INSTANT FAMILY (2018)
Rasyidharry
Januari 27, 2019
Bagus
,
Comedy
,
Drama
,
Isabela Moner
,
John Morris
,
Mark Wahlberg
,
Octavia Spencer
,
REVIEW
,
Rose Byrne
,
Sean Anders
6 komentar
Mungkin banyak yang memandang
sebelah mata Instant Family karena
statusnya sebagai drama-komedi ringan. Tapi karya terbaru Sean Anders (Horrible Bosses 2, Daddy’s Home, Daddy’s
Home 2) ini sejatinya mengusung pesan penting soal parenting. Pun balutan komedi tak melucuti kekuatan ceritanya,
sebab seperti perkataan Karen (Octavia Spencer), “It’s important to have sense of humor in this (parenting)”. Mengasuh anak dapat menimbulkan frustrasi, namun tawa
tak boleh dienyahkan dari prosesnya.
Instant Family mengajak kita menertawakan sulitnya mengasuh anak,
sambil mengaduk emosi lewat drama keluarga menyentuh. Film ini bagai versi
ringan dari Shoplifters milik
Hirokazu Kore-eda. Walau pendekatannya amat berbeda, kedua film sama-sama
mempertanyakan, “What makes a family?”.
Apakah ikatan darah merupakan kewajiban? Ataukah besarnya cinta kasih jadi hal
terpenting?
Keinginan menimang buah hati mulai
timbul dalam benak pasangan suami-istri, Pete (Mark Wahlberg) dan Ellie (Rose
Byrne). Tapi mempertimbangkan usianya, Pete khawatir jika kelak ia sudah
terlalu tua begitu sang anak mulai beranjak dewasa. Walau dipresentasikan
secara jenaka, topik tersebut sebenarnya relevan. Saya sendiri kerap terlibat
obrolan serupa dengan ayah. Itulah alasan di balik keputusan mereka memilih
mengadopsi anak berusia sekitar lima tahun.
Tapi atensi mereka justru direbut
oleh remaja 14 tahun bernama Lizzie (Isabela Moner), yang juga memiliki dua
adik, Juan (Gustavo Quiroz) dan Lita (Julianna Gamiz). Pete dan Ellie pun
berujung membawa pulan tiga anak. Keduanya boleh mencari nafkah dari bisnis
reparasi rumah, namun itu tak otomatis memudahkan pekerjaan “memperbaiki”
ketiga anak angkat mereka, yang mempunyai masa lalu suram akibat sosok ibu tak
bertanggung jawab.
Hari-hari yang tadinya sunyi
mendadak riuh, kacau, dan tentunya penuh tekanan. Lita yang terobsesi pada
keripik kentang selalu histerikal, Juan amat sensitif sehingga bisa menangis
karena hal kecil, sedangkan Lizzie, well.....remaja.
Mayoritas konflik yang menggambarkan repotnya proses mengasuh, dibungkus menggunakan
sampul komedi dengan presentasi keberhasilan memancing tawa yang sangat tinggi
berkat materi lawakan segar dari naskah buatan Sean Anders bersama John Morris
(Hot Tube Time Machine, We’re the
Millers, Dumb and Dumber To).
Porsi Mark Wahlberg dan Rose Byrne
bagai mencerminkan pembagian peran orang tua. Terlepas dari kesanggupan mereka
menangani kedua elemen, terlihat bahwa Byrne—dengan talenta luar biasa dalam
merespon segala situasi menggelikan—menyokong porsi komedi, sementara Wahlberg—berbekal
kharisma sosok ayah keren—hadir untuk menghangatkan perasaan kita (dan anak-anaknya).
Kesuksesan terbesar Instant Family terletak pada kecakapan
beralih antara komedi dan drama secara konstan. Di satu titik, filmnya bisa
mengocok perut kita lewat gelak tawa, lalu sejurus kemudian mencengkeram dada melalui
rasa haru. Penggambaran ikatan keluarganya selalu kuat, sebab Anders—yang
menulis naskah ini berdasarkan cerita hidupnya—tahu, pemandangan terkait
hubungan anak dengan orang tua seperti apa yang efektif melelehkan hati. Benang
merahnya selalu sama: ungkapan cinta.
Instang Family adalah soal cinta, dan dalam menyampaikan pesannya,
film ini beruntung mempunyai kreativitas Sanders perihal menjalin kata-kata,
yang ketimbang terdengar murahan atau terlalu melankolis, justru mampu seketika
menusuk perasaan penontonnya, sekaligus menggiring kita supaya menyadari,
bahwasanya setiap anak di muka Bumi pantas dicintai. Instant Family adalah suguhan kaya rasa, sehingga biarpun bergerak
cukup panjang untuk ukuran drama-komedi keluarga (119 menit), saya takkan
keberatan bila kisahnya terus digulirkan.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
6 komentar :
Comment Page:2 hari yg lalu nonton ini bareng temen, dan suka banget, sebagus itu, sayang sih tipikal film begini gak begitu dilirik masyarakat Indonesia, padahal banyak pelajaran yg bisa diambil dan sangat menghibur.
Dan setelah nonton ini film, jadi makin yakin kalo udah nikah nanti dan mampu secara financial, pengen bgt adopsi anak🙋🏻♀️
Nah ini pesan yang penting juga. Menghapus persepsi kurang baik masyarakat soal adopsi anak.
Kurang lucu sih. Tapi pelemna bagus buat ortu angkat. Meski gue jg gak yakin sih ada anak angkat sebrengsek mereka di dunia nyata.
Oh trust me, banyak yang jauh lebih brengsek :)
Baru aja kelar ntn. Kalo masi kebayang cakepnya si Lizzy,tidak termasuk pedo kan?hahaha.
Anyway film keluarga yg must watch. Sempet kukira komedinya 70% dan dramanya 30%,tapi ternyata terbalik. Membuka pikiranku mengenai orang tua dan anak asuh sih. Kerenn!!
Btw si Mark Walberg emang paling bisa ngelawak sambil pasang mimik muka serius mau berantem
Nggak dong, udah bukan bawah umur dia. Dari Transformers juga udah naksir haha.
Yeah, "film edukatif" itu harusnya begini. Kasih insight, tapi tetep fun & punya hati.
Posting Komentar