ZOMBIELAND: DOUBLE TAP (2019)
Rasyidharry
Oktober 22, 2019
Abigail Breslin
,
Avan Jogia
,
Comedy
,
Cukup
,
Dave Callaham
,
Emma Stone
,
Jesse Eisenberg
,
Paul Wernick
,
REVIEW
,
Rhett Reese
,
Rosario Dawson
,
Ruben Fleischer
,
Woody Harrelson
,
Zoey Deutch
8 komentar
Ada kesulitan lebih terkait
pembuatan sekuel untuk film yang merengkuh kesuksesan berkat kesegaran kemasannya,
yaitu bagaimana menjaga, atau lebih baik lagi menambah, kesegaran itu. Rilis
satu dekade selepas Zombieland yang
digemari karena kreativitasnya, Zombieland:
Double Tap mengembalikan jajaran pemain lama, sutradara sekaligus penulis
naskah lama, dan sayangnnya formula lama juga turut serta. Serupa judul bertema
zombie kebanyakan, ini sekadar pengulangan.
Tapi tidak bisa dipungkiri,
pengulangan itu masih menyenangkan. Kita tahu adegan pembuka bakal mengadu
karakter manusia melawan zombie dalam balutan gerak lambat serta musik rock (kali
ini Master of Puppets-nya Metallica),
pun kita tahu momen ikonik “Zombie Kill
of the Week”—yang ditingkatkan jadi “Zombie
Kill of the Year” akan muncul. Semuanya menghibur, tapi akibatnya, Zombieland: Double Tap dibangun
berdasarkan checklist layaknya fan service.
Beberapa tahun setelah film
pertama, Columbus (Jesse Eisenberg), Tallahassee (Woody Harrelson), Wichita
(Emma Stone), dan Little Rock (Abigail Breslin) telah tumbuh bersama sebagai
satu “keluarga disfungsional”. Mereka menetap di White House yang aman,
sementara zombie di luar mulai berevolusi menjadi beberapa jenis—yang
dijabarkan melalui sekuen menggelitik di paruh awal—di mana salah satunya disebut
T-800, yakni zombie dengan kekuatan juga daya tahan tinggi. Tidak cukup dua
kali tembak guna menghabisinya.
Digarap oleh dua penulis film
pertama, Rhett Reese dan Paul Wernick, ditambah David Callaham (The Expendables, Wonder Woman 1984),
apabila Zombieland membahas posisi
manusia selaku makhluk sosial, maka Zombieland:
Double Tap mengupas soal keluarga. Wichita merasa Columbus terburu-buru
membawa hubungan mereka ke jenjang lebih lanjut, sedangkan Little Rock
terganggu atas ketidakpekaan Tallahassee, yang selama ini bertindak sebagai
figur ayah. Ketika Little Rock yang sudah beranjak remaja ingin merasakan romansa,
Tallahassee justru menghadiahkan pistol.
Wichita dan Little Rock memutuskan kabur
(lagi). Di tengah sakit hati akibat ditinggalkan sang kekasih, Columbus bertemu
Madison (Zoey Deutch). Menghabiskan bertahun-tahun sembunyi di ruang pendingin
tanpa terpikirkan untuk mematikan sistem pendingin, bertingkah genit,
repot-repot membawa berbagai koper besar di tengah zombie apocalypse, Madison memenuhi semua stereotip “gadis pirang
bodoh”, yang selalu mencerahkan suasana di tiap kemunculan berkat totalitas komedi
Zoey Deutch dalam berlagak hiperbolis.
“Daripada tidak ada wanita lain”,
mungkin begitu pikir Columbus saat mengiyakan permintaan Madison berhubungan
seks, tanpa tahu bahwa di malam yang sama, Wichita kembali. Bukan untuk pulang,
melainkan mengambil senjata untuk mencari Little Rock yang kabur bersama
Berkeley (Avan Jogia), seorang hippie anti-kekerasan
yang menolak mempersenjatai diri.
Sisanya adalah petualangan berupa pengulangan
film pertama. Emma Stone tetap jago memancing tawa (tidak semua orang bisa menirukan
velociraptor selucu dia) tapi lemparan humor Zombieland: Double Tap kerap meleset. Penonton, khususnya penggemar
film pertama, akan mengangguk-angguk puas menyaksikan pengulangan momen-momen
ikonik dari judul sebelumnya, namun karena berupa pengulangan, ledakan tawa
yang dihasilkan tak sebesar film pertama.
Lain halnya dengan aksi. Sepuluh
tahun berselang, penyutradaraan Ruben Fleischer masih bertenaga, piawai meramu
pengadeganan dinamis, yang disempurnakan oleh ketidakraguan membanjiri layar
dengan darah dan ceceran organ tubuh zombie. Kini, adegan aksi bukan cuma
panggung Woody Harrleson seorang. Rosario Dawson sebagai Nevada yang memikat
hati Tallahassee sang serigala penyendiri, juga ambil bagian, menegaskan kalau Zombieland: Double Tap merupakan tempat
para penampil wanita bersinar.
Berkaca pada pengulangan yang telah
disinggung di atas, tidak mengejutkan kala naskahnya kurang matang mengolah
konflik bertema keluarga miliknya, termasuk fase konklusi yang terburu-buru.
Mendadak semua masalah berakhir begitu mudah, membuat segala jalan terjal yang
karakternya lalui terkesan percuma. Beruntung Zombieland: Double Tap tidak ditutup di titik nadir, ketika mid-credits scene-nya memproduksi humor
paling jenius sepanjang film.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
8 komentar :
Comment Page:XXI ga nayangin yah? Cgv aja?
Zombieland ini mah, ada di semua bioskop.
Besok baru rilis reguler di semua bioskop, kemungkinan Rasyid nonton pas midnight kemarin.
Kalau gak nonton zombieland pertama, masih bisa nyambung gak om?
Zombieland Double Tap = Cukup? Kirain "Lumayan" bang Rasyid.. hehe
Tonton dulu yang pertama. Banyak referensi penting buat film pertamanya
Pertama'nya agak ngantuk sih..
Mulai seger pas ada si Zoey Deutch, wkwkwkwkwk..
Tapi tetep, Rosario Dawson sebagai penampil terbaik menurut eike..
Posting Komentar