Tampilkan postingan dengan label John De Rantau. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label John De Rantau. Tampilkan semua postingan

DILARANG MENYANYI DI KAMAR MANDI (2019)

Kritis. Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi memang film kritis, tapi bukan kritis terkait pemikiran tajam, melainkan kualitas yang mendekati titik nadir. Mengadaptasi cerpen berjudul sama karya Seno Gumira Ajidarma (Pendekar Tongkat Emas, Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212) yang turut menulis naskahnya bersama sang sutradara John De Rantau (Denias Senandung di atas Awan, Wage), film ini tersesat dalam prosesnya mengulur cerita pendek menjadi tontonan berdurasi 96 menit.

Kisahnya mengetengahkan kehebohan yang melanda kampung di pinggiran Jakarta akibat kehadiran mahasiswi S2 cantik bernama Sophie (Elvira Devinamira). Kehebohan itu dikarenakan tiap kali Sophie mandi, pria-pria sekampung berkumpul, bahkan membayar tiket masuk guna mendengarnya membuka resleting, mengguyur dan menyabuni tubuh, dan—yang paling ditunggu—menyanyikan Jaran Goyang dengan suara serak-serak basah miliknya.

Suaranya begitu menghipnotis, pria-pria itu bahkan mencapai orgasme karena membayangkan bersetubuh dengan Sophie kala mendengar nyanyiannya. Tapi tidak seperti cerpennya, ada dua pria yang tak cuma mendengar, pula mengintip. Salah satunya adalah Yayu (Yayu AW Unru), karakter yang keberadaannya bak usaha menjustifikasi poligami. Meski hanya lewat lubang kecil, fakta bahwa keduanya bisa melihat tubuh Sophie, praktis melemahkan unsur soal keliaran imajinasi.

Saya suka cerpen Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi. Dipublikasikan pada tahun 1995, pesannya masih relevan sampai sekarang, khususnya kritik terhadap prasangka yang menggiring masyarakat menuju paranoia dan fitnah. Tersimpan pula sentilan soal definisi kebenaran, di mana disebutkan jika suatu hal dianggap “benar” apabila dianut oleh mayoritas.

Sayang, sindiran-sindiran tajam di atas terkubur di balik kebingungan para pembuatnya mengembangkan cerpen yang (tentunya) singkat nan padat. Hasilnya adalah tuturan berfokus lemah sekaligus repetitif. Terdapat dua situasi yang dipaparkan lagi dan lagi, dengan tiap pemaparan yang berlangsung terlampau lama. Pertama, pertengkaran rumah tangga akibat para suami kehilangan hasrat seksual. Kedua, protes para istri kepada Pak RT (Mathias Muchus). Mereka meminta Sophie segera diusir.

Setidaknya saya bisa merasakan sedikit angin segar melalui iringan lagu-lagu The Upstairst serta penampilan Mathias Muchus. Walau belum sampai mengentaskan filmnya dari keburukan, dua elemen itu punya daya hibur. Terkait The Upstairs, mungkin saya memang sudah rindu mendengar lagu-lagu macam Terekam (Tak Pernah Mati) atau Disko Darurat. Sementara Mathias Muchus mampu sesekali mengembalikan film ini ke hakikatnya, yakni memancing tawa penonton.

Satu metode lain yang dipakai untuk mengisi durasi adalah memberi story arc kepada Sophie. Dia memiliki love interest bernama Senja (David John Schaap), seorang penulis muda yang ditemuinya di bus. Alkisah, Sophie kecopetan. Beruntung, berkat kebodohan luar biasa si pencopet yang kabur sebelum orang-orang menyadari aksinya, Senja mampu melakukan pengejaran.

Peristiwa itulah awal dari deretan adegan canggung yang melibatkan Sophie dan Senja, sebutlah perkelahian Senja melawan pencopet yang menyelipkan aksi akrobatik tak perlu, obrolan berisi kalimat-kalimat yang menunjukkan usaha putus asa para penulis naskah agar pembicaraan terdengar bermakna namun berujung kegagalan menyulut romantisme maupun memprovokasi pemikiran, sampai (SPOILER) pertengkaran saat Sophie mengetahui kalau Senja diam-diam menulis novel tentang dirinya. Sophie menemukan manuskrip itu di kamar, tapi supaya lebih dramatis, ia membuangnya di jalanan.

Kemudian tibalah kita di konklusi, yang juga elemen paling problematik filmnya. Bukan saja melewatkan satu kalimat penting yang menutup cerpennya dalam lingkaran imajinasi tak berujung (clue: Alasan kenapa para suami masih gagal move on biarpun Sophie sudah pergi), konflik pun ditutup denga kesan bahwa memang nyanyian Sophie-lah penyebab semua kekacauan alih-alih sepenuhnya kesalahan imajinasi mesum para suami (dan prasangka para istri).

Apakah Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi tampil beda? Ya. Keputusan John De Rantau menerapkan beberapa pendekatan khas pertunjukan teater (situasi pemecah batasan realis dan surealis, gestur plus ekspresi besar pemain, tokoh dari beragam suku dengan beraneka ciri) harus diakui memang jarang ditemui di film-film kita belakangan. Tapi, apakah Wahana Rumah Hantu, Comic Kong X Kong, atau Arwah Noni Belanda tampil beda? Apakah judul-judul tersebut menampilkan sesuatu yang jarang ditemui? Apakah kualitasnya bagus? Silahkan direnungkan.

WAGE (2017)

Wage menarik karena pernyataan John De Rantau (Denias, Senandung di Atas Awan, Obama Anak Menteng) bahwa karya penyutradaraan pertamanya setelah absen enam tahun ini bukan biopic, melainkan noir. Melihat hasilnya, menyebut film ini sebagai noir sama saja menyebut Pengabdi Setan komedi karena ada selipan humor. Penyertaan beberapa ciri suatu genre atau sub-genre tidak otomatis membuat sebuah film termasuk di dalamnya. Begitu pula Wage, yang hanya satu dari sekian banyak sajian biografi formulaik dilengkapi production value mumpuni dengan penceritaan berantakan.

Pasca menit awal berisi tulisan-tulisan panjang yang memenuhi layar dari kutipan petuah ketua organisasi Shiddiqiyyah, kredit lengkap, sampai narasi prolog, kita berkenalan dengan Wage kecil (Khoirul Ilyas Aryatama) yang ditindas oleh anak-anak Belanda. Sepeninggal ibunya, ia tinggal bersama sang kakak, Roekiyem (Putri Ayudya) dan suaminya, Van Eldick (Wouter Zweers), di Makassar. Saat itulah Wage belajar bermain biola. Wage dewasa (Rendra Bagus Pamungkas) pun menjadi musisi cafe yang diakui kehebatannya. Lalu seiring memanasnya perlawanan rakyat terhadap kolonialisme, ia tergerak ambil bagian, pindah ke Jawa, memulai perjuangan bersenjatakan musiknya.
Sesederhana itu jalinan alur Wage, tetapi naskah buatan Fredy Aryanto (Ketika Mas Gagah Pergi) bersama Gunawan BS, ditambah gaya bertutur John De Rantau menghadirkan kompleksitas tak perlu. Cerita melompat begitu liar nan kasar dari titik satu ke berikutnya. Tanpa transisi maupun penjelasan latar peristiwa juga karakter, Wage bagai rekoleksi memori acak yang telah buram, terkikis dimakan waktu. Bila kerumitan noir dipicu plot atau twist berlapis, Wage didorong ketiadaan struktur narasi solid. Kacaunya alur berujung melemahkan pengembangan karakter, menghalangi penonton terikat pada sosok Wage Rudolf Supratman. 

Minus hati, film ini bak buku sejarah. Bahkan lebih buruk, sebab buku sejarah paling tidak berisi pengetahuan. Sementara lompatan kisah Wage menyulitkan untuk mencerna rangkaian peristiwa guna menyerap informasi. Berjalan hampa, momen ketika Indonesia Raya berkumandang yang mestinya menggetarkan, berakhir numpang lewat. Berlangsung selama 120 menit tanpa rasa atau poin menarik, Wage jadi obat insomnia mujarab, produsen kantuk pemantik niatan walk out. Untung ada Rendra Bagus Pamungkas lewat kemiripan fisik dengan Supratman plus performa meyakinkan memainkan keteguhan sosok yang tak gentar meski pistol ditodongkan tepat ke kepalanya. Walau di sisi lain, talenta Putri Ayudya dan Prisia Nasution terbuang percuma.
Aspek terkuat Wage adalah production value penghasil visual memikat mata. Sinematografi Hani Pradigya menonjolkan kesan sinematik kuat, membungkus tata artistik bernuansa period yang tak kalah mumpuni. Beberapa kali Hani menerapkan pencahayaan rendah, yang di satu sisi menghasilkan kedalaman plus bobot bagi gambar, tapi di sisi lain memperlihatkan salah kaprah film ini terkait definisi noir makin akut. Noir memang identik dengan cahaya temaram, bayang-bayang, hingga asap rokok mengepul. Namun keberadaan unsur-unsur itu tidak seketika membuat filmnya bisa disebut noir. Generalisasi serupa terjadi pula dalam naskah, khususnya terkait poin plot serta penokohan.

Ciri khas lain noir yakni ambiguitas moral protagonis yang mengalami konflik batin. Wage sempat mabuk (sekali), meragukan perjuangan dan kapasitasnya, tapi itu belum menjadikannya pribadi yang bermasalah. Dia manusia biasa dengan segala kelemahan, bukan sosok problematik. Sebagai produk pasca Perang Dunia II, wajar apabila noir diselimuti tone kelam selaku luapan depresi masyarakatnya. Sebaliknya, Wage dikelilingi aura positif, harapan, perlawanan akan represi, hikayat kepahlawanan bertabur pesan moral. Selaku biopic, Wage pantas diapresiasi, namun dilihat sebagai noir layaknya keinginan John De Rantau, Wage merupakan kegagalan akibat tindakan pretensius.