THE NUTCRACKER AND THE FOUR REALMS (2018)
Rasyidharry
November 03, 2018
Adventure
,
Cukup
,
Fantasy
,
Helen Mirren
,
James Newton Howard
,
Jayden Fowora-Knight
,
Joe Johnnston
,
Keira Knightley
,
Lasse Hallström
,
Linus Sandgren
,
Mackenzie Foy
,
Misty Copeland
,
Morgan Freeman
,
REVIEW
5 komentar
Andai The Nutcracker and the Four Realms bersedia memberi lebih banyak balet
serupa sumbernya—pertunjukan balet dua babak The Nutcracker karya Marius Petipa yang mengadaptasi cerita The Nutcracker and the Mouse King buatan
E. T. A. Hoffmann—atau setidaknya menyelipkan nomor musikal, film ini bakal
jadi salah satu favorit saya tahun ini. Saya bukan tengah mengkritisi film
karena tidak menjadi hal yang saya harapkan dan bukan tujuannya, tapi sulit
disangkal bahwa sekuen balet di tengah (plus satu di kredit) juga kemeriahan
visual warna-warni miliknya mampu menutupi kelemahan narasinya.
Formula klasik Disney mengenalkan
kita pada tokoh utamanya. Clara Stahlbaum (Mackenzie Foy) sedang berduka,
menolak menikmati malam Natal, selepas kematian ibunya, Marie (Anna Madeley).
Hubungan dengan sang ayah (Matthew Macfadyen) pun merenggang, sebab Clara merasa,
Mr. Stahlbaum hanya peduli soal reputasi alih-alih perasaan sang puteri.
Awalnya ia menolak ajakan pesta malam Natal, tapi demi bertemu ayah baptisnya, Drosselmeyer
(Morgan Freeman), yang diyakini menyimpan kunci untuk membuka hadiah dari
mendiang ibunya (sebuah telur misterius), Clara pun datang.
Syukurlah dia bersedia, karena
begitu tiba di lokasi pesta, kita langsung disambut oleh tari ballroom
memesona, diisi orang-orang dengan gaun glamor, ruangan mewah, serta orkestra
megah. Sebuah keindahan audiovisual yang bagi saya dapat sekuat elemen naratif
perihal mengolah emosi. Tapi daya pikat artistiknya belum berhenti. Ketimbang
langsung memberikan kuncinya, Drosselmeyer membagikan hadiah pada para hadirin
dengan meminta mereka menyusuri tali masing-masing. Tali Clara menuntunnya ke Four Realm, dunia fantasi di mana sang
ibu dahulu menjadi Ratu.
Bersama Kapten Phillip Hoffman (Jayden
Fowora-Knight), si prajurit nutcracker penjaga jembatan, Clara dibawa menuju
kerajaan tempat Marie dahulu memerintah guna menemui tiga dari empat penguasa
alam: Sugar Plum (Keira Knightley) dari Land
of Sweets, Hawthorne (Eugenio Derbez) dari Land of Flowers, dan Shiver (Richard E. Grant) dari Land of Snowflakes. Kembali kita
disuguhi setting serta kostum fantasi pemikat mata. Meski suara bernada tinggi
kepunyaan Keira Knightley mungkin kerap terdengar mengganggu, rambut arum
manisnya adalah sentuhan apik yang membuat sosoknya penuh daya tarik.
Satu penguasa lain adalah Mother
Ginger (Helen Mirren) dari Land of
Amusement yang konon jadi penyebab pecahnya perang antara keempat alam
akibat usahanya menghancurkan semua yang Marie bangun. Land of Amusement sendiri, seperti ketiga alam lain, diisi makhluk-makhluk
berpenampilan unik, walau Mouse King dan lima “Badut Matryoshka” mungkin akan
jadi mimpi buruk bagi beberapa orang.
Daripada menerapkan flashback, naskah buatan Ashleigh Powell
menuturkan backstory lewat balet.
Diawali tribute bagi Fantasia (1940), pertunjukkan yang
memasang pebalet Misty Copeland selaku figur sentral ini tak pernah berhenti
memukau. Tata setting properti yang mengusung kejayaan dan kemeriahan teater
musikal hingga yang sempurna ditangkap oleh kamera Linus Sandgren (La La Land, First Man) versi anyar untuk musik ikonik buatan Pyotr Ilyich Tchaikovsky
yang digubah oleh James Newton Howard (King
Kong, Batman Begins, The Hunger Games), jadi penyusun capaian artistik
fantasi yang amat membuai, dan saya berharap sekuen ini takkan usai.
Balet tersebut saya yakin digarap
oleh Lasse Hallström (What’s Eating
Gilbert Grape, Hachi: A Dog’s Tale, Dear John), yang berbagi kredit
penyutradaraan dengan Joe Johnston (Jumanji,
Jurassic Park III, Captain America: The First Avenger), yang mengambil alih
proses pengambilan gambar ulang selama sebulan. Kemungkinan besar Johnston
diberi tanggung jawab merangkai sekuen aksi, yang sayangnya kurang memikat.
Masih dibungkus visual cantik, namun pertarungan antara Mouse King melawan
ratusan prajurit mainan timah, atau aksi Helen Mirren melempar pecut,
semestinya tersaji seru, bukan aneh dan canggung.
Mackenzie Foy adalah aktris muda
berbakat yang sanggup menjadikan Clara sesosok jagoan lovable yang perjalanannya menyenangkan disimak, sehingga mudah
menggaet dukungan penonton dalam upayanya menggapai tujuan.....andai saja
tujuan yang film ini berikan padanya jelas. Naskahnya kebingungan menentukan
garis akhir serta bagaimana cara mencapainya, yang berakibat hambarnnya dampak
emosi.
Konflik awal Clara adalah duka
ditambah pemikiran bahwa sang ayah tidak mempedulikannya. Masalah dengan ayah
tuntas di paruh awal saat Clara belajar melihat dari perspektif berbeda.
Sementara dukanya berubah jadi ketidakpercayaan diri. Clara merasa tak sehebat
sang ibu. The Nutcracker and the Four
Realms kelabakan menyatukan beragam persoalan itu, lalu bersembunyi di
balik pesan dari Marie, jika SEMUA yang Clara butuhkan ada dalam telur
pemberiannya. Alhasil, SEMUA problematika pun tuntas begitu Clara memahami
makna hadiah tersebut. Di tengah kerancuan narasinya, sulit menampik harapan
kalau film ini menyelipkan lebih banyak elemen terkuatnya.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
5 komentar :
Comment Page:Review Daredevil season 3 mas kalo boleh seperti 2 season sebelumnya hehe :)
Sebenarnya banyak yang masih bisa digali dan dikembangkan tapi karena ini film disney jadi ya bisa dimaafkan, saya ngerasa kurang dapet emosinya soal keluarga disini dan film seperti ingin cepat selesai. Rating saya 2,5 sih :)
Justru karena film Disney, jadi fatal kalau ceritanya nggak kasih pesan bermakna. Untung masih bisa nangis karena audiovisualnya.
Bang rasyid ikut produserin film dongeng mistis ya? Wah kerenn��
@Alfaris Haha thanks, semoga berkenan nonton ya :)
Posting Komentar