PREMAN PENSIUN (2019)

9 komentar
Cerita semacam ini kerap saya dengar sejak kecil dari ayah. Tentang seorang pria “penguasa” jalanan yang dihormati anak buahnya, yang terdiri atas segerombolan preman setempat paling ditakuti. Bisa dimengerti ketika beliau tidak bangga akan kisah tersebut, namun sebagai bocah, tumbuh kekaguman akan sosok-sosok demikian. Bahkan salah satu tontonan favorit saat saya duduk di bangku Sekolah Dasar adalah Goodbye Mr. Cool (2001) yang dibintangi Ekin Cheng.

Pada sebuah adegan dalam Preman Pensiun, Muslihat alias Kang Mus (Epy Kusnandar) menyuruh Ujang (M. Fajar Hidayatullah) mencari orang untuk diam-diam melindungi puterinya, Safira (Safira Maharani). Mereka senang hati membantu, sebab Kang Mus bukan semata bos, melainkan keluarga. Saya pernah mengalami hal serupa kala dahulu pertama tiba di perantauan untuk berkuliah. Saya mengagumi bentuk hubungan tersebut.

Itulah kenapa saya menikmati Preman Pensiun, walau belum menonton tiga musim serialnya. Kisah filmnya dimulai tiga tahun selepas episode terakhir, di mana Kang Mus beserta anak buahnya membubarkan diri demi memulai kehidupan baru.  Tapi nyatanya, sulit meninggalkan bisnis lama mereka, yang seperti diucapkan mendiang Kang Bahar (Didi Petet), adalah “Bisnis yang bagus tapi bukan bisnis yang baik”.

Kang Mus mengalami nasib serupa, tatkala usaha kecimpring miliknya semakin sepi setiap hari. Selain itu, terdapat pula kisah lain, seperti kekhawatiran Kang Mus akan Safira yang telah beranjak dewasa dan memiliki kekasih, hingga konflik lebih besar nan serius perihal pengeroyokan seorang pria.

Saya asing dengan serialnya, tapi sekali waktu saat pulang kampung, saya sempat menyimak beberapa judul produksi RCTI lainnya (Tukang Ojek Pengkolan, Dunia Terbalik, dan lain-lain). Sutradara sekaligus penulis naskah Aris Nugraha, yang dahulu turut melahirkan tontonan legendaris Bajaj Bajuri, kentara berusaha mempertahankan gaya khas “sinetron Sunda” tersebut. Aris pernah menyatakan keengganan mengangkat Preman Pensiun ke layar lebar, karena khawatir bakal menjadikannya eksklusif. Baginya, Preman Pensiun merupakan hiburan rakyat.

Hasilnya, penggemar lama secara khusus, atau pemirsa televisi secara umum, takkan merasa teralienasi begitu disuguhi lawakan ringan atau musik bernuansa Sunda garapan Dani Supit yang mengalun sepanjang film. Bedanya, berkat tambahan production value, otomatis Preman Pensiun punya tampilan lebih sinematik, pun didukung pilihan sudut kamera yang tak sinetron-ish.

Aris Nugraha juga mempertahankan model tutur sinetron, di mana begitu banyak cabang cerita untuk disatukan selama 90 menit durasi. Tempo cepat cenderung ngebut wajib diterapkan, ketika lompatan antar momen terjadi sekejap mata. Guna mengakali itu, Aris memakai teknik transisi yang membuat dialog dan gambar muncul silih berganti bak saling bersautan (Bagi kebanyakan penonton, teknik ini dipopulerkan film-film Warkop DKI).

Teknik bernuansa komedik di atas mungkin takkan memancing tawa lepas, tapi cukup menyuntikkan nuansa keceriaan yang memancing senyum. Cara tutur tersebut sejatinya melemahkan kekuatan drama mengenai usaha pertobatan para pensiuman preman. Konflik yang sesungguhnya sederhana berakhir lebih rumit ketimbang seharusnya. Desain narasi Preman Pensiun memang tak bertujuan menguatkan emosi, melainkan memfasilitasi agar durasi singkatnya bisa mencakup seluruh cabang cerita, dan tentu saja, bersenang-senang.

Biarpun tanpa cerita yang seberapa dalam, Aris Nugraha telah berhasil mencapai tujuan awalnya, yaitu membuat film hiburan bagi semua kalangan. Deretan karakternya “berwarna”, pun sesekali bertindak absurd. Sebutlah Mang Uu (Mang Uu) dengan Bahasa Inggris ala kadarnya, atau Kang Pipit (Ica Naga) yang gemar menggoda wanita dan memperhatikan detail-detail kecil tidak penting. Humor dari karakternya hadir dalam dosis secukupnya. Aris berusaha melucu tanpa memaksakan kekonyolan di tiap adegan.

Di luar dugaan, Preman Pensiun juga menyimpan hati, seperti nampak kala Kang Mus mengenang masa-masa menjadi anak buah Kang Bahar di depan puteri mantan bosnya itu, Kinanti (Tya Arifin). Saya terenyuh meski tak pernah melihat langsung hubungan Kang Mus dengan Kang Bahar berkat akting solid Epy Kusnandar (seperti biasa), serta sensibilitas Aris Nugraha membungkus melankoli dalam proses mengenang sesuatu yang pantas dikenang.

9 komentar :

Comment Page:
Nurul dwi larasati mengatakan...

Saya penonton setia Preman pensiun di sinetronnya. Sayangnya kang Komar nggak ada di film ini. Endingnya belum benar-benar selesai,kayaknya ada Preman Pensiun season 2

Rasyidharry mengatakan...

Well, ngelihat jumlah penontonnya, sekuel cuma tinggal tunggu waktu

Unknown mengatakan...

Yaelah sinetron ke layar bioskop. Kagak worth banget . Sayang duid. Mending nonton aquamen

Unknown mengatakan...

Just 3 stars? Knapa?

Andre dana mengatakan...

film nya biasa aja..nothing special..promosi nya yg luar biasa..

Unknown mengatakan...

Tp dpt review positif dr kritikus film

Anna B mengatakan...

Burning ilang dari Best Foreign Film😭

hilpans mengatakan...

Yeaahhh...nominasi Oscar udah keluar..wah postingan ente mana bung..harus skroll lg nih k bawah

Rasyidharry mengatakan...

@Anna Iya, padahal paling suka itu. Ya udah lah, Cold War juga bagus soalnya.

@hilpans Nggak perlu dicari, ancur haha. Dari 106 tebakan cuma bener 78