MANIKARNIKA: THE QUEEN OF JHANSI (2019)
Rasyidharry
Januari 27, 2019
Ankit Balhara
,
Biography
,
Cukup
,
Edward Sonnenblick
,
Hindi Movie
,
Jisshu Sengupta
,
Kangana Ranaut
,
Krish
,
Manish Wadhwa
,
REVIEW
,
Richard Keep
,
Sanchit Balhara
,
Suresh Oberoi
Tidak ada komentar
Manikarnika: The Queen of Jhansi hanya kurang selangkah lagi menjadi
film empowerment memikat tentang penolakan
seorang pemimpin wanita untuk tunduk pada penjajah serta persepsi sosial yang
mengekang kebebasan wanita. Seluruh momen pendukung yang diperlukan telah
filmnya miliki, belum lagi ditambah performa kelas wahid sang aktris utama,
yang bukan mustahil bakal masuk jajaran klasik di masa depan. Sayang, akibat kecanggungan
di beberapa poin pengadeganan serta penyuntingan, elemen-elemen tersebut urung
menyatu dengan baik.
Berlatar pertengahan era 1800-an
tatkala kekuasaan Inggris di India semakin kejam, dan hampir semua kerajaan
memilih tunduk, Manikarnika: The Queen of
Jhansi menuturkan kisah hidup Manikarnika alias Manu (Kangana Ranaut), si
wanita tangguh yang dibesarkan layaknya prajurit oleh ayahnya (Manish Wadhwa)
dan Bajirao II (Suresh Oberoi) dari Bithoor. Semasa bayi, seorang peramal
menyebut bahwa kelak nama Manu bakal tercatat dalam sejarah India.
Perjalanan Manu menjadi salah satu
figur berpengaruh dalam perjuangan kemerdekaan India dimulai kala ia menikahi
Maharaja dari Jhansi, Gangadhar Rao (Jisshu Sengupta), lalu mengganti namanya
menjadi Lakshmibai. Sejak itulah ia mulai belajar soal situasi politik, pula
penderitaan rakyatnya selama kolonialisme mencengkeramkan tanah India. Sampai
suatu hari, pasca menyaksikan sang suami menundukkan kepala kepada Kapten
Gordon (Edward Sonnenblick), hasrat meletuskan perlawanan mulai tumbuh di dada
Manu.
Tentu itu bukan perkara mudah. Manu
tidak sajamesti menghadapi kekuatan militer Inggris yang berkali lipat lebih
besar dan kuat, juga kultur yang kurang bersahabat dengan wanita. Tidak semua
orang bersedia tunduk di hadapan Manu, walau ia berstatus seorang Ratu. Ibu
mertuanya sendiri bahkan menyuruh Manu berkonsentrasi saja di dapur ketimbang
ikut mengurusi masalah politik.
Persekusi, seksisme, juga budaya
misogini merupakan konteks yang masih relevan biarpun lebih dari 200 tahun
telah berlalu sejak kisah film ini. Itu sebabnya perjuangan Manu teraa
bermakna. Manikarnika: The Queen of
Jhansi mampu menjalankan perannya untuk meyakinkan penonton, betapa sang
Ratu tituler adalah sosok besar yang kisahnya pantas diangkat.
Saya dibuat kagum oleh beberapa
keberanian Manu, mulai dari penolakannya menjalankan ritual sebagai janda dan
memilih fokus menyusun rencana perlawanan, hingga aksi-aksi penuh nyalinya di
medan perang. Manu tak gentar melancarkan serangan terbuka walau nyawa jadi
taruhannya. Sebab ia yakin, kematiannya justru akan menyulut semangat rakyat.
Keberaniannya bahkan membuat Jenderal Hugh Rose (Richard Keep) yang terkenal
atas kekejamannya (literally)
mengalami mimpi buruk hingga berteriak bak pengecut.
Kangana Ranaut, yang turut duduk di
kursi sutradara bersama Krish (Gautamiputra
Satakarni, Gabbar is Back), menghadirkan akting yang tak kalah membara dari
api perjuangan Manu. Tatapan matanya dapat membuat prajurit nomor wahid
sekalipun ciut nyalinya. Kangana adalah salah satu alasan mengapa momen ketika
Manu mulai menduduki tampuk kekuasaan—yang dibarengi musik epic gubahan Ankit Balhara dan Sanchit Balhara (Bajirao Mastani, Padmaavat)—terasa menggetarkan
walau keseluruhan penceritaan film ini urung mencapai hasil maksimal.
Terdapat adegan mengerikan saat
gadis cilik digantung karena ia bernama Lakshmi, namun peristiwa keji itu pun
nihil dampak, karena diselipkan paksa di antara sekuen uplifting lengkap dengan musik pengiring bernuansa positif. Kelemahan
di atas terulang beberapa kali, sehingga tensi dramatis filmnya pun acap kali
berakhir lemah.
Meski masih “gagap” saat bercerita,
Kangana dan Krish cukup mumpuni menciptakan sekuen aksi epic nan megah, walau dalam hal film sejarah, visual seperti apa
pun bakal tampak kerdil setelah kehadiran Padmaavat
tahun lalu. Peperangannya brutal, tak pernah ragu menumpahkan darah di
tengah aksi saling tebas. Tapi jangan mengharapkan kuantitas tinggi, mengingat
deretan laga baru tersaji begitu filmnya berlangsung hampir dua jam.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar