THE LION KING (2019)

25 komentar
The Lion King adalah korban pilihan artistik Disney yang bertujuan memanfaatkan kesuksesan live action remake mereka. Dibuat dalam format fotorealistik, Jon Favreu (Iron Man, The Jungle Book) beserta tim sudah mengerahkan kemampuan terbaik, tapi biar bagaimanapun, pendekatan realistis pada dasarnya memang kurang cocok membungkus kisah si raja rimba.

Mungkin anda sudah mendengar kritik terhadap minimnya ekspresi wajah para hewan di sini. Tidak sepenuhnya benar, sebab bila diperhatikan lebih teliti, di balik tampilan fisik mereka yang digarap luar biasa detail hingga ke tekstur terkecil, dapat ditemukan gurat-gurat wajah humanis meski tidak dalam bentuk ekspresi besar, yang mana cocok bagi karakter macam Sarabi (Alfre Woodard), tapi tidak untuk Mufasa (James Earl Jones), Scar (Chiwetel Ejiofor), apalagi Zazu  (John Oliver).

Bayangkan tengah menonton animasi aslinya, diisi plot serta adegan serupa, hanya saja pengemasannya menekankan realisme. Artinya, kita takkan melihat Scar menelan Zazu, atau sekuen musikal I Just Can’t Wait to Be King yang komikal nan berwarna. Patut disayangkan, namun gantinya, keagungan alam bisa dirasakan, sebagaimana di adegan pembuka saat hewan-hewan penghuni Pride Lands menyambut kelahiran Simba (Donald Glover menyuarakan Simba dewasa,  JD McCrary meyuarakan Simba kecil). Rafiki (John Kani) mengangkat si bayi singa, sementara awan memberi jalan bagi semburat cahaya matahari yang menimbulkan kesan surgawi.

Desain Simba kecil bakal membuat teriakan “Oooh” dan ”Aaaw” sering keluar dari mulut penonton, tapi ketika kelucuan Simba berhasil mencuri hati, tidak demikian soal hubungannya dan sang ayah. Mufasa merupakan sosok pemimpin berwibawa, sehingga menciptakan ekspresinya pun jadi pekerjaan rumit. Walau James Earl Jones tanpa cela, sang raja bak tanpa nyawa akibat wajah yang kurang menyatu dengan suara.

Berikutnya, anda tahu apa yang akan terjadi. Berniat membuktikan kepantasan dan keberaniannya selaku calon raja, Simba mengajak Nala (BeyoncΓ© Knowles-Carter menyuarakan Nala dewasa, Shahadi Wright Joseph menjadi Nala kecil) daerah terlarang berupa kuburan gajah, yang rupanya menjadi sarang hyena. Itulah awal tragedi kala Scar, yang sejak lama berambisi bertahta, membunuh Mufasa yang juga kakaknya, lalu menimpakan kesalahan kepada Simba. Ketakutan, ia menuruti perintah pamannya agar pergi dari Pride Lands.

Momen ikonik tatkala Scar mendorong Mufasa dari tebing gagal dibuat ulang secara apik, kali ini bukan saja akibat kurangnya ekspresi para singa, pula suara Chiwetel Ejiofor yang tanpa aura kekejaman. Padahal, di adegan-adegan lain, Ejiofor mampu melakoni perannya dengan baik. Beruntung, begitu saya mulai bersiap sepenuhnya dikecewakan, paruh keduanya muncul sebagai penyelamat. Pertama, tentu berkat duo Timon-Pumbaa (Billy Eichner-Seth Rogen). Keduanya adalah mesin penghasil tawa yang seketika menjauhkan filmnya dari awan kelam miskin warna bernama “realisme”.

Pun di paruh ini, elemen musik serta visualnya semakin memikat. Mengkreasi ulang karya buatannya, Hans Zimmer dibantu African choir yang kembali dikomandani oleh Lebo M., melahirkan scoring yang mampu menggerakkan perasaan (King of Pride Rock berulang kali membuat saya bergetar), mengiringi visual revolusioner yang bukan saja mengandalkan teknologi tinggi, pula kepiawaian sang sinematografer, Caleb Deschanel (The Passion of the Christ, Never Look Away). Pemandangan alamnya serasa bagian program Disneynature atau dokumenter National Geographic, tentunya dengan tambahan proporsi kecantikan.

Musikalnya pun turut mendapat upgrade. Nomor The Lion Sleeps Tonight berlangsung lebih lama dan menyenangkan tanpa perlu menjadi terlampau komikal, sedangkan biarpun Can You Feel the Love Tonight milik Favreu tak seromantis versi aslinya, keberadaan vokal BeyoncΓ© rasanya telah menutup kekurangan tersebut. Meski minim nuansa “dimabuk kepayang karena asmara”, saya dibuat tersentuh oleh lantunannya.

Modifikasi favorit saya yakni ketika selaku penulis naskah, Jeff Nathanson (Catch Me If You Can, The Terminal) mengembangkan mome kala Rafiki mengetahui bahwa Simba masih hidup. Dibarengi penyutradaraan kaya sensitivitas dari Favreu, sekuen tersebut menangkap substansi “circle of life” lewat perjalanan segenggam bulu, yang menunjukkan bagaimana semesta mempunyai kekuatannya sendiri guna menggiring makhluk-makhluk di dalamnya menuju jalan takdir di mana kebaikan berkuasa.

Semua pendekatan berbasis realisme di The Lion King rasaya lebih mudah diapresiasi penonton dewasa, khususnya yang memahami indahnya keagungan alam. Sebaliknya, penonton anak bisa saja menganggap filmnya kurang seru, bahkan klimaksnya mungkin terlalu mengerikan bagi mereka. Beberapa bocah di studio tempat saya menonton seketika mengangis begitu pertarungan liar antara sekumpulan hewan buas berlangsung di bawah langit malam. Because once again—for better or worse—that’s realistic.

25 komentar :

Comment Page:
Unknown mengatakan...

Jadi bagusan versi animasinya ya bang? Padahal saya mau rencana nonton film ini.

agoesinema mengatakan...

Hakuna matata masih ada?

aan mengatakan...

Dulu saya nonton film ini krn lagu Elton John nya...skrg dilantunkan Beyonce yaa...apa semenggetarkan aslinya?

Dee mengatakan...

Bang gk review Rocketman?

Unknown mengatakan...

Filmnya aja gak boleh tayang di Indonesia gimana mau review

aryo mengatakan...

Ok jadi problemnya mirip2lah dng aladdin ya?

Zamal mengatakan...

Kmapa ga noleh tayang bang?

Meuthia Nabila Pratiwi mengatakan...

Om bakalan nge review end game yg baru gak?

Rasyidharry mengatakan...

Daripada "lebih bagus" animasinya lebih tepat dibilang "lebih cocok"

Rasyidharry mengatakan...

Oh ya jelas. Sakral itu

Rasyidharry mengatakan...

Lagunya sama kuatnya. Adegannya yang kalah oke

Rasyidharry mengatakan...

Bukan nggak boleh tapi distributornya mundur sendiri karena banyak adegan lgbt. Kalau masuk risikonya 2, diprotes dan/atau banyak sensor

Rasyidharry mengatakan...

Beda sih. Lion King masalahnya ada di pilihan format photorealistic

Rasyidharry mengatakan...

Nggak lah, filmnya aja sama persis πŸ˜…

Yoghie mengatakan...

Setuju gk bang kalo film ini dapet penghargaan "Best visual effect" sama "Best Cinematography"? :)

Meuthia Nabila Pratiwi mengatakan...

Oiya? Wkwk kirain bakal ada yang beda πŸ˜„

SALEMBAY mengatakan...

bang btw ane belum pernah nonton the lion king versi kartun.. apakah ane bakal menikmati nih film.. ?

KALEX mengatakan...

Beda lahh.. Aladdin justru menurut gue jauh dari realistic, set pasar nya aja berasa kaya panggung teater yg ditata sedemikian rupa, bukan pasar beneran.

aan mengatakan...

Wew setelah nonton..emanf takjub ama fotorealistiknya...detil fisik mirip asli...malah lbh keren...cumaaa...secara ekspresif jadi aneh liat "binatang"itu pada ngobrol...apalagi nyanyi...

Gre mengatakan...

Test

Rasyidharry mengatakan...

Cinematography setuju. Visual Effect nanti dulu, karena fungsinya mendukung film. Tapi di sini pilihan fotorealistiknya biarpun detail luar biasa, sering jadi kelemahan

Rasyidharry mengatakan...

Kayaknya malah bakal bisa lebih mengapresiasi

Rasyidharry mengatakan...

Itulah 😁

rahmadamazing mengatakan...

Simba tidak f*ckable. Sebagai fury saya menolak keras film ini 😁. Lebih suka lion king versi kartun

Yolana mengatakan...

Udah siap siap nangis sebelum nonton, karena dulu saya nangis. Eh ternyata lempeng aja. Ini karena filmnya yg kurang atau saya yg sudah tidak sensitif lagi? πŸ˜’