GULLY BOY (2019)
Rasyidharry
Februari 16, 2019
Alia Bhatt
,
Bagus
,
Hindi Movie
,
Musical
,
Ranveer Singh
,
Reema Kagti
,
REVIEW
,
Siddhant Chaturvedi
,
Vijay Raaz
,
Zoya Akhtar
3 komentar
Suguhan seperti Gully Boy merupakan alasan mengapa saya
bersemangat menantikan film Bollywood tiap minggu meski harga tiketnya lebih
tinggi. Para sineasnya piawai mewakili suara kaum yang ditekan. Bukan saja
memotret kesulitan hidup, pula menyediakan suaka di mana rakyat kecil,
minoritas, maupun korban represi punya kesempatan berjuang, sementara mereka
yang lebih beruntung coba dibangkitkan nuraninya demi menumbuhkan kepedulian
berasaskan kemanusiaan.
Film ini dibuat berdasarkan kisah
hidup Naezy dan Divine, dua figur penting dalam pergerakan skena hip-hop
Mumbai. Kemiskinan dan ketidakadilan di sekitar jadi sumber inspirasi karya
mereka. Dalam menuturkan itu, sutradara Zoya Akhtar (Bombay Talkies, Dil Dhadakne Do) yang turut menulis naskahnya
bersama Reema Kagti (Dil Dhadakne Do,
Gold), kentara memahami substansi kultur hip-hop sebagai bentuk perlawanan
terhdap kungkungan sosial-masyarakat.
Murad (Ranveer Singh) adalah pria
muslim yang tinggal di perkampungan kumuh. Sang ayah (Vijay Raaz)—yang menikah
lagi lalu membawa istri keduanya ke rumah—selalu menyuruh Murad “menundukkan
kepala”, menyadari takdirnya sebagai rakyat kecil yang tak pantas bermimpi
besar. Murad pun hanya bisa diam menurut. Bait-bait rima tulisannya jadi satu-satunya
tempat di mana Murad bebas menyuarakan isi hati. Dia jatuh cinta pada musik
rap.
Murad menjalin asmara dengan
Safeena (Alia Bhatt), gadis dari keluarga mampu yang bercita-cita menjadi ahli
bedah, meski ibunya beranggapan bahwa wanita tak memerlukan pendidikan tinggi.
Keduanya terpaksa selalu diam-diam bertemu di bus, sebab mayoritas orang di
sekeliling mereka, termasuk orang tua Safeena, adalah muslim konservatif yang
menganggap pacaran sebagai tindakan tak bermoral.
Murad dan Safeena muncul bersama di
layar untuk pertama kali lewat salah satu momen romansa non-verbal termanis
yang pernah saya saksikan. Saya takkan menjabarkan detail situasinya, kecuali
bahwa still photo adegan tersebut digunakan
sebagai materi poster filmnya. Hanya melalui satu adegan itu, saya langsung
terpikat pada pasangan ini. Terlebih, Ranveer Singh dan Alia Bhatt mampu
memproduksi chemistry sempurna, di
mana sang aktris menampilkan akting berapi-api sebagai “gadis senggol bacok”
yang tak segan melakukan tindak kekerasan terhadap wanita yang ingin “mencuri”
sang kekasih.
Peluang Murad memasuki skena rap
tiba setelah bertemu MC Cher (Siddhant Chaturvedi) di sebuah pertemuan
komunitas rap bawah tanah. Walau masih hijau dan perlu banyak belajar lagi
perihal permainan beat, Sher mengakui
baka Murad dalam menulis bait yang meskipun indah, begitu tajam pula jujur
menangkap realita kalangan bawah.
Ada begitu banyak hal coba
dipaparkan Gully Boy selama durasinya
yang menyentuh 153 menit. Tidak ada semenitpun terbuang sia-sia dalam penuturan
bertele-tele, tapi harus diakui, terlampau banyak permasalahan dipadatkan
secara paksa. Menyatukan pengalaman nyata dua sosok manusia, Gully Boy bagai berhasrat mengumpulkan
sebanyak mungkin cerita tentang para pencari kebebasan. Mulai dari pergulatan
Murad guna membuktikan kemampuannya meraih mimpi, keresahan perihal jomplangnya
kesejahteraan masyarakat, kemiskinan yang mendorong kriminalitas, kekolotan
pola pikir termasuk mengenai cara publik memandang wanita, dan seterusnya.
Setiap isu memancing subplot baru,
yang sesekali melelahkan diikuti dan berisiko merusak momentum. Beruntung,
deretan problematikanya relatable,
sehingga mudah memancing dukungan bagi tokoh-tokohnya. Kita ikut merasa
terpuruk ketika mereka dijatuhkan, dan akhirnya, ketika mereka bangkit,
melawan, kemudian berjaya, kita bakal bersorak layaknya merayakan kemenangan
besar.
Penyutradaraan Zoya Akhtar cukup
dinamis untuk mengikuti atmosfer yang dihasilkan jajaran lagu rap (beberapa
dibuat sekaligus dibawakan oleh Naezy dan Divine) yang setidaknya akan membuat
anda tergoda menggoyangkan kepala, terserap ke dalam hentakan adiktif juga
permainan kata yang acap kali menggelitik. Sewaktu karakternya beradu rap,
beberapa kalimat cacian ampuh memancing senyum, tawa, atau bahkan—seperti
sekelompok penonton yang duduk di depan saya—teriakan selaku ungkapan kekaguman
atas “serangan brutal” tiap rapper.
Ranveer menciptakan protagonis likeable dalam transformasi perlahan
Murad dari pria tertekan yang memilih diam menjadi sosok tangguh yang bersedia
berdiri untuk melawan. Semua dipicu proses bermusiknya. Dan di atas panggung,
Ranveer meyakinkan kala menjadi pemimpin kharismatik yang mengomandoi ratusan
penonton untuk bernyanyi bersama, menyatukan teriakan perlawanan yang lama
terpendam hingga menyesakkan dada.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
3 komentar :
Comment Page:Ranver sigh asli ngerap disini. flow asik tdak kalah ma repper. pas alia bhatt marah2 jdi teringat Chelsea islan
Film-film india udh semakin bagus aja ya kayak padman, dangal, secret superstar dll saya suka ceritanya sederhana tp eksekusinya bagus. Belom sempet nonton yg ini, tp pasti masuk list buat ditonton setelah baca review bang rasyid. Btw saya pembaca setia blog ini jd sblm nonton pasti baca reviewnya disini hehehe sukses selalu untuk movfreak!
Bener. Pengemasannya ringan, tapi nggak kehilangan kekuatan pesan yang mau disampaikan.
Amin, thanks! 😁
Posting Komentar