GREEN BOOK (2018)
Rasyidharry
Januari 30, 2019
Bagus
,
Biography
,
Brian Currie
,
Mahershala Ali
,
Nick Vallelonga
,
Peter Farrelly
,
REVIEW
,
Viggo Mortensen
10 komentar
Meski jauh dari sempurna dan bukan
yang terbaik di antara nominasi Best
Picture Oscar tahun ini, saya tak
keberatan bila Green Book akhirnya
keluar sebagai jawara. Penyutradaraan solo kedua Peter Farrelly sejak Dumb and Dumber (1994) ini mengingatkan kepada
jajaran pemenang dari masa lalu, khususnya era 80 hingga 90-an, tatkala sajian
menghibur nan hangat sekaligus kental pesan positif yang dipaparkan lewat
optimisme mendominasi.
Ditulis naskahnya oleh Peter
Farrelly, Brian Currie (Two Tickets to
Paradise), dan Nick Vallelonga (Deadfall,
Choker), kisahnya terinspirasi kisah nyata tentang Tony Vallelonga (Viggo
Mortensen), pria Italia-Amerika yang menjadi sopir Don Shirley, pianis jazz
Afrika-Amerika yang hendak menjalani tur di area Deep South Amerika. Tony, yang tengah mencari pekerjaan sementara
pasca kelab malam tempatnya bekerja direnovasi, sebagaimana banyak orang di
tahun 1960-an (hell, even until now)
menyimpan ketidaksukaan pada kulit hitam.
Masalah terbesar Green Book terletak pada cara mempresentasikan perubahan sikap Tony. Kita sempat melihatnya membuang gelas yang
dipakai dua tukang ledeng berkulit hitam minum. Peristiwa itu memotretnya bak “rasis
sejati” yang memendam kebencian dan/atau rasa jijik terhadap kulit hitam. Benar bahwa ia bersedia bekerja
untuk Don demi uang, dan sepanjang perjalanan ia kerap melontarkan celotehan
stereotipikal, misalnya ekspresi keheranan Tony kala mengetahui Don tidak
mendengarkan “black music” atau makan
ayam goreng. Tapi dibandingkan aksi membuang gelas, karakterisasinya jelas
berubah jauh lebih lembut, bahkan sebelum mengalami pengalaman berharga, yang
jadi elemen penting dalam road movie
semacam ini.
Andai “adegan gelas” itu tidak ada,
atau naskahnya memberi gradasi lebih bagi proses yang terjadi, transformasi
Tony bakal jauh lebih berdampak. Tapi di luar lubang tersebut, Green Book menyimpan setumpuk momen
hangat meskipun karakternya harus menempuh jalan terjal, berjibaku melawan
rasisme serta segala bentuk prasangka.
Film ini pun tampil unik ketika
memposisikan dua tokoh utamanya dalam beberapa situasi terbalik terkait kondisi
sosial dan stereotip terkait ras di masa itu. Tony si kulit putih menjadi
pelayan kasar nan kurang berpendidikan, sedangkan Don memasang sikap yang lebih
bermartabat juga bertabur kemewahan. Ketika Don dibanjiri tepuk tangan lewat
permainan pianonya, Tony sibuk berjudi bersama para sopir berkulit hitam.
Perjalanan ini memantik rasa
kemanusiaan Tony seiring banyaknya ia menyaksikan ketidakadilan menimpa Don. Berkebalikan
dengan sang bos, Tony tak kuasa menahan luapan emosi. Bukan saja karena ia
bersumbu pendek, pula karena tanpa sadar, Tony selalu menikmati hak istimewa
sebagai pria kulit putih, yang takkan dibanjiri konsekuensi berbahaya bila
berbuat kekeliruan. Bayangkan jika Don yang memukuli seorang pemicu keributan di
awal film.
Don paham betul, bahwa untuk
bertahan hidup dan lebih dihargai, ia wajib menjaga sikap. Bahkan setelah semua
itu pun, sekadar memakai toilet pun ia tetap tak diperkenankan. Don berharap
dihormati, tapi pilihan itu justru sering membuatnya serba salah, sebab ia
tidak “cukup putih” untuk memperoleh perlakuan layak, pula “kurang hitam” untuk
dianggap sebagai satu kaum. Di sinilah naskah Green Book menyentuh area kompleks isu rasisme, yakni mengenai
tuntutan menjadi seragam agar bisa diterima dengan tangan terbuka. Bahwa
rasisme atau bentuk opresi lain terjadi akibat keengganan manusia merayakan
perbedaan. Green Book berusaha melawan prasangka. Bahkan Don—yang acap
kali jadi korban—pun terjebak dalam kecenderungan berprasangka.
Walau menyinggung subjek sensitif
dan cenderung gelap, Green Book sejatinya
tontonan crowd-pleaser. Beberapa
momen kebersamaan mampu menghangatkan hati, dan tentu saja, serupa film-film
Peter Farrelly lain, komedi jadi salah satu menu utama. Tidak seluruhnya tepat
sasaran, tapi kreativitas dalam kejenakaan usil Farrelly bukan saja menghibur,
juga menguatkan hubungan dua tokoh utamanya.
Berkat chemistry solid Viggo-Mahershala, Green Book menjadi buddy
comedy renyah. Keduanya piawai menyeimbangkan porsi drama dan komedi,
sambil terus saling melontarkan kelakar yang menjaga dinamika film, terlebih
ketika Tony dan Don mulai meruntuhkan tembok pembatas di antara mereka. Berbeda
dengan dua tahun lalu, kali ini saya mendukung Mahershala memenangkan Oscar
keduanya. Kompleksitas gejolak batin Don sanggup dimunculkan, sambil sesekali
memamerkan kemampuannya bermain piano.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
10 komentar :
Comment Page:Peran marshala di luke cage sbg cornell stoke yg dimatikan termasuk saya sesali.ketawa sinis nya keren...
Setuju banget Ali menang Oscar, dia bener" pantes menang. So sad, no love for Hawke, Collette, Blunt, and Chalamet
@Aan Setuju ini. Setelah dia mati, serialnya langsung ambles. One of his best performance, even far more superior than in Moonlight.
@Anna Yah, sayang banget. Mereka keren semua. Khusus buat Collette, ini gara-gara A24 campaign-nya lemah banget tahun ini. Mau sebagus apa, kalau rilis awal tahun mesti genjot ekstra. Macam Get Out tahun lalu yang stabil kampanye begitu deket akhir tahun.
Iya, tahun ini A24 kayaknya lemah buat kampanye film-filmya. Ethan Hawke ama Toni Collette emang sayang banget ga dapet nominasi, padahal performa mereka pantes buat menang. Mudah2han ke depannya 2 aktor itu akan lebih sukses lagi dapet penghargaan. Tapi saya yakin performa Collette bakal lebih diinget di tahun-tahun ke depan dibanding performa Close (walau Close sendiri emang keren banget).
Btw, kok ini Collette sering banget ya meranin sosok ibu, dan bagus banget lagi kalo meranin ibu, kayak di The Sixth Senses, About a Boy, Little Miss Sunshine, The Way Way Back, dan di Hereditary ini paling gila
Jadi bang rasyid lebih jagoin film apa buat menang best picture
Kenapa film yang bertema rasis kpd kulit hitam selalu masuk nominasi oscar ? Politik kah?
@Willy Nah itu. Hawke & Collette bagus banget. A24 yang biasanya pasti bisa dorong salah satu jadi nominasi. Minimal Hawke lah, juri Oscar masih kurang apresiasi horor soalnya. Well, her eyes actually scream "I'm a crazy mom" 😂
@bais Selain La La Land nggak pernah bener-bener punya jagoan sih. Tapi oke juga kalau Roma (biar film Netflix lebih dilirik) atau Black Panther (biar superhero movie dapat pengakuan & rating Oscar naik lagi).
@Rahmad Beberapa tahun terakhir kan Oscar emang mau kasih statement kalau mereka nggak anti-black movie sejak dikiritk "Oscar so white".
Baru nonton tadi di cg*.
Rasisnya parah. Gw agak mewek dikit pas adegan hujan 🙃. Keren sih ni film
Road movie tentang kesetaraan manusia dan persahabatan, banyak moment yg unik dan mengundang senyum, di tutup dengan ending yg hangat, sederhana ,tapi kena dihati, dalem, indahnya kesetaraan manusia.
Damn. Pemeran latino cowonya macho abis. *fanboying*
Posting Komentar