NOTEBOOK (2019)

2 komentar
“Sekolah harus menjangkau muridnya”. Itulah alasan ayah Kabir (Zaheer Iqbal) membangun sekolah apung di tengah danau di Kashmir, supaya anak-anak di area terisolasi tetap berkesempatan mengenyam pendidikan. Selepas kredit bergulir di akhir, saya hanya bisa menyesalkan mengapa prinsip tersebut urung dipertahankan sebagai jantung Notebook, yang tak pernah mengeksplorasi sisi pendidikannya secara layak.

Film garapan Nitin Kakkar (Filmistaan, Mitron) ini merupakan remake resmi dari drama-romansa Teacher’s Diary, yang menjadi perwakilan Thailand di ajang Oscar tahun 2015. Sebagai remake, tentu perubahan tak bisa ditahan, termasuk beberapa penyesuaian terkait kultur. Pun sejak momen pertamanya, tatkala seorang bocah tewas akibat ledakan ranjau, Notebook telah menegaskan perbedaannya. Film ini tak “sepolos” pendahulunya.

Adegan pembuka itu bertujuan memberi latar belakang bagi Kabir, yang setelah keluar dari militer, memutuskan mengajar di sekolah apung sang ayah yang kini dikelola pemerintah. Posisi guru di sana kosong pasca kepergian Firdaus (Pranutan Bahl). Setibanya di sekolah, Kabir menemukan buku catatan milik Firdaus, yang berujung memotivasinya, sebab tanpa pengalaman mengajar, ia seringkali kerepotan. Bukan itu saja, Kabir pun mulai mencintai Firdaus.

Teacher’s Diary mencuri hati penonton berkat keluguan kisah cinta mengenai terpikat pada seseorang yang tak pernah kita temui. Terdengar terlampau romantis untuk jadi kenyataan, namun itulah mengapa premisnya berhasil. Secara berlawaan, keputusan memakai Kashmir sebagai latar, menggiring Notebook menuju area lebih serius, mengingat terdapat beragam isu pelik di sana, seperti represi hingga tumbuhnya kelompok teroris ekstrimis. Notebook gagal membuat romansanya sesuai dengan penyesuaian kulturnya.

Begitu pula soal penokohan Kabir. Dia terjebak rasa bersalah, yang kelak mendorongnya menolong para murid sekolah apung sebagai usaha menebus dosa. Bukan saja elemen itu kurang mendapat eksplorasi karena sebatas dipresentasikan lewat flashback di antara flashback, menjadikan Kabir sosok (lebih) serius dengan masa lalu kelam membuat beberapa situasi menggelitik yang dicomot dari film aslinya terasa janggal.

Contohnya, dalam Teacher’s Diary, merupakan kelucuan yang wajar sewaktu sang guru bersikap konyol menyikapi menyusupnya seekor ular ke dalam kelas. Sementara dalam Notebook, pemandangan itu justru mengganggu, mengingat Kabir adalah mantan militer, ditambah cara Zaheer Iqbal menangani karakternya. Itu pula alasan romansanya tidak bekerja dengan baik.

Terdapat risiko tinggi pada premisnya, karena penonton mesti terpikat oleh romansa dua manusia yang tak pernah bersama di layar sebelum babak terakhir (atau adegan terakhir di Teacher’s Diary). Tapi, saat si protagonis pria tak memancing impresi yang impresif, mencuri hati penonton pun makin berat. Ditambah lagi, naskah buatan Shabbir Hashmi terburu-buru memaparkan proses Kabir membaca tulisan Firdaus. Dia telah jatuh cinta sebelum penonton sempat menyelami pengalaman-pengalaman yang Firdaus tuangkan.

Firdaus sendiri terjebak berbagai hal seputar pengekangan atas kebebasan. Dia dianggap sebagai guru tercela akibat tato bintang di tangan serta cara mengajar inkonvensional. Belum lagi kegemaran sang kekasih (Muazzam Bhat) mengatur hidupnya. Penonton diharapkan mendukung kemerdekaan Firdaus, tapi porsi minim yang diberikan menghalangi itu. Pun kembali, masalah timbul akibat modifikasi yang Notebook lakukan. Kali ini seputar penemuan mayat di bawah jamban sekolah, di mana bukan Firdaus yang mengangkatnya dari air. Terdengar remeh, tapi efeknya besar, sebab momen ini berperan penting menggambarkan pertumbuhan karakternya.

Di pertengahan, kita bertemu Imran, murid tercerdas yang berhenti sekolah akibat larangan ayahnya. Latar Kashmir memfasilitasi filmnya membahas terorisme dalam konflik tersebut, guna menyuarakan pesan anti-peperangan dan anti-kekerasan. Bukan masalah, malah bisa menambah bobot narasi sekaligus memperkuat aspek identitas budaya. Masalahnya, hal di atas justru menjauhkan konklusi Notebook dari tuturan tentang edukasi dan kegiatan mengajar. Ya, terdapat pertentangan mengenai “Perlukah Imran bersekolah?”, namun paparannya tenggelam oleh isu-isu tadi.

Apalagi, sepanjang durasi kita tak banyak menyaksikan aktivitas kelas berisi teknik mengajar unik selaku kritik untuk metode konvensional (Teacher’s Diary mempunyai “adegan kereta api”). Bukan soal bila filmnya memang tak berniat menyentuh problematika itu, namun faktannya tidak demikian, sehingga terciptalah penceritaan setengah matang.

Saya sadar banyak membandingkan Notebook dengan film aslinya. Bukankah remake berhak dipandang sebagai karya yang berdiri sendiri? Benar, tapi secara bersamaan, wajib pula mewarisi semangat pendahulunya. Notebook gagal mempertahankan semangat Teacher’s Diary, walau bagi mereka yang belum menonton versi Thailand tersebut, mungkin takkan banyak terganggu. Setidaknya deretan humornya cukup efektif memancing tawa, sementara alam Kashmir terhampar indah berkat penataan kamera Manoj Kumar Khatoi (Budhia Singh: Born to Run, Mitron).

2 komentar :

Comment Page:
Lucass mengatakan...

Bang ternyata five feet part ga sekedar porn disease kbanyakan yg abang kira, ekspektasi rendah tapi pas nonton enjoy aja ga sampe annoy gitu ke lift up mgkin sama dua pemain utama nya yg bagus pas cek tomatoes rating juga lumayan, lebi bagus dri ini kaya nya

Rasyidharry mengatakan...

Baca judulnya yang ngeganti "six feet" jadi "five feet" aja udah males 😂