TABU (2019)
Rasyidharry
Januari 25, 2019
Agatha Chelsea
,
Angga Yunanda
,
Angling Sagaran
,
Bastian Steel
,
Haqi Achmad
,
horror
,
Indonesian Film
,
Isel Fricella
,
Kurang
,
REVIEW
6 komentar
Horor lokal berkualitas bobrok
memang mengesalkan, namun lebih menyesakkan menonton sajian seperti Tabu, yang menyimpan intensi baik untuk
tak sekadar membuat produk asal jadi, tetapi berakhir sebagai kegagalan akibat
nyaris tiada satu pun elemen yang bekerja. Ditulis naskahnya oleh Haqi Achmad (Sajen, Rompis, Ada Cinta di SMA), pondasi
Tabu mengikuti jalur formulaik soal
siswa-siswi SMA yang ingin menyambangi tempat angker demi menangkap penampakan
hantu. Momen-momen “wajib” seperti
menyusun rencana perjalanan di sekolah lengkap dengan rangkaian pembicaraan
yang telah kita dengar ratusan kali di film-film setipe lain, hingga diperlihatkannya
kliping beberapa lokasi berhantu di kamar salah satu karakternya, bisa anda
temukan di sini.
Pembeda film karya Angling Sagaran
(From London to Bali, Total Chaos)
dari banyak kompatriotnya sesama horor semenjana adalah keberanian untuk tak
bergantung pada hantu yang menyergap tiap lima menit. Haqi berusaha meluangkan
waktu pada eksplorasi karakter sembari menyelipkan konflik keluarga
disfungsional di antaranya. Supaya berhasil, penonton perlu dibuat menyukai
karakter-karakter beserta interaksi mereka.
Tapi sewaktu yang muncul adalah dialog
hambar, penokohan membosankan, plus akting seadanya, interaksi enam remaja yang
nekat mendatangi Leuweung Hejo ini pun kekurangan rasa dan warna agar bisa
dinikmati. Keliru jika mengira kegemaran Mahir (Bastian Steel) mengumbar rayuan gombal kepada Muti (Agatha Chelsea) dapat memancing senyum. Hasilnya ironis. Keberanian menekan kuantitas jump scare berujung menjadi pisau bermata dua, sebab Tabu bergerak tak bertenaga bagai orang
kekurangan gizi. Membosankan.
Bahkan setelah mereka memutuskan
pulang lebih cepat dari Leuweung Hejo, ketika Diaz (Angga Yunanda) kesurupan—yang
dikarenakan inkonsistensi akting, kadang tampak seperti mayat hidup, kadang
seperti demam, kadang seperti anak kurang makan—sedangkan Keyla (Isel
Fricella), karena alasan yang diungkap jelang akhir, memaksa kawan-kawannya
membawa pulang bocah bisu misterius yang mereka temui di tengah hutan.
Andai pengembangan karakternya
berhasil, begitu teror yang membuntuti keenam remaja ini mulai membawa maut, Tabu berpotensi jadi horor yang menusuk
perasaan. Sebab secara struktur penceritaan, pendekatan Haqi sudah tepat dengan
mengajak penonton menghabiskan waktu bersama karakternya sebelum melepaskan
teror ke permukaan. Pun sebuah subplot mengenai rahasia Leuweung Hejo serta
kaitannya dengan beberapa karakter disajikan terburu-buru sehingga hanya
melahirkan eksplorasi mitologi setengah matang.
Tabu menyimpan segelinter ide potensial perihal cara
menakut-nakuti, namun penyutradaraan Angling Sagaran terlampau lemah guna
memaksimalkannya, termasuk dalam klimaks tak bertaring miliknya. Ditambah tata
rias medioker, kita patut bersyukur Tabu
enggan melempar banyak jump scare, sebab
dengan begitu, kelemahan-kelemahan di atas tak berkesempatan menyeruak lebih
sering. Filmnya ditutup lewat cliffhanger,
yang lagi-lagi terdengar menjanjikan di atas kertas tapi berakhir tanpa
dampak karena kegagalan Tabu
memancing kepedulian terhadap karakternya.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
6 komentar :
Comment Page:Bang Rasyid gk mereview film suprisia ?
@Adit Tuh jawaban udah diwakilin sama komen bawahnya ya 😁
Jadi di antara trio Sajen, Kafir, Tabu, manakah yang paling mendingan Mas Rasyid?
Kafir lah pasti heheheh
Mas Rasyid,
Review Welcome Home donk yg lagi tayang di CGV..
Bingung mau nuntun OKB, Welcome Home, atau Hell Fest?
Tiga tiga nya belom di review..
Di tunggu yak sampe tengah malem ini, besok penentuan nuntun yg mana (dua dari tiga film ntu)
Thanks..
@Aaron Walau Kafir nggak bagus-bagus amat, jelas menang itu kalau dibandingin Sajen & Tabu yang nyungsep.
@Unknown Lah, OKB kan udah tuh. Jelas pilih OKB.
Posting Komentar