AMBU (2019)
Rasyidharry
Mei 17, 2019
Andri Mashadi
,
Cukup
,
Drama
,
Endhita
,
Farid Dermawan
,
Indonesian Film
,
Laudya Cynthia Bella
,
Lutesha
,
REVIEW
,
Titien Wattimena
,
Widyawati Sophiaan
,
Yudi Datau
3 komentar
“Pergunakan air mata karaktermu
dengan bijak, atau dampaknya akan lenyap”. Ambu
rupanya tidak memegang prinsip tersebut. Begitu menyukai air mata, debut
penyutradaraan Farid Dermawan ini terus menumpahkannya, khususnya di pipi Fatma
(Laudya Cynthia Bella) yang matanya sembab hampir di segala situasi. Bukan itu
caranya merebut simpati penonton.
Fatma tidak hanya mesin air mata,
juga individu yang memanfaatkan penyakit kronis sebagai alasan bertindak
otoriter. Oh ya, dia sakit. Apalagi kalau bukan kanker. Tapi dia menolak
memberi tahu siapa pun, termasuk puterinya, Nona (Lutesha) mengenai vonis
dokter bahwa usianya takkan lama. Mengapa? Entah, filmnya urung menjabarkan secara
gamblang. Saya berasumsi, Fatma khawatir Nona bakal menolak rencananya. Sebuah rencana
yang bakal mengubah arah hidup Nona, namun sang pemilik hidup tak pernah ia ajak
berbagi opini.
Nona sendiri membenci sang ibu,
lalu menjadikan clubbing tiap malam
sebagai pelarian. Apa alasan kebencian Nona? Sederhana. Orang tuanya bercerai,
dan naskah karya Titien Wattimena (Salawaku,
Aruna & Lidahnya, Dilan 1991) mengikuti stigma bahwa sikap anak korban
perceraian selalu begitu.
Rencana Fatma adalah menjual
seluruh harta bendanya, kemudian membawa Nona ke Baduy untuk tinggal bersama
neneknya, Ambu Misnah (Widyawati). Sudah 16 tahun Fatma tak berjumpa Ambu, dan
melihat keengganan sang ibu menerima kepulangannya dengan tangan terbuka, bisa
ditebak keduanya berpisah akibat konflik besar. Meski dihadapkan pada sikap
ketus Ambu, Fatma tetap kukuh menyimpan rahasia. Padahal kejujurannya bisa
meredam beberapa konflik, sekaligus memberi lebih banyak quality time sebagai keluarga. Apalagi, akhirnya perubahan sikap
Ambu terjadi pasca ia mengetahui penyakit Fatma.
Seperti kita tahu, Baduy amat
menghormati alam. Mereka menolak pemakaian listrik atau berbagai bentuk
teknologi modern lain karena enggan merusak alam. Berpijak pada kepercayaan
itu, Ambu turut menghadirkan cerita
tentang proses Nona—si bocah metropolitan dengan segala pernak-pernik artificial—menemukan, kemudian mencintai
alam (disimbolkan lampu kunang-kunang miliknya).
Cerita di atas sejatinya bermakna,
mengingat pentingnya manusia untuk menghargai alam. Tapi egoisme (terselubung)
Fatma turut diperkuat olehnya. Mendorong orang kota tiba-tiba harus hidup tanpa
teknologi di daerah pelosok sama buruknya dengan memaksakan modernisasi kepada
rakyat Baduy. Penekanannya ada di kata “tiba-tiba”. Elemen problematik bukan
pada adaptasi yang mesti Nona jalani, melainkan fakta bahwa Fatma, tanpa alasan
jelas, menolak mendiskusikannya dahulu.
Saya sungguh menyukai penggambaran
Baduy dalam Ambu. Kita diajak
mempelajari berbagai kultur, sembari menikmati nuansa damai serta keindahan
alam di sana, yang ditangkap sempurna oleh sinematografi garapan Yudi Datau (Arisan!, Supernova, Critical Eleven),
yang cerdik bermain warna dan cahaya. Terik cahaya matahari kekuningan memancar
di sela-sela tembok bambu, sementara langit malam terbentanng dengan warna
kebiruan. Walaupun lemah di departemen naskah, aspek teknis Ambu tidak main-main.
Pun walau banyaknya tumpahan air
mata menandakan minimnya kesubtilan, sutradara Farid Dermawan masih meluangkan
beberapa momen guna memakai penceritaan visual demi menyalurkan emosi. Favorit
saya adalah tatkala kamera ditempatkan di atas, memperlihatkan ketiga generasi
wanita tengah meresapi emosi masing-masing dalam tiga ruang terpisah di rumah
Ambu. Shot tersebut memberi sentuhan
apik perihal pemanfaatan dekorasi latar.
Selain kisah soal dua hubungan
ibu-anak, Ambu mempunyai subplot
romansa yang terjalin antara Nona dengan pria lokal bernama Jaya (Andri
Mashadi), yang setia menemani hari-hari penuh kepenatan di Baduy. Tidak
dipaparkan secara luar biasa, namun suasana manis nan ringan miliknya, cukup
menambahkan warna pada tearjerker
satu ini. Tapi penyelamat terbesar berasal dari penampilan Widyawati sebagai ibu
tangguh berhati kokoh yang enggan dikalahkan melankoli.
Saat akhirnya tangis Ambu tumpah,
hati saya pun bergetar. Ini yang saya maksud dalam kalimat pembuka di atas. Air
mata Ambu memberi dampak hebat justru karena jarang ditampilkan. Hal sama
berlaku untuk Hapsa (kembalinya Endhita setelah tujuh tahun), sahabat lama
Fatma yang selalu ceria. Dan tengok bagaimana Widyawati menangani momen
tersebut. Berbeda dengan Fatma, tangis Ambu tak memancarkan kelemahan,
melainkan luapan perasaan campur aduk seorang ibu (termasuk cinta luar biasa
besar kepada puterinya) yang tertahan selama belasan tahun. Sang aktris senior
baru saja menyelamatkan filmnya.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
3 komentar :
Comment Page:Bercerita tentang girl power ga sih bang?
Niatnya gitu, tapi hancur semua karena air mata.
Widyawati played so good in here, and yet she did not got any nominees at all at the FFI. What a laugh !
Posting Komentar