JAFF 2018 - KELUARGA CEMARA (2018)

13 komentar
Di tangan yang salah, Keluarga Cemara bisa berujung suffering porn, di mana tiap sudut ibarat musibah yang melulu memicu ratap tangis. Beruntung, naskahnya ditangani duo penulis, Yandy Laurens dan Gina S. Noer (Posesif, Kulari ke Pantai) yang tahu batas pemisah antara dramatisasi dengan eksploitasi, juga penyutradaraan berbekal pemahaman milik Yandy perihal kapan serta seberapa dramatisasi perlu diterapkan. Adaptasi sinetron legendaris Keluarga Cemara (1996-2005) yang juga dibuat berdasarkan kumpulan cerita pendek berjudul sama karya Arswendo Atmowiloto ini pun menjadi drama keluarga yang menyentuh hati lewat kehangatan alih-alih kesedihan.

Walau bukan hyperrealism (dan tak perlu menjejakkan kaki ke sana), Keluarga Cemara coba tampil senyata mungkin. Mengambil latar sebelum peristiwa di sinetron, filmnya memulai kisah kala Cemara (Widuri Puteri) sekeluarga masih hidup makmur, sehingga menyulut pertanyaan, “Bagaimana mungkin Abah si pengusaha properti jatuh begitu dalam hingga memilih profesi tukang becak?”.

Rupanya film ini mampu menawarkan jawaban logis yang juga relevan bila dihadapkan pada situasi sosial sekarang (salah satunya berbentuk peletakkan produk cerdik). Beberapa perubahan perlu dilakukan, namun tanpa mengkhianati substansi materi asalnya, bahkan masih sempat menyelipkan deretan referensi untuk momen-momen ikonik sinetronnya, dalam penempatan tepat yang selaras dengan keperluan cerita ketimbang bentuk pemaksaan diri menebar easter eggs.

Alkisah, kejatuhan Abah (Ringgo Agus Rahman) memaksa keluarganya pindah ke rumah masa kecilnya di sebuah desa di Jawa Barat. Abah terjerat rasa bersalah, terlebih setelah mendapati faktor usia menyulitkannya memperoleh pekerjaan layak secepatnya, sedangkan di saat bersamaan Emak (Nirina Zubir) mesti ikut menyokong ekonomi keluarga, Cemara harus berjalan jauh menuju sekolah, dan Euis (Zara JKT48) terpaksa bersekolah di tempat baru, meninggalkan para sahabat (sekaligus rekan tim dance) lamanya.

Khususnya bagi Euis yang tengah menginjak masa remaja awal, perubahan tersebut amatlah berat, yang akhirnya menyulut salah satu konflik utama, termasuk pertengkaran beruntun dengan Abah. Sosok Abah sendiri belum sebijak versi Adi Kurdi di sinetron.  Wajar, sebab ia masih pria berusia prima (35 tahun) yang tiba-tiba terjerembab ke titik terendah hidupnya. Dampaknya, emosi gampang tersulut, keputusan-keputusan buruk dibuat, kalimat-kalimat menyakitkan terlontar, menjauhkannya dari kesempurnaan, yang mana merupakan wujud karakterisasi menarik.

Bukan berarti anggota keluarga lain dikesampingkan. Cemara sang peluluh hati keluarga diperankan begitu alamiah oleh peforma kaya dinamika milik Widuri. Tingkah laku dan tutur katanya mampu mendinginkan pertikaian panas. Tapi tiang penyangga keluarga sesungguhnya adalah Emak. Berkatnya, keluarga tetap berdiri meski kerap terombang-ambing. Emak menyediakan tempat mengadu, meluapkan kegundahan terpendam, meski artinya, ia dituntut menyimpan beban berlebih dalam hati yang bisa kita lihat jelas melalui tatapan kaya rasa Nirina.

Gempuran masalah-masalahnya adalah gambaran keseharian yang tak terasa episodik, sebab Yandy dan Gina bukan sedang mengadaptasi mentah-mentah sinetronnya. Pun di sela-selama problematika, Keluarga Cemara bersedia menyegarkan suasana berkat kemampuan jajaran pemeran pendukung—pastinya termasuk Asri Welas sebagai “loan woman turns enter woman”—memaksimalkan gaya hiperbola guna memancing tawa.

Pilihan lagu-lagunya tak kalah memikat. Berasal dari beragam genre dan masa, membentang dari Sepanjang Jalan Kenangan, Tentang Rumahku, sampai Harta Berharga versi Bunga Citra Lestari, berbagai adegan diiringi, dengan mood berhasil terwakili. Ketepatan pemilihan lagu termasuk pembuktian kepekaan Yandy terkait membangun suasana dan rasa. Kalau mau, tearjerker bisa saja diciptakan dari semua konflik, namun ia bersedia menunggu hingga tiba titik terbaik untuk meletupkannya. Resolusinya menghadirkan payoff melalui ekspresi cinta kasih jujur nan sederhana yang bakal menumpahkan air mata.

Keberhasilan momen tersebut tak lepas juga dari kombinasi Ringgo-Zara. Walau perlu mengasah lagi kemampuan menangani ledakan amarah yang belum seberapa meyakinkan, sebagai ayah lembut, Ringgo piawai mencuri hati. Sementara Zara memberi kejutan terbesar, ketika air mata dan senyumnya bisa memicu penonton memunculkan respon serupa sewaktu menyaksikan adegan puncak.

Tidak ada konflik pengancam pernikahan, tidak ada murid baru dari kota jadi korban perundugan, tidak ada anak bermasalah yang memberontak (hanya beberapa ketidakpatuhan), tidak ada penyakit kronis dan kecelakaan (Thank God!), atau masalah-masalah tak perlu lain. Keluarga Cemara menyulut tangis tanpa menjual air mata semata, pula memperlihatkan perjuangan tanpa mengeksplotasi penderitaan. Karena akhirnya, film ini “cuma” memaparkan nilai kekeluargaan sederhana tentang memiliki dan dimiliki, menjaga dan dijaga, di mana kala semua bersatu dalam harmoni, tercipta harta yang paling berharga: Keluarga.

13 komentar :

Comment Page:
Felix Bossuet mengatakan...

Ga sabar pengen nonton
Review nya bagus lagi
Kebetulan sinetron ini jadi favorit selain Si Doel Anak Sekolahan

Faqih mengatakan...

di Trailer ga ada Agil bang? apa di film nya juga ga ada tokoh agil? knpa ya bang?

Rasyidharry mengatakan...

@Felix Sikaat 3 Januari!

@Faqih Karena timelinenya sebelum itu. Tapi nanti ada kok.

Mofan Rizaldi mengatakan...

bahkan baca review-nya aja udah berkaca-kaca aku, bang. nggak sabar buat nangis di bioskop (eh..😁)... thanks reviewnya ya, bang....

Unknown mengatakan...

Ga sampe nangis nonton ini, cuma sesek aja smbil geleng2 kepala hahaha
Komedinya luar biasa, otentik dan timingnya pas, puas ngakaknya
Awalnya rada ga yakin sm cast2nya, tp mlh semua terasa pas sempurna, edanlah Yandi, rapihh!

Rasyidharry mengatakan...

@Maz Sama-sama, selamat mewek satu bulan lagi :)

@Agung Ya itu sesek mah tinggal disentil dikit juga tumpah air mata haha

Andi mengatakan...

Ketemu mas rasyid terus mau minta tanda tangan.. Tapi malu.. Eheheh

Imam rahmad raharja mengatakan...

Sialan.... Ini review atau curhatan mas... Saya bacanya sampai ngilu dihati.... Baru kali ini saya baca reviewnya mas rasyid kaya isi curahan hati hehe... Brati wajib tonton ini ya mas?

Rasyidharry mengatakan...

@andi Eh buset malu, emang saya Reza Rahadian apa. Kalo ketemu di JAFF colek aja.

@Imam haha lha gimana, itu ending brengsek kali. Wajib!

Unknown mengatakan...

Daysleepers kapan bang Rasyid

Rasyidharry mengatakan...

Udah nonton tadi. Oke juga.

Anonim mengatakan...

Kenapa aku selalu ketinggalan berita sih kalo ada festival film dijaff

Hilman Sky mengatakan...

Little house on the prairie..