DILARANG MENYANYI DI KAMAR MANDI (2019)
Rasyidharry
Juli 19, 2019
Comedy
,
David Johnnn Schaap
,
Elvira Devinamira
,
Indonesian Film
,
Jelek
,
John De Rantau
,
Mathias Muchus
,
REVIEW
,
Seno Gumira Ajidarma
,
Yayu AW Unru
8 komentar
Kritis. Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi memang film kritis, tapi bukan
kritis terkait pemikiran tajam, melainkan kualitas yang mendekati titik nadir.
Mengadaptasi cerpen berjudul sama karya Seno Gumira Ajidarma (Pendekar Tongkat Emas, Wiro Sableng:
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212) yang turut menulis naskahnya bersama sang
sutradara John De Rantau (Denias
Senandung di atas Awan, Wage), film ini tersesat dalam prosesnya mengulur
cerita pendek menjadi tontonan berdurasi 96 menit.
Kisahnya mengetengahkan kehebohan
yang melanda kampung di pinggiran Jakarta akibat kehadiran mahasiswi S2 cantik
bernama Sophie (Elvira Devinamira). Kehebohan itu dikarenakan tiap kali Sophie
mandi, pria-pria sekampung berkumpul, bahkan membayar tiket masuk guna
mendengarnya membuka resleting, mengguyur dan menyabuni tubuh, dan—yang paling
ditunggu—menyanyikan Jaran Goyang dengan
suara serak-serak basah miliknya.
Suaranya begitu menghipnotis,
pria-pria itu bahkan mencapai orgasme karena membayangkan bersetubuh dengan
Sophie kala mendengar nyanyiannya. Tapi tidak seperti cerpennya, ada dua pria
yang tak cuma mendengar, pula mengintip. Salah satunya adalah Yayu (Yayu AW
Unru), karakter yang keberadaannya bak usaha menjustifikasi poligami. Meski
hanya lewat lubang kecil, fakta bahwa keduanya bisa melihat tubuh Sophie,
praktis melemahkan unsur soal keliaran imajinasi.
Saya suka cerpen Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi.
Dipublikasikan pada tahun 1995, pesannya masih relevan sampai sekarang,
khususnya kritik terhadap prasangka yang menggiring masyarakat menuju paranoia
dan fitnah. Tersimpan pula sentilan soal definisi kebenaran, di mana disebutkan
jika suatu hal dianggap “benar” apabila dianut oleh mayoritas.
Sayang, sindiran-sindiran tajam di
atas terkubur di balik kebingungan para pembuatnya mengembangkan cerpen yang
(tentunya) singkat nan padat. Hasilnya adalah tuturan berfokus lemah sekaligus
repetitif. Terdapat dua situasi yang dipaparkan lagi dan lagi, dengan tiap
pemaparan yang berlangsung terlampau lama. Pertama, pertengkaran rumah tangga
akibat para suami kehilangan hasrat seksual. Kedua, protes para istri kepada
Pak RT (Mathias Muchus). Mereka meminta Sophie segera diusir.
Setidaknya saya bisa merasakan
sedikit angin segar melalui iringan lagu-lagu The Upstairst serta penampilan
Mathias Muchus. Walau belum sampai mengentaskan filmnya dari keburukan, dua
elemen itu punya daya hibur. Terkait The Upstairs, mungkin saya memang sudah
rindu mendengar lagu-lagu macam Terekam (Tak Pernah Mati) atau Disko Darurat. Sementara Mathias Muchus
mampu sesekali mengembalikan film ini ke hakikatnya, yakni memancing tawa
penonton.
Satu metode lain yang dipakai untuk
mengisi durasi adalah memberi story arc
kepada Sophie. Dia memiliki love interest
bernama Senja (David John Schaap), seorang penulis muda yang ditemuinya di
bus. Alkisah, Sophie kecopetan. Beruntung, berkat kebodohan luar biasa si
pencopet yang kabur sebelum orang-orang menyadari aksinya, Senja mampu
melakukan pengejaran.
Peristiwa itulah awal dari deretan
adegan canggung yang melibatkan Sophie dan Senja, sebutlah perkelahian Senja
melawan pencopet yang menyelipkan aksi akrobatik tak perlu, obrolan berisi
kalimat-kalimat yang menunjukkan usaha putus asa para penulis naskah agar
pembicaraan terdengar bermakna namun berujung kegagalan menyulut romantisme maupun
memprovokasi pemikiran, sampai (SPOILER)
pertengkaran saat Sophie mengetahui kalau Senja diam-diam menulis novel tentang
dirinya. Sophie menemukan manuskrip itu di kamar, tapi supaya lebih dramatis,
ia membuangnya di jalanan.
Kemudian tibalah kita di konklusi,
yang juga elemen paling problematik filmnya. Bukan saja melewatkan satu kalimat
penting yang menutup cerpennya dalam lingkaran imajinasi tak berujung (clue: Alasan kenapa para suami masih
gagal move on biarpun Sophie sudah
pergi), konflik pun ditutup denga kesan bahwa memang nyanyian Sophie-lah
penyebab semua kekacauan alih-alih sepenuhnya kesalahan imajinasi mesum para
suami (dan prasangka para istri).
Apakah Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi tampil beda? Ya. Keputusan John De
Rantau menerapkan beberapa pendekatan khas pertunjukan teater (situasi pemecah
batasan realis dan surealis, gestur plus ekspresi besar pemain, tokoh dari
beragam suku dengan beraneka ciri) harus diakui memang jarang ditemui di
film-film kita belakangan. Tapi, apakah Wahana Rumah Hantu, Comic Kong X Kong, atau Arwah Noni Belanda tampil beda? Apakah judul-judul tersebut
menampilkan sesuatu yang jarang ditemui? Apakah kualitasnya bagus? Silahkan direnungkan.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
8 komentar :
Comment Page:Kira-kira Koboi Kampus worthed ga bang ditonton?
wah padahal mau q tonton, kelihatan beda aja dr trailernya. eh ternyata...
Let's see. Lihat track record sutradara & trailernya sih patut was-was
Ya kalau "beda" emang bener sih....
Mas Rasyid,
Ini debut film layar lebar Elvira kan?
Apakah Elvira bisa menjadi artis menjanjikan masa depan?
Seperti halnya Jessica Mila di awal² debut layar lebar kebagian film² dibawah standard..
Anyway, saia sudah merenungkan kembali film Wahana Rumah Hantu..
Aslee, ntu film terburuk seumur hidup versi diriku.. ahahahahha..
Belum bisa ngomong sih, karena di sini beneran cuma suruh mandi dan kelihatan cantik aja.
Nganu, kenapa senekat itu nonton Wahana Rumah Hantu? 😂
Weh kulo ngakak mas baca balesan sampeyan kali ini, pake kata "nganu", ahahahhaha..
#ngakak_anjeeer
Posting Komentar