JCW 2018 - SHOPLIFTERS (2018)

9 komentar
Melalui Shoplifters, sutradara/penulis naskah Hirokazu Kore-eda (Our Little Sister, After the Storm) mengobrak-abrik tatanan konsep keluarga ideal yang dianut mayoritas masyarakat. Makna keluarga digugat lewat pertanyaan “What makes a family?”. Apakah hubungan darah merupakan keharusan? Apakah karena mengandungnya, seorang wanita otomatis menjadi ibu terbaik bagi sang anak? Apakah sebuah keluarga yang memenuhi kebutuhan dengan mengutil pantas disebut ideal?

Menurut Kore-eda, semua hanya soal perspektif, dan Shoplifters mengajak kita mengintip nilai kekeluargaan dari sudut pandang lain guna memancing perenungan. Coba tengok jajaran karakternya. Osamu Shibata (Lily Franky) selalu mengajak puteranya, Shota (Kairi Jō), mencuri makanan hingga alat mandi di supermarket. Istrinya, Nobuyo (Sakura Ando), bekerja di tempat laundry dan kerap mengambil benda di saku cucian. Hatsue (Kirin Kiki) si nenek yang rutin menerima pensiunan mendiang suaminya pun sesekali terjun di aksi pencurian. Turut tinggal bersama mereka adalah pula gadis muda bernama Aki (Mayu Matsuoka) yang berprofesi sebagai stripper.

Suatu hari, Osamu membawa pulang Yuri (Miyu Sasaki), setelah merasa iba melihat bocah itu ditelantarkan kedua orang tuanya di luar rumah. Keluarga ini pun dengan senang hati merawat Yuri, sambil sesekali mengajarinya satu-dua trik mengambil barang. Melihatnya dari kacamata moral maupun hukum, semuanya nampak keliru. Osamu sekeluarga merupakan pencuri yang mengajari bocah cilik bertindak kriminal. Pun bakal lebih mudah bagi orang-orang melihat Yuri selaku korban penculikan.

Keluarga Shibata bukan lingkungan layak bagi tumbuh kembang Yuri. Tapi benarkah? Kore-eda bermain-main dengan perspektif, namun sebagaimana ia usil menyentil sistem pendidikan lewat pernyataan “School is for kids who can’t study at home”, Shoplifters dikemas dalam kejenakaan. Kriminalitas yang dipicu kemiskinan bukan ditampilkan sebagai perwujudan amarah atau luapan balas dendam pada ketidakadilan hidup. Interaksi antara anggota keluarga tampil hangat, sesekali memancing tawa melalui celotehan (penulisan dialognya luar biasa), bahkan saat ditimpa musibah pun, karakternya masih sempat bercanda ria.

Kore-eda membuat saya betah berlama-lama singgah di kediaman keluarga Shibata, walau serupa kebanyakan karya sang sutradara, Shoplifters sejatinya tak memiliki bentuk alur konservatif di mana satu konflik besar menggerakkan arah cerita. Film ini ibarat rekaman keseharian karakternya yang dijahit oleh ketelatenan Kore-eda bermain tempo serta dinamika. Menganut gaya realisme, sang sutradara mampu menghadirkan dramatisasi tanpa memaksa penonton “merasakan”. Bahkan bisa jadi anda tidak sadar Kore-eda sedang memantik emosi anda lewat permainan sudut kamera dan timing.

Salah satu triknya adalah menempatkan sudut pandang pada saksi. Apabila suatu peristiwa besar terjadi, guna menstimulus emosi, Kore-eda lebih seiring membawa kita melihat respon orang yang menyaksikannya, sambil tetap menceritakan apa yang terjadi. Baginya, hal terpenting bukan kejadian di luar, namun dalam hati karakter. Itulah mengapa ia kerap mendadak mengakhiri adegan di tengah pembicaraan. Kore-eda tak berniat menangkap obrolannya, tapi apa yang seorang individu rasakan terhadap diri sendiri dan/atau individu lain.

Shoplifters bergerak lembut, hingga anda mungkin tak menyadari bahwa ini adalah misteri yang sedang menyamar. Bahkan film ini bisa saja menjadi thriller, kala seiring waktu, rahasia-rahasia gelap nan mengejutkan seputar tokoh-tokohnya diungkap. Terkadang, pengungkapan terjadi lewat obrolan kasual seolah itu bukan persoalan penting.

Kemudian babak ketiganya berubah haluan, sewaktu tatanan moralitas ideal coba mengonfrontasi perspektif alternatif yang ditawarkan filmnya, sambil menunjukkan sisi kelam dari absolutisme dalam nilai sosial kita, yang cenderung memaksa semua pihak tunduk pada “kebaikan tunggal”. Pada akhirnya, Shoplifters bukan sebuah usaha menjustifikasi kriminalitas, melainkan observasi mengenai kecacatan yang selalu ada tidak peduli seberapa harmonis suatu keluarga.

Semua aktornya, dari mendiang Kirin Kiki hingga si aktris cilik Miyu Sasaki, memberikan akting subtil mengesankan, walau penampilan Sakura Ando adalah yang paling mencengkeram. Pada satu adegan non-verbal, Kore-eda meletakkan kamera tepat di depan Ando, tak sedikitpun digerakkan, membiarkannya menangkap seluruh luapan rasa sang aktris, sementara saya duduk diam. Tidak menangis atau tercengang, tapi seluruh bulu kuduk di tubuh saya berdiri serentak. That was the most poweful acting I’ve seen this year.

9 komentar :

Comment Page:
Unknown mengatakan...

Nonton dimana bang? Bagus kayanya

Anna B mengatakan...

Suka banget ama ini!! Suka ini ama film Kore-eda yg Still Walking. Kalo menurut saya bisa aja film ini menang Oscar di Foreign Language kalo ga ada Roma. Katanya Roma bagus banget ya? Ga sabar mau nonton

Rasyidharry mengatakan...

@Savrion Di Japanese Film Festival (JFF)

@Anna Kandidat utama emang Roma, Shoplifters, Burning. Semoga dari sisa dua slot nominasi salah satunya didapet Marlina

Raid Mahdi mengatakan...

Ane kira bakal 5, dari atas sampai bawah isinya memuji wkwkwk. Ga aneh sih klo Kore-eda dapat rating tinggi wkwkwkwkwk. Legend

Anonim mengatakan...

Shoplifters dapet nominasi Golden Globes, tapi kok Burning ga dapet dah? GG aneh, A Star is Born masuknya di kategori drama bukan musical, Collette ama Hawke ga dapet nominasi di akting, First Man ama Widows dilupain, kok bisa?

Syahrul Tri mengatakan...

Mas ini cmn tayang 2x to di JFF , perdana kemaren ga kebagian seat :((

Rasyidharry mengatakan...

@Raid Karena nggak ada cela bukan berarti otomatis dikasih 5 :)

@Anonim Bukan Shoplifters yang dipertanyakan, tapi Never Look Away, tapi wajar, karena mayoritas juri GG itu orang Jerman. Soal A Star is Born (dan Bohemian Rhapsody) itu keputusan tim marketing, karena kalau menang di kategori drama, hype buat Oscar nanti lebih gede. Udah aturan nggak tertulis kalau kategori drama di GG lebih dianggap berbobot dari musical/comedy. Dan inget, ini ajang penghargaan, bukan personal list, jadi ya nggak mungkin sesuai keinginan masing-masing orang. Kalau sudah biasa ikutin award season, nggak ada nominasi yang aneh di GG tahun ini.

@Syahrul Tayang di JAFF dan JFF. Berharap banyak pemutaran alternatif aja, atau siapa tahu tayang reguler kalau menang Oscar (unlikely sih)

Unknown mengatakan...

Sama Cold War nya Pawel mungkin masuk

Syahrul Tri mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.