THE LION KING (2019)
Rasyidharry
Juli 18, 2019
Adventure
,
Alfre Woodard
,
BeyoncΓ©
,
Billy Eichner
,
Caleb Deschanel
,
Chiwetel Ejiofor
,
Donald Glover
,
Hans Zimmer
,
James Earl Jones
,
Jeff Nathanson
,
John Oliver
,
Jon Favreau
,
Lumayan
,
Musical
,
REVIEW
,
Seth Rogen
25 komentar
The Lion King adalah korban pilihan artistik Disney yang bertujuan
memanfaatkan kesuksesan live action
remake mereka. Dibuat dalam format fotorealistik, Jon Favreu (Iron Man, The Jungle Book) beserta tim
sudah mengerahkan kemampuan terbaik, tapi biar bagaimanapun, pendekatan
realistis pada dasarnya memang kurang cocok membungkus kisah si raja rimba.
Mungkin anda sudah mendengar kritik
terhadap minimnya ekspresi wajah para hewan di sini. Tidak sepenuhnya benar,
sebab bila diperhatikan lebih teliti, di balik tampilan fisik mereka yang
digarap luar biasa detail hingga ke tekstur terkecil, dapat ditemukan gurat-gurat
wajah humanis meski tidak dalam bentuk ekspresi besar, yang mana cocok bagi
karakter macam Sarabi (Alfre Woodard), tapi tidak untuk Mufasa (James Earl
Jones), Scar (Chiwetel Ejiofor), apalagi Zazu
(John Oliver).
Bayangkan tengah menonton animasi
aslinya, diisi plot serta adegan serupa, hanya saja pengemasannya menekankan
realisme. Artinya, kita takkan melihat Scar menelan Zazu, atau sekuen musikal I Just Can’t Wait to Be King yang
komikal nan berwarna. Patut disayangkan, namun gantinya, keagungan alam bisa
dirasakan, sebagaimana di adegan pembuka saat hewan-hewan penghuni Pride Lands
menyambut kelahiran Simba (Donald Glover menyuarakan Simba dewasa, JD McCrary meyuarakan Simba kecil). Rafiki
(John Kani) mengangkat si bayi singa, sementara awan memberi jalan bagi
semburat cahaya matahari yang menimbulkan kesan surgawi.
Desain Simba kecil bakal membuat
teriakan “Oooh” dan ”Aaaw” sering keluar dari mulut penonton, tapi ketika
kelucuan Simba berhasil mencuri hati, tidak demikian soal hubungannya dan sang
ayah. Mufasa merupakan sosok pemimpin berwibawa, sehingga menciptakan
ekspresinya pun jadi pekerjaan rumit. Walau James Earl Jones tanpa cela, sang
raja bak tanpa nyawa akibat wajah yang kurang menyatu dengan suara.
Berikutnya, anda tahu apa yang akan
terjadi. Berniat membuktikan kepantasan dan keberaniannya selaku calon raja,
Simba mengajak Nala (BeyoncΓ© Knowles-Carter menyuarakan Nala dewasa, Shahadi
Wright Joseph menjadi Nala kecil) daerah terlarang berupa kuburan gajah, yang
rupanya menjadi sarang hyena. Itulah awal tragedi kala Scar, yang sejak lama
berambisi bertahta, membunuh Mufasa yang juga kakaknya, lalu menimpakan
kesalahan kepada Simba. Ketakutan, ia menuruti perintah pamannya agar pergi
dari Pride Lands.
Momen ikonik tatkala Scar mendorong
Mufasa dari tebing gagal dibuat ulang secara apik, kali ini bukan saja akibat
kurangnya ekspresi para singa, pula suara Chiwetel Ejiofor yang tanpa aura
kekejaman. Padahal, di adegan-adegan lain, Ejiofor mampu melakoni perannya dengan
baik. Beruntung, begitu saya mulai bersiap sepenuhnya dikecewakan, paruh
keduanya muncul sebagai penyelamat. Pertama, tentu berkat duo Timon-Pumbaa
(Billy Eichner-Seth Rogen). Keduanya adalah mesin penghasil tawa yang seketika
menjauhkan filmnya dari awan kelam miskin warna bernama “realisme”.
Pun di paruh ini, elemen musik
serta visualnya semakin memikat. Mengkreasi ulang karya buatannya, Hans Zimmer dibantu African
choir yang kembali dikomandani oleh Lebo M., melahirkan scoring yang mampu menggerakkan perasaan
(King of Pride Rock berulang kali
membuat saya bergetar), mengiringi visual revolusioner yang bukan saja
mengandalkan teknologi tinggi, pula kepiawaian sang sinematografer, Caleb
Deschanel (The Passion of the Christ,
Never Look Away). Pemandangan alamnya serasa bagian program Disneynature atau dokumenter National Geographic,
tentunya dengan tambahan proporsi kecantikan.
Musikalnya pun turut mendapat upgrade. Nomor The Lion Sleeps Tonight berlangsung lebih lama dan menyenangkan
tanpa perlu menjadi terlampau komikal, sedangkan biarpun Can You Feel the Love Tonight milik Favreu tak seromantis versi
aslinya, keberadaan vokal BeyoncΓ© rasanya telah menutup kekurangan tersebut. Meski
minim nuansa “dimabuk kepayang karena asmara”, saya dibuat tersentuh oleh
lantunannya.
Modifikasi favorit saya yakni
ketika selaku penulis naskah, Jeff Nathanson (Catch Me If You Can, The Terminal) mengembangkan mome kala Rafiki
mengetahui bahwa Simba masih hidup. Dibarengi penyutradaraan kaya sensitivitas
dari Favreu, sekuen tersebut menangkap substansi “circle of life” lewat perjalanan segenggam bulu, yang menunjukkan
bagaimana semesta mempunyai kekuatannya sendiri guna menggiring makhluk-makhluk
di dalamnya menuju jalan takdir di mana kebaikan berkuasa.
Semua pendekatan berbasis realisme
di The Lion King rasaya lebih mudah
diapresiasi penonton dewasa, khususnya yang memahami indahnya keagungan alam.
Sebaliknya, penonton anak bisa saja menganggap filmnya kurang seru, bahkan
klimaksnya mungkin terlalu mengerikan bagi mereka. Beberapa bocah di studio
tempat saya menonton seketika mengangis begitu pertarungan liar antara
sekumpulan hewan buas berlangsung di bawah langit malam. Because once again—for better or worse—that’s realistic.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
25 komentar :
Comment Page:Jadi bagusan versi animasinya ya bang? Padahal saya mau rencana nonton film ini.
Hakuna matata masih ada?
Dulu saya nonton film ini krn lagu Elton John nya...skrg dilantunkan Beyonce yaa...apa semenggetarkan aslinya?
Bang gk review Rocketman?
Filmnya aja gak boleh tayang di Indonesia gimana mau review
Ok jadi problemnya mirip2lah dng aladdin ya?
Kmapa ga noleh tayang bang?
Om bakalan nge review end game yg baru gak?
Daripada "lebih bagus" animasinya lebih tepat dibilang "lebih cocok"
Oh ya jelas. Sakral itu
Lagunya sama kuatnya. Adegannya yang kalah oke
Bukan nggak boleh tapi distributornya mundur sendiri karena banyak adegan lgbt. Kalau masuk risikonya 2, diprotes dan/atau banyak sensor
Beda sih. Lion King masalahnya ada di pilihan format photorealistic
Nggak lah, filmnya aja sama persis π
Setuju gk bang kalo film ini dapet penghargaan "Best visual effect" sama "Best Cinematography"? :)
Oiya? Wkwk kirain bakal ada yang beda π
bang btw ane belum pernah nonton the lion king versi kartun.. apakah ane bakal menikmati nih film.. ?
Beda lahh.. Aladdin justru menurut gue jauh dari realistic, set pasar nya aja berasa kaya panggung teater yg ditata sedemikian rupa, bukan pasar beneran.
Wew setelah nonton..emanf takjub ama fotorealistiknya...detil fisik mirip asli...malah lbh keren...cumaaa...secara ekspresif jadi aneh liat "binatang"itu pada ngobrol...apalagi nyanyi...
Test
Cinematography setuju. Visual Effect nanti dulu, karena fungsinya mendukung film. Tapi di sini pilihan fotorealistiknya biarpun detail luar biasa, sering jadi kelemahan
Kayaknya malah bakal bisa lebih mengapresiasi
Itulah π
Simba tidak f*ckable. Sebagai fury saya menolak keras film ini π. Lebih suka lion king versi kartun
Udah siap siap nangis sebelum nonton, karena dulu saya nangis. Eh ternyata lempeng aja. Ini karena filmnya yg kurang atau saya yg sudah tidak sensitif lagi? π
Posting Komentar