THACKERAY (2019)
Rasyidharry
Januari 29, 2019
Abhijit Panse
,
Amrita Rao
,
Biography
,
Hindi Movie
,
Kurang
,
Nawazuddin Siddiqui
,
REVIEW
,
Sanjay Raut
,
Sudeep Chatterjee
4 komentar
Karakter dalam Thackeray sungguh miskin motivasi, sebab karya terbaru Abhijit
Panse (Rege) ini sibuk memberi
glorifikasi terhadap radikalisme yang jadi akar perjuangan sang protagonis.
Benar bahwa di satu sisi, filmnya enggan menutupi kontroversi terkait pendekatan
ekstrim Bal Thackeray sang pendiri partai sayap kanan Shiv Sena. Tapi, ditulis
naskahnya oleh Abhijit Panse selaku anggota Maharashtra Navnirman Sena
(diketuai Raj Thackeray, keponakan Bal Thackeray) berdasarkan cerita dari
Sanjay Raut yang merupakan salah satu petinggi Shiv Sena, ketimbang
objektivitas, justru dukungan akan kekerasan yang terasa dari cara tutur “apa
adanya” tersebut.
Naskahnya tak peduli soal
penggalian sisi personal Bal Thackeray sebagai cara mempresentasikan motivasinya,
karena tujuan filmnya sendiri murni surat cinta buta kalau tak mau disebut propaganda.
Bayangkan film biografi “jujur” tentang Prabowo Subianto tentang sepak
terjangnya semasa Orde Baru yang ditulis oleh Fadli Zon. Demikian kurang lebih
cara kerja Thackeray.
Filmnya dibuka sebelum
dilangsungkannya persidangan terhadap Bal Thackeray (Nawazuddin Siddiqui) yang
dituduh terlibat dalam aksi kekerasan terhadap muslim di Bombay, termasuk
perusakan sebuah masjid. Situainya kacau, di mana kita dapat mendengar
orang-orang beradu argumen mengenai Thackeray, menggambarkan betapa ia sosok
kontroversial yang dapat memecah publik menjadi dua kubu. Kemudian filmnya
bergerak mundur ke akhir 1950-an, tatkala Thackeray masih bekerja sebagai
pembuat karikatur bagi The Times of India.
Di sinilah mestinya dilakukan
eksplorasi supaya penonton memahami, apa yang membentuk seorang Bal Thackeray.
Sisi pemberontaknya memang nampak saat menolak mematuhi perintah atasan untuk
mengerem kritik pedasnya bagi kalangan politikus. Thackeray pun memilih mundur,
menunjukkan bahwa sebagai individu, ia selalu berpegang teguh pada idealisme.
Melalui fase ini pula Abhijit Panse,
dibantu penata kamera Sudeep Chatterjee yang berpengalaman menggarap
judul-judul cantik seperti Bajirao
Mastani (2015) dan Padmaavat (2018),
menerapkan beberapa pilihan visual menarik. Warna hitam-putih dipakai hingga
separuh perjalanan, sambil sesekali terselip animasi bergaya karikatur. Sinematografinya
sanggup memaksimalkan visual hitam-putihnya untuk menyajikan beberapa momen
yang memanjakan mata.
Tapi selanjutnya, Thackeray seolah berasumsi seluruh
penonton telah memahami konflik yang dituturkan. Bal Thackeray menerbitkan
majalah sendiri yang ia beri nama Marmik (straight
from the heart), lalu mendirikan Shiv Sena dengan tujuan membela
orang-orang Marathy yang menjadi korban opresi. Opresi macam apa? Filmnya urung
memperlihatkan secara pasti. Alurnya melompat dari satu masalah ke masalah lain
tanpa gambaran latar yang jelas, dan itu terus-menerus terjadi, sehingga
penonton awam niscaya bakal semakin tersesat.
Thackeray jengah menyaksikan
kaumnya diperlakukan tidak adil, namun itu belum cukup menjustifikasi
langkah-langkah radikalnya. Eksplorasi lebih jauh wajib filmnya lakukan agar
penonton memahami (tidak perlu sampai menyetujui) pilihan sikap karakternya.
Kegagalan tersebut turut membuat momen kontemplatif yang lebih lembut ketika
Meena (Amrita Rao), istri Thackeray, mempertanyakan alasan orang-orang
menganggap mereka jahat, padahal mereka hanya ingin menolong orang yang
membutuhkan. Apa manusia-manusia ini lupa saat pendukung fanatik Shiv Sena
menghancurkan kota beserta toko-toko sementara Bal Thackeray sama sekali tak
mengecam tindakan itu?
Setelah mencapai separuh jalan, Thackeray mulai bergerak lebih mulus dan
mengajak kita sesekali belajar memahami pola pikir karakternya. Bal Thackeray
ingin mencerdaskan masyarakat, karena baginya percuma publik berteriak “Sediakan
lapangan kerja!” andai mereka memang tak kompeten. Alasannya memperjuangkan hak
Marathy yang (konon) dikesampingkan di rumah sendiri pun dapat dimengerti.
Tapi haruskah jalan radikal
dipilih? Ketimbang berargumen mengenai masalah itu, Thackeray memilih menutup mata. Mungkin karena bagi pembuatnya,
hal-hal tersebut merupakan kebenaran hakiki yang tak perlu dijelaskan. Hasilnya
adalah film mengerikan (in a negative way)
yang pantas disingkirkan ke tempat sampah kalau bukan karena performa Nawazuddin
Siddiqui lewat keberhasilannya menghidupkan figur kharismatik, yang melalui
baris demi baris kalimatnya sanggup menggerakkan (atau mempengaruhi?) massa
tanpa harus berorasi dengan teriakan. Gesturnya pasti, pelafalan kalimatnya
jelas, ribuan kali lebih jelas dibanding keseluruhan filmnya.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
4 komentar :
Comment Page:Kenapa pakai contoh Prabowo dan Fadly Zon? Knp gak pakai contoh Jokowi dan Ngabalin?
Simply karena Bal Thackeray dan beberapa sikap politiknya banyak ngingetin ke Prabowo, mau sekarang atau zaman orba.
Kenapa sih harus nyinyir ke situ?
Kenapa harus memancing2?
Bagaimana bisa tercipta kedamaian kalau selalu ada bahan nyinyiran?
Damai itu indah
Kenapa harus terpancing? Bagaimana bisa tercipta kedamaian kalau selalu gampang panas?
Makanya coba ditonton dulu filmnya
Posting Komentar