JAFF 2018 - KELUARGA CEMARA (2018)
Rasyidharry
November 30, 2018
Asri Welas
,
Bagus
,
Drama
,
Gina S. Noer
,
Indonesian Film
,
Nirina Zubir
,
REVIEW
,
Ringgo Agus Rahman
,
Widuri Puteri
,
Yandy Laurens
,
Zara JKT48
13 komentar
Di tangan yang salah, Keluarga Cemara bisa berujung suffering porn, di mana tiap sudut
ibarat musibah yang melulu memicu ratap tangis. Beruntung, naskahnya ditangani
duo penulis, Yandy Laurens dan Gina S. Noer (Posesif, Kulari ke Pantai) yang tahu batas pemisah antara
dramatisasi dengan eksploitasi, juga penyutradaraan berbekal pemahaman milik
Yandy perihal kapan serta seberapa dramatisasi perlu diterapkan. Adaptasi sinetron
legendaris Keluarga Cemara (1996-2005)
yang juga dibuat berdasarkan kumpulan cerita pendek berjudul sama karya
Arswendo Atmowiloto ini pun menjadi drama keluarga yang menyentuh hati lewat
kehangatan alih-alih kesedihan.
Walau bukan hyperrealism (dan tak
perlu menjejakkan kaki ke sana), Keluarga
Cemara coba tampil senyata mungkin. Mengambil latar sebelum peristiwa di
sinetron, filmnya memulai kisah kala Cemara (Widuri Puteri) sekeluarga masih
hidup makmur, sehingga menyulut pertanyaan, “Bagaimana mungkin Abah si
pengusaha properti jatuh begitu dalam hingga memilih profesi tukang becak?”.
Rupanya film ini mampu menawarkan
jawaban logis yang juga relevan bila dihadapkan pada situasi sosial sekarang
(salah satunya berbentuk peletakkan produk cerdik). Beberapa perubahan perlu
dilakukan, namun tanpa mengkhianati substansi materi asalnya, bahkan masih
sempat menyelipkan deretan referensi untuk momen-momen ikonik sinetronnya, dalam
penempatan tepat yang selaras dengan keperluan cerita ketimbang bentuk
pemaksaan diri menebar easter eggs.
Alkisah, kejatuhan Abah (Ringgo
Agus Rahman) memaksa keluarganya pindah ke rumah masa kecilnya di sebuah desa
di Jawa Barat. Abah terjerat rasa bersalah, terlebih setelah mendapati faktor
usia menyulitkannya memperoleh pekerjaan layak secepatnya, sedangkan di saat
bersamaan Emak (Nirina Zubir) mesti ikut menyokong ekonomi keluarga, Cemara
harus berjalan jauh menuju sekolah, dan Euis (Zara JKT48) terpaksa bersekolah
di tempat baru, meninggalkan para sahabat (sekaligus rekan tim dance) lamanya.
Khususnya bagi Euis yang tengah
menginjak masa remaja awal, perubahan tersebut amatlah berat, yang akhirnya
menyulut salah satu konflik utama, termasuk pertengkaran beruntun dengan Abah.
Sosok Abah sendiri belum sebijak versi Adi Kurdi di sinetron. Wajar, sebab ia masih pria berusia prima (35
tahun) yang tiba-tiba terjerembab ke titik terendah hidupnya. Dampaknya, emosi
gampang tersulut, keputusan-keputusan buruk dibuat, kalimat-kalimat menyakitkan
terlontar, menjauhkannya dari kesempurnaan, yang mana merupakan wujud
karakterisasi menarik.
Bukan berarti anggota keluarga lain
dikesampingkan. Cemara sang peluluh hati keluarga diperankan begitu alamiah
oleh peforma kaya dinamika milik Widuri. Tingkah laku dan tutur katanya mampu
mendinginkan pertikaian panas. Tapi tiang penyangga keluarga sesungguhnya adalah
Emak. Berkatnya, keluarga tetap berdiri meski kerap terombang-ambing. Emak
menyediakan tempat mengadu, meluapkan kegundahan terpendam, meski artinya, ia
dituntut menyimpan beban berlebih dalam hati yang bisa kita lihat jelas melalui
tatapan kaya rasa Nirina.
Gempuran masalah-masalahnya adalah
gambaran keseharian yang tak terasa episodik, sebab Yandy dan Gina bukan sedang
mengadaptasi mentah-mentah sinetronnya. Pun di sela-selama problematika, Keluarga Cemara bersedia menyegarkan
suasana berkat kemampuan jajaran pemeran pendukung—pastinya termasuk Asri Welas
sebagai “loan woman turns enter woman”—memaksimalkan
gaya hiperbola guna memancing tawa.
Pilihan lagu-lagunya tak kalah
memikat. Berasal dari beragam genre
dan masa, membentang dari Sepanjang Jalan
Kenangan, Tentang Rumahku, sampai Harta
Berharga versi Bunga Citra Lestari, berbagai adegan diiringi, dengan mood berhasil terwakili. Ketepatan pemilihan
lagu termasuk pembuktian kepekaan Yandy terkait membangun suasana dan rasa.
Kalau mau, tearjerker bisa saja
diciptakan dari semua konflik, namun ia bersedia menunggu hingga tiba titik
terbaik untuk meletupkannya. Resolusinya menghadirkan payoff melalui ekspresi cinta kasih jujur nan sederhana yang bakal
menumpahkan air mata.
Keberhasilan momen tersebut tak lepas
juga dari kombinasi Ringgo-Zara. Walau perlu mengasah lagi kemampuan menangani
ledakan amarah yang belum seberapa meyakinkan, sebagai ayah lembut, Ringgo piawai
mencuri hati. Sementara Zara memberi kejutan terbesar, ketika air mata dan
senyumnya bisa memicu penonton memunculkan respon serupa sewaktu menyaksikan
adegan puncak.
Tidak ada konflik pengancam
pernikahan, tidak ada murid baru dari kota jadi korban perundugan, tidak ada anak bermasalah yang memberontak (hanya beberapa ketidakpatuhan), tidak ada
penyakit kronis dan kecelakaan (Thank
God!), atau masalah-masalah tak perlu lain. Keluarga Cemara menyulut tangis tanpa menjual air mata semata, pula memperlihatkan
perjuangan tanpa mengeksplotasi penderitaan. Karena akhirnya, film ini “cuma” memaparkan
nilai kekeluargaan sederhana tentang memiliki dan dimiliki, menjaga dan dijaga, di mana
kala semua bersatu dalam harmoni, tercipta harta yang paling berharga:
Keluarga.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
13 komentar :
Comment Page:Ga sabar pengen nonton
Review nya bagus lagi
Kebetulan sinetron ini jadi favorit selain Si Doel Anak Sekolahan
di Trailer ga ada Agil bang? apa di film nya juga ga ada tokoh agil? knpa ya bang?
@Felix Sikaat 3 Januari!
@Faqih Karena timelinenya sebelum itu. Tapi nanti ada kok.
bahkan baca review-nya aja udah berkaca-kaca aku, bang. nggak sabar buat nangis di bioskop (eh..😁)... thanks reviewnya ya, bang....
Ga sampe nangis nonton ini, cuma sesek aja smbil geleng2 kepala hahaha
Komedinya luar biasa, otentik dan timingnya pas, puas ngakaknya
Awalnya rada ga yakin sm cast2nya, tp mlh semua terasa pas sempurna, edanlah Yandi, rapihh!
@Maz Sama-sama, selamat mewek satu bulan lagi :)
@Agung Ya itu sesek mah tinggal disentil dikit juga tumpah air mata haha
Ketemu mas rasyid terus mau minta tanda tangan.. Tapi malu.. Eheheh
Sialan.... Ini review atau curhatan mas... Saya bacanya sampai ngilu dihati.... Baru kali ini saya baca reviewnya mas rasyid kaya isi curahan hati hehe... Brati wajib tonton ini ya mas?
@andi Eh buset malu, emang saya Reza Rahadian apa. Kalo ketemu di JAFF colek aja.
@Imam haha lha gimana, itu ending brengsek kali. Wajib!
Daysleepers kapan bang Rasyid
Udah nonton tadi. Oke juga.
Kenapa aku selalu ketinggalan berita sih kalo ada festival film dijaff
Little house on the prairie..
Posting Komentar