilangan sosok tercinta tapi menyikapinya dengan berkebalikan. Selain ibundanya tewas dibakar hidup-hidup akibat dianggap penyihir, Pitch mengidap kanker stadium akhir. Sedangkan Shane kehilangan puteri kecilnya karena serangan piton, lalu ditinggalkan sang istri karena ia memilih alkohol selaku pelarian dari duka.

Tapi saat Shane masih seorang pemabuk yang dihantui kematian puterinya, Pitch hidup damai menanti kematian yang telah pasti. Sewaktu pengobatan modern maupun tradisional berujung kegagalan, Pitch justru merasa membaik tiap membuat Bai Sri (rangkaian bunga untuk upacara adat di Thailand). Menurut Shane itu sekadar sugesti. Mungkin benar, namun bukan itu poin utamanya. Pitch enggan menaruh ketakutan pada ajal, senantiasa tenang bagai orang yang sudah “selesai dengan dirinya”, sehingga bisa hidup dalam ketenangan.

Mereka bereuni, saling bercerita, sementara kita terus mempelajari sisi-sisi baru soal keduanya lewat obrolan yang diisi kalimat-kalimat pendek tanpa basa-basi. Sensitivitas penyutradaraan Anucha Boonyawatana (The Blue Hour) menggiring tempo lambatnya menuju proses kontemplasi lembut daripada keheningan kosong.

Kita mendengar bahwa Shane mengelola perkebunan yasmin didorong kegemaran Pitch merangkai bunga, sehingga kita menyadari betapa ia masih mencintai si mantan kekasih. Tapi puteri Shane pun terbunuh tepat di lokasi favorit mereka dahulu, sehingga kita juga menyadari betapa memori-memori bersama Pitch tak selalu Shane identikkan dengan kebahagiaan. Mungkin itu pula alasan ketidakhadirannya pada pemakaman ibu Pitch.

Toh akhirnya mereka kembali ke tempat yang kini telah ditutupi rerumputan liar tersebut. Di sana kita menyaksikan apa yang ditawarkan kedua pemeran utama.  Anuchit Sapanpong dengan feminitas, tatapan lembut, dan kemudahan mengucapkan hal-hal menyakitkan; Sukollawat Kanarot dengan machismo yang terluka ditambah ketidaknyamanan, khususnya ketika mendapati seonggok bangkai piton menghalangi jalan. Shane mengambil ranting guna membuang bangkai ketimbang membiarkan seperti adanya, serupa dengan caranya menyikapi duka.

Pelan-pelan, reuni ini membantu Shane, yang memutuskan mengejar keinginan lama menjadi biksu demi kesembuhan Pitch. Malang, Pitch meregang nyawa sebelum niat itu terlaksana. Berikutnya, Malila: The Farewell Flower memasuki fase di mana sebagai biksu, Shane mesti menghadapi ketakutannya serta dituntut terus menjaga kesadaran. Proses ini (salah satunya) diwakili adegan saat Shane diminta menghitung berapa kali ia menyuap nasi oleh rekannya sesama biksu. Fase ini menghantarkan momen demi momen bermakna sembari terus memberi pemahaman baru terkait beragam filosofi Buddha.

Sinematografi Chaiyapruek Chalermpornpanich (The Blue Hour) tak ragu menampilkan berbagai pemandangan mengganggu secara gamblang, seolah filmnya sendiri ingin penonton menyusuri perjalanan yang Shane lalui. Ujian terakhir untuk Shane tidak lain sewaktu harus bermeditasi di depan mayat yang telah membusuk. Baginya (dan kita) proses itu sukar sekaligus menjijikkan, tapi sekalinya Shane mampu memandang mayat tersebut sebagai salah satu siklus kehidupan dan bagian alam, kedamaian juga penerimaan bakal menghampirinya.

6 komentar :

Comment Page:
Akbar Pradhana mengatakan...

Malila, Ave Maryam, 27 Steps of May, Keluarga Cemara. Habis ini film dari JAFF apa lagi yang bakal direview

Rasyidharry mengatakan...

Kemungkinan:
-Love is A Bird
-If This is My Story
-Istri Orang
-Daysleepers
-Nyanyian Akar Rumput
-Kucumbu Tubuh Indahku

Nas mengatakan...

Lgbt ya?

Rasyidharry mengatakan...

Ada elemen itu termasuk adegan seks, tapi bukan fokus utama

Anonim mengatakan...

masih ga ngerti knp mayat itu jadi pitch

Anonim mengatakan...

emang mayat yang membusuk itu mayatnya pitch ya??