LAUNDRY SHOW (2019)
Rasyidharry
Februari 09, 2019
Boy William
,
Comedy
,
Drama
,
Gisella Anastasia
,
Hifdzi Khoir
,
Lumayan
,
REVIEW
,
Rizki Balki
,
Tissa Biani Azzahra
,
Uki Lukas
,
Upi
,
Willy Dozan
4 komentar
Laundry Show mungkin bukan tontonan yang sangat ampuh menyetir emosi,
tapi naskah buatan Upi (My Stupid Boss,
Sweet 20, Asal Kau Bahagia) bersama Uki Lukas yang juga bertindak selaku
penulis novel berjudul sama yang dijadikan sumber adaptasi, terbukti cukup baik
dalam upaya membuat penonton memahami seluruh problematika karakternya, sambil
secara rapi mengeksplorasi sekaligus menyatukan sejumlah elemen cerita yang tak
bisa dibilang sedikit.
Pada dasarnya, Laundry Show adalah cerita tentang Uki (Boy William), seorang pemuda
yang lelah menjadi bawahan, kemudian memilih keluar dari pekerjaannya demi membuka
usaha laundry. Tapi ini pun sebuah drama keluarga. Uki memilih laundry sebagai
bisnis karena kenangan masa kecil ketika ia hidup miskin bersama sang ibu yang
setiap hari mencuci seragam sekolahnya. Sosok ibu memang bisa menghilangkan
semua jenis noda, baik yang mengotori baju maupun batin.
Berkat memori itu pula, Uki begitu
ahli mencuci segala jenis kotoran. Tapi rupanya membersihkan hidup supaya
tampak cemerlang tidak segampang pakaian. Itu terjadi meski Uki telah menyiapkan
rencana detail bagi bisnisnya, yang dirangkum lewat satu sekuen berisi
penjabaran mekanisme cara kerja laundry Halilintar miliknya. Sekuen tersebut membuktikan kesungguhan
naskahnya untuk bertutur secara sistematis ketimbang menempuh jalur instan. Dan
bukankah kesuksesan wirausaha pun urung didapat secara instan?
Pernah dibuat kesal oleh bos
sewaktu bekerja kantoran, Uki mulai menyadari bahwa bos bukanlah posisi ringan.
Mengontrol dan memerintah karyawan dengan semua tingkah polah mereka, lebih
sulit ketimbang dikontrol dan diperintah. Laundry
Show tak ubahnya proses Uki mempelajari kalau apa pun pekerjaan dan
posisinya, masalah akan setia mengikuti. Tidak ada rute semudah kata-kata
mutiara dari motivator Aryo Keukueh (Hifdzi Khoir) yang selama ini Uki jadikan
panutan.
Jalan terjal Uki digambarkan melalui
pendekatan komedik tanpa perlu melemahkan inti pesan, bahwa seringkali, pangkal
permasalahan memang terletak di bawahan. Laundry
Show juga sempat menyindir pencari kerja “bermental tempe”, yang
mengingatkan kita, jika salah satu penyebab utama mengapa pengangguran masih
banyak bertebaran adalah diri mereka sendiri, bukan perusahaan maupun
pemerintah.
Humornya mungkin belum mencapai
titik yang sanggup membuat sakit perut karena tawa lepas bertubi-tubi, tapi
jajaran pemainnya piawai menciptakan atmosfer menyenangkan melalui barisan
tokoh multikultural. Khususnya Tissa Biani sebagai resepsionis judes dengan
cara bicara jenaka, yang keunikannya mengingatkan pada perannya di sinetron Tukang Ojek Pengkolan. Semoga Tissa mendapat
banyak peran komedik lagi di proyek layar lebarnya. This girl has talent. Sementara itu, persepsi saya kepada Boy
William akhirnya berubah, tatkala sang aktor berkenan menjauh dari tipikal
karakter peranannya, yakni sosok pria tampan kharismatik yang seringkali (sok)
asyik. Uki merupakan orang biasa dengan masalah serta perasaan yang terasa begitu
dekat, dan penampilan Boy membuat kedekatan itu semakin nyata.
Masalah paling kompleks bagi Uki
tiba ketika Agustina (Gisella Anastasia) membuka laundry tepat di seberang,
yang bersenjatakan mesin cuci canggih dari luar negeri, karyawan yang jauh
lebih cantik dan tampan, pula atmosfer ceria yang membuat pengunjung bahagia. Bahkan
sempat muncul adegan musikal sebagai penggambaran pelayanan kelas satu yang
diberikan laundry milik Agustina. Sewaktu banyak momen musikal film Indonesia
berujung canggung, tidak demikian di sini berkat pengarahan tepat sutradara Rizki
Balki (Ananta, A: Aku, Benci, dan Cinta).
Konflik Uki-Agustina (ingat, bukan
Okie Agustina) menghasilkan battle of
sexes, yang sekali lagi menunjukkan kapasitas naskahnya membangun pondasi
solid. Kedua belah pihak menyimpan alasan kuat untuk memenangkan “perlombaan”.
Uki sudah mengorbankan semua hartanya, sedangkan Agustina berusaha membuktikan
diri pada sang ayah (Willy Dozan) yang menentang keputusannya berbisnis
laundry. Alhasil, walau isu gendernya tak terlalu menyengat dan elemen
romansanya kurang piawai mencuri hati, tensi di antara mereka mudah dipahami
sehingga konfliknya berjalan mulus.
Keluhan terbesar saya bagi Laundry Show adalah presentasi yang
kurang seimbang, di mana profesi bawahan seolah digambarkan sebagai suatu
pilihan hidup yang amat rendah. Tapi selain itu, Laundry Show merupakan sajian menyenangkan bersenjatakan penulisan
solid yang memperbesar keyakinan saya terhadap para penulis naskah baru negeri
ini.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
4 komentar :
Comment Page:Mas rasyid,
Hari ini nuntun Satu Suro yang mengecewakan dan Laundry Show (LS) yang menurut gw bagus sih, hehehehehe..
LS sy bilang bagus karena ada lucu nya, ada mewek'nya, drama'nya juga nggk drama versi ABG FTV, wkwkwkkwk..
Boy William beneran pas peran'in "Koko"..
Pointnya, film ini bener² menginspirasi buat saya, kemungkinan besar akhir bulan ini saya resign dari kantor dan akan jadi bosss.. semoga bisa kaya raya dan hidup bahagia, hahahhaha..
Beneran, ini filmnya bagus.. tp sayangnya penontonnya dikit..
Oia Bang Rasyid,
Seharusnya LS tayang buat film lebaran yak? Nuansa puasa dan lebaran'nya dapet sih.. seharusnya "pas" bila tayang pas lebaran 2019..
Amin. Good luck! Semoga karyawannya nggak segebleg punya uki haha
Kayaknya sih emang bukan diniatin lebaran/puasa. Itu murni buat kasih lihat elemen multikultural aja.
Posting Komentar