Tampilkan postingan dengan label Agatha Chelsea. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Agatha Chelsea. Tampilkan semua postingan

THE SACRED RIANA: BEGINNING (2019)

The Sacred Riana: Beginning adalah film khas Billy Christian (Rumah Malaikat, Petak Umpet Minako, Mereka Yang Tak Terlihat), tidak kurang, tidak lebih: Tata artistik menawan dan konsep segar yang gagal mencapai potensi akibat kombinasi penulisan dan penyutradaraan lemah, khususnya perihal adegan bertensi tinggi.

Terinspirasi dari karakter The Sacred Riana, sang pesulap pemenang Asia’s Got Talent 2017, filmnya mengisahkan bagaimana Riana kecil (Jessiana Marriera Pariston) yang pendiam selalu dianggap aneh orang teman-temannya. Fakta bahwa kedua orang tuanya (Prabu Revolusi dan Citra Prima) menjalankan usaha pemakaman membuat ejekan terhadapnya makin deras. Seolah belum cukup, kehidupan Riana dipenuhi bencana. Pasca rumahnya habis terbakar, Riana sekeluarga tinggal di kediaman Oom Johan (Willem Bevers). Tidak berapa lama, Oom Johan tewas dalam kecelakaan pesawat.

Sebagai kolektor barang antik bernuansa mistis dari seluruh dunia, rumah Oom Johan pun banyak diisi benda-benda mengerikan, termasuk boneka yang Riana temukan dan ia beri nama Riani. Bagi Riana, Riani merupakan satu-satunya teman. Tapi sejak keberadaan Riani, sikap Riana berubah aneh. Dia tak lagi bicara, kerap melakukan gestur aneh, bahkan mampu menggerakkan barang-barang. Kondisi tersebut berlanjut hingga ia dewasa.

Saya lega ketika filmnya melompat ke masa remaja Riana, sebab sosok Riana kecil benar-benar sulit disaksikan. Saya takkan menyalahkan Jessiana, karena jangankan aktris cilik sepertinya, pelakon berpengalaman pun akan kesulitan menyampaikan deretan dialog kaku milik naskah buatan Billy bersama Andy Oesman. Ketika pemain cilik berakting buruk, maka bobot kesalahan terbesar ada di dua aspek: Naskah yang tak memahami bagaimana anak kecil bersikap dan sutradara yang kurang jeli mengarahkan. Bukan berarti Riana remaja (The Sacred Riana) tampil superior, sebab ia tertolong kekhasan karakternya, yang lebih banyak diam.

Suatu hari, setelah absen beberapa waktu dari sekolah, Riana dikunjungi guru BP-nya, Klara (Aura Kasih). Lega rasanya mendapati Klara bukan satu lagi tokoh psikolog klise yang skeptis akan fenomena mistis. Tidak hanya percaya, Klara bahkan familiar dengan hal berbau supranatural. Di kunjungan berikutnya, dia mengajak serta tiga anak didiknya, Lusi (Agatha Chelsea), Hendro (Angrean Ken), dan Anggi (Ciara Nadine Brosnan). Kelak diketahui, ketiganya pun memiliki kelebihan, yang sebelum bertemu Klara, sempat membuat mereka dikucilkan layaknya Riana.

Mengumpulkan sederet remaja indigo berkemampuan berbeda berpotensi melahirkan kesegaran. The Sacred Riana: Beginning bisa saja dibungkus layaknya X-Men dengan sentuhan horor supranatural (Ya, seperti film “satu itu” yang kemungkinan takkan pernah dirilis). Didukung musik gubahan Andi Rianto (30 Hari Mencari Cinta, Arisan!, Critical Eleven), film ini kadang terasa bagai kisah fantasi kelam khususnya Billy beberapa kali memilih menekankan aura keajaiban ketimbang kengerian.

Sungguh sayang, di mayoritas waktu, The Sacred Riana: Beginning masih tergoda untuk berjalan di jalur horor lokal formulaik, tepatnya pasca pengenalan Bava Gogh (Carlos Camelo), pembunuh berantai dengan korban anak-anak, yang tak berhenti menebar teror bahkan setelah meregang nyawa. Bava Gogh punya tampilan unik berkat dandanan ala Eropa dari period era, namun kemunculannya gagal menebar teror akibat gaya akting over-the-top konyol sang aktor.

Dari cerita menjanjikan soal remaja korban perundungan yang bergulat dengan bakatnya, film ini beralih menuju repetisi melelahkan, ketika satu demi satu karakter jadi korban teror Bava Gogh (serta hantu-hantu lain), berteriak, jatuh ketakutan, sebelum dihampiri karakter lain yang hendak menolong sambil meneriakkan namanya. Satu lagi adegan “andalan” The Sacred Riana: Beginning adalah “sesi curhat” penuh pilihan kalimat membosankan, selaku wujud terapi dari Klara terhadap keempat anak didiknya. Pola itu terus diulang, hingga mencapai pertengahan durasi, saya curiga bahwa para penulisnya lupa kalau film ini berjudul The Sacred Riana, karena Riana sendiri menghilang cukup lama dan baru kembali beberapa saat jelang babak ketiga.

Jurang pembeda The Sacred Riana: Beginning dengan horor lokal beralur tipis kebanyakan adalah saat Billy konsisten mempresentasikan ide menarik seputar metode menakut-nakuti. Tidak selalu mengerikan atau mengejutkan, tapi paling tidak saya beberapa kali dibuat tersenyum, terhibur oleh kreativitas Billy, sebagaimana dicontohkan satu momen yang memanfaatkan sebuah lukisan.

Ironisnya, penyebab kegagalan film ini menelurkan teror mengerikan juga Billy sendiri, tepatnya ketidakmampuan sang sutradara menangani sekuen beroktan tinggi. Kebanyakan gambarnya cantik, pun mudah mengambil banyak photo still menarik dari film ini. Tapi kondisi berubah kala terjadi pergerakan, baik dari kamera maupun objek (termasuk manusia) di layar. Nyaris tiada intensitas, entah disebabkan gerak kamera yang terlampau pelan atau terlambat menangkap momentum. Sederhananya, Billy jago mengambil gambar diam daripada gambar bergerak. Tunggu, tapi bukankah film sendiri merupakan "gambar bergerak"? 

TABU (2019)

Horor lokal berkualitas bobrok memang mengesalkan, namun lebih menyesakkan menonton sajian seperti Tabu, yang menyimpan intensi baik untuk tak sekadar membuat produk asal jadi, tetapi berakhir sebagai kegagalan akibat nyaris tiada satu pun elemen yang bekerja. Ditulis naskahnya oleh Haqi Achmad (Sajen, Rompis, Ada Cinta di SMA), pondasi Tabu mengikuti jalur formulaik soal siswa-siswi SMA yang ingin menyambangi tempat angker demi menangkap penampakan hantu. Momen-momen “wajib” seperti menyusun rencana perjalanan di sekolah lengkap dengan rangkaian pembicaraan yang telah kita dengar ratusan kali di film-film setipe lain, hingga diperlihatkannya kliping beberapa lokasi berhantu di kamar salah satu karakternya, bisa anda temukan di sini.

Pembeda film karya Angling Sagaran (From London to Bali, Total Chaos) dari banyak kompatriotnya sesama horor semenjana adalah keberanian untuk tak bergantung pada hantu yang menyergap tiap lima menit. Haqi berusaha meluangkan waktu pada eksplorasi karakter sembari menyelipkan konflik keluarga disfungsional di antaranya. Supaya berhasil, penonton perlu dibuat menyukai karakter-karakter beserta interaksi mereka.

Tapi sewaktu yang muncul adalah dialog hambar, penokohan membosankan, plus akting seadanya, interaksi enam remaja yang nekat mendatangi Leuweung Hejo ini pun kekurangan rasa dan warna agar bisa dinikmati. Keliru jika mengira kegemaran Mahir (Bastian Steel) mengumbar rayuan gombal kepada Muti (Agatha Chelsea) dapat memancing senyum. Hasilnya ironis. Keberanian menekan kuantitas jump scare berujung menjadi pisau bermata dua, sebab Tabu bergerak tak bertenaga bagai orang kekurangan gizi. Membosankan.

Bahkan setelah mereka memutuskan pulang lebih cepat dari Leuweung Hejo, ketika Diaz (Angga Yunanda) kesurupan—yang dikarenakan inkonsistensi akting, kadang tampak seperti mayat hidup, kadang seperti demam, kadang seperti anak kurang makan—sedangkan Keyla (Isel Fricella), karena alasan yang diungkap jelang akhir, memaksa kawan-kawannya membawa pulang bocah bisu misterius yang mereka temui di tengah hutan.

Andai pengembangan karakternya berhasil, begitu teror yang membuntuti keenam remaja ini mulai membawa maut, Tabu berpotensi jadi horor yang menusuk perasaan. Sebab secara struktur penceritaan, pendekatan Haqi sudah tepat dengan mengajak penonton menghabiskan waktu bersama karakternya sebelum melepaskan teror ke permukaan. Pun sebuah subplot mengenai rahasia Leuweung Hejo serta kaitannya dengan beberapa karakter disajikan terburu-buru sehingga hanya melahirkan eksplorasi mitologi setengah matang.

Tabu menyimpan segelinter ide potensial perihal cara menakut-nakuti, namun penyutradaraan Angling Sagaran terlampau lemah guna memaksimalkannya, termasuk dalam klimaks tak bertaring miliknya. Ditambah tata rias medioker, kita patut bersyukur Tabu enggan melempar banyak jump scare, sebab dengan begitu, kelemahan-kelemahan di atas tak berkesempatan menyeruak lebih sering. Filmnya ditutup lewat cliffhanger, yang lagi-lagi terdengar menjanjikan di atas kertas tapi berakhir tanpa dampak karena kegagalan Tabu memancing kepedulian terhadap karakternya.

MEET ME AFTER SUNSET (2018)

Meet Me After Sunset adalah film romansa, sehingga saat tokoh utama laki-laki melihat perempuan misterius berjalan sendiri di tengah malam, membwa lentera sambil bersenandung untuk kemudian tiba-tiba hilang di balik kabut, bukan jadi hal menyeramkan. Si laki-laki justru makin tertarik dengan si perempuan. Di film horor, peristiwa itu bakal disebut penampakan. Sementara di kehidupan nyata, saya akan menutup jendela rapat-rapat, berbaring sambil mendengarkan lagu riang. Namun dengan begitu takkan ada drama, takkan ada film.

Si laki-laki bernama Vino (Maxime Bouttier), remaja tampan asal Jakarta yang terpaksa menuruti keinginan orang tuanya pindah ke Ciwidey, Bandung. Walau digilai seisi sekolah, Vino terlanjur kepincut pada perempuan bertudung merah tadi. Gadis (Agatha Chelsea) namanya. Orang-orang memandangnya aneh karena jangankan bersekolah, keluar rumah pun hanya di malam hari, menuju bukit, menari di tengah kunang-kunang. Gadis hanya memiliki seorang sahabat, yakni Bagas (Billy Davidson), yang tahu segala rahasianya.
Usaha Vino merebut hati Gadis dengan cara mewujudkan mimpi-mimpinya pun dimulai. Apabila Vino bagai pangeran dari negeri dongeng, wajar. Sebab Meet Me After Sunset memang ingin terasa dan terlihat seperti dongeng. Negeri dongeng di mana rumah kampung bertembok anyaman bambu memiliki perabot unik berwarna-warni ketimbang nuansa cokelat dari kayu yang telah usang. Di luar, rembulan selalu benderang di malam hari, sedangkan kala sore, langit selalu memamerkan warna khas magic hour tanpa pernah dirundung mendung.

Plotnya bergerak semata demi memfasilitasi sinematografi arahan Gunung Nusa Pelita memamerkan gambar-gambar yang meski acap kali artificial, tampak cantik. Meet Me After Sunset memang enak dilihat berkat komponen visual unik. Tidak hanya sinematografi, pilihan kostum termasuk pemakaian baju astronot saat Vino dan Gadis berkencan meletakkan garis pembeda dibanding romansa remaja di kebanyakan film kita. Aspek ini cukup membantu selaku penawar bagi alur lemah penuh peristiwa yang dipaksakan.
Mengapa Gadis tidak bisa ke Bandung? Bukankah Bagas atau ayahnya (Iszur Muchtar) bisa mengantar? Bagaimana mungkin sang ayah tidak tahu anaknya tidak suka badut atau cokelat? Daftar pertanyaan seputar kejanggalannya bisa diteruskan tetapi akan terlalu panjang. Sisi positifnya, skenario ciptaan Haqi Achmad dan Fatmaningsih Bustamar mampu menggambarkan dilema Gadis yang terjebak cinta segitiga dengan baik. Alasan kebingungannya jelas, biarpun pembagian waktu—kapan penonton mesti mendukung Vino sang protagonis, kapan mesti ikut merasa dilematis—tersaji kusut. Resolusi masalah tersebut kurang berdasar, tapi bukankah cinta tak perlu alasan logis?

Filmnya ditutup oleh twist yang—berbeda dengan paparan konfliknya—tidak datang mendadak. Beberapa benih ditebar sepanjang durasi sehingga penonton yang jeli dapat mengira-ira apa yang bakal terjadi. Sementara iringan lagu Dulu Kini Nanti milik Citra Scholastika tak pernah gagal menyuntikkan rasa manis sekaligus haru pada sebuah adegan film (sebelumnya dipakai oleh Mars Met Venus). Agatha Chelsea cocok mewakili nuansa manis tersebut, sedangkan Maxime Bouttier untuk ke depannya perlu lebih berhati-hati memilah, mana bad boy unik pula asyik, mana yang sebatas tengil dan menyebalkan. Jefri Nichol selalu siap mengajari.