CHARLIE'S ANGELS (2019)
Rasyidharry
November 14, 2019
Action
,
Comedy
,
Elizabeth Banks
,
Ella Balinska
,
Kristen Stewart
,
Kurang
,
Naomi Scott
,
Patrick Stewart
,
REVIEW
16 komentar
“Woman can do anything”, ucap Sabina Wilson (Kristen Stewart)
membuka filmnya, seolah langsung menegaskan niat Elizabeth Banks, selaku
sutradara sekaligus penulis naskah, membawa Charlie’s
Angels dari eye candy pemuas
fantasi lelaki di dua installment
pertama (ini sekuel, bukan remake maupun
reboot) menjadi sajian empowerment. Tapi dalam prosesnya justru
membuat film ini tampil jauh lebih bodoh dari dua karya McG tersebut, yang
notabene mengambil pendekatan campy cenderung
mengarah ke parodi.
Kini Townsend Agency milik Charlie,
si pria misterius yang hanya bisa didengar suaranya lewat interkom, telah
melebarkan sayap merambah dunia internasional berkat inisiatif John Bosley
(Patrick Stewart menggantikan Bill Murray). Beberapa cabang dibuka di berbagai
belahan dunia yang dikelola oleh banyak Bosley. Ya, di sini “Bosley” bukan
sebatas nama individu, pula sebuah jabatan.
Misi para Angel kali ini datang
saat ilmuwan bernama Elena Houghlin (Naomi Scott), khawatir jika teknologi
buatannya yang berfungsi menyediakan sumber energi, berpotensi disalahgunakan
sebagai senjata berbahaya. Di bawah komando Susan (Elizabeth Banks) si mantan
Angel yang sekarang merupakan salah satu Bosley, Sabina dan Jane Kano (Ella
Balinska) harus terjun dalam petualangan yang diisi terlalu banyak pengkhianatan
konyol serta rentetan aksi medioker.
Seperti telah saya sebutkan, dua
film Charlie’s Angels pertama memang
disengaja tampil campy, sehingga
kekonyolan-kekonyolannya dapat dimaklumi, bahkan dinikmati. Tapi versi terbaru
ini, biarpun tetap dibumbui banyak humor (yang tidak seberapa lucu), jelas
ingin lebih serius. Karena itulah cara Elizabeth Banks membangun kisahnya
seperti salah tempat. Pada film bertema spionase, kejutan beraroma
pengkhianatan adalah elemen biasa. Banks menerapkan itu, namun dosisnya keterlaluan,
Charlie’s Angels pun ibarat film
kelas B yang menolak (atau tidak sadar?) dianggap demikian.
Ketika satu jenis twist diterapkan berulang kali, daya
kejutnya berkurang. Charlie’s Angels membuat
saya sampai di titik enggan memperhatikan alurnya lagi, juga malas memikirkan
bagaimana hal “A” bisa menjadi “B”, atau kenapa seorang karakter yang tadinya
bersikap “C” berubah jadi “D”. Naskah Banks seperti dibuat menggunakan prinsip
warganet, yaitu “pokoknya nge-twist!”.
Tidak peduli kejutan itu tidak masuk akal, mencurangi penonton, datang entah
dari mana, atau bahkan merusak penokohan sebagaimana pernah dilakukan salah
satu franchise spionase besar lain (can’t tell you which movie).
Dahulu, McG memakai teknik wire-fu sebagai cool factor bagi adegan aksi dua film Charlie’s Angels. Alih-alih muncul dengan metode keren lain yang
lebih modern, Banks memutuskan tampil tanpa gaya, membungkus aksi secara apa
adanya menggunakan quick cuts dan
pergerakan kamera chaotic yang sukar
dinikmati. Koreografi medioker bertempo terlampau lambat turut memperburuk
keadaan. Mana mungkin misi empowering yang
filmnya usung tersampaikan kalau sepak terjang para jagoannya gagal mencuri perhatian.
Satu-satunya penyelamat adalah
penampilan trio Angels, walau sayangnya mereka tidak memperoleh materi yang
layak. Ella Balinska paling meyakinkan sebagai Angel, bersenjatakan kemampuan
bela diri terbaik dan gestur serta ekspresi natural dalam melakoni laga maupun
baku tembak. Keliaran Stewart, kecanggungan menggelitik Scott, sama-sama
menghibur. Tapi sulit menampik kesan bahwa mereka adalah dua mobil sport yang dikendarai bak city car. Semestinya Banks bisa memacu
keduanya lebih kencang lagi, memberi materi yang lebih gila lagi.
Bicara soal empowerment, blunder terbesar Charlie’s
Angels hadir jelang akhir kala mengubah mitologi panjang serinya atas nama
kesetaraan. Bukan masalah andai filmnya berstatus reboot atau remake. Tapi
sebagai suatu kelanjutan cerita, continuity
error-nya memancing pertanyaan, “Apakah Elizabeth Banks belum menonton
serial atau film-film sebelumnya? Atau dia memang tidak peduli?”.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
16 komentar :
Comment Page:Mau masak berbahan baku "woman can do anything"..
Bumbunya berkualitas, eh ga bs nguleg.. gpplah yg penting garem..
Tambah garem humor, eh rasanya kurang.. tambah garem lg seember..
Hmmm.. knp rasanya gni yak?
Gpplah.. yg penting kelihatan cantik..
Charlie's Angel yg pertama seru
Yg kedua ampas
Dan yang ini lihat trailernya aja bikin ragu.. makasih sdh menyelamatkan duit kami
Apa ini karena latar belakangnya elizabeth banks sbg sutradara emang lebih ke arah film2 yg kyk pitch perfect dan ini pembuktiannya ya ? Jadinya elizabeth banksnya nanggung bikin filmnya
So kesalahan di skrip atau sutradara?atau keduanya?mungkin kl diserahkan ke patty jenkins bisa beda ya..haha.gw tetep mau nonton sih..tp krn faktor naomi nya...hahaha
Yang bikin naskah Banks, tapi yang bikin ceritanya bukan dia bang. Tetap Banks juga yang salah?
Masalahnya Pitch Perfect 2 aja jadi lebih hambar tuh
Kayak udah disebut di atas, ya keduanya. Mungkin kalau Jenkins lebih mending sih
Kredit "story by" itu bukan berarti pemilik ide awal dan yang nentuin jalan cerita lengkap ya. Bisa banyak kemungkinan. Auburn & Spiliotopoulos dapet kredit itu kemungkinan karena nulis draft pertama. Setelah itu ditulis ulang & difinalisasi sama Banks. Artinya hasil akhir ya tanggung jawab penulis naskah. Apalagi status dia juga produser. Berarti semua emang keputusan dia
Not a surprise
Mas ga review nomimasi ffi nih?
Nanti ada video bareng Cinecrib rencananya
Aku sih suka. Seru dan lucu. Mungkin bang Rashid trlalu menganggap serius film beginian.
Aku selalu suka film aksi yg mengedepankan wanita. Mantap dan enak liatnya. Minusnya fightnya belum seakrobat Black Widow.
Gak sabar dgn sekuelnya.
8/10
Nggak akan ada sekuel. Filmnya sama sekali nggak laku. Flop parah
Baru aja nonton semalem mas, dan emang berasa nanggung menurut saya. Lagian secara chemistry kayak kurang dapet aja mungkin karena yang versi 2000an lebih ke persahabatan kali ya. Credit lebih sih memang gue kasih ke Kristen Stewart ngeliat dia lebih nyaman dan bebas jadi dirinya disini. Kalau Naomi sih suka sama muka komedinya tapi ya gitu cuman jadi pemanis aja. Totally saya udah bener-bener bosen sama film yang isinya twist twist mulu, untungnya smalem gatau kenapa saya masih suka dan fun nonton ini. Dan soal Elizabeth Banks better doi main jadi cast aja dan urusan directing diserahin ke orang lain.
Bagi seorang Mas Rasyid, film ini dianggap kurang..
Klo menurut gue, film ini udah termasuk bagus dan menghibur 🤭🤭🤭
Beda lah ya yang ngerti dan ahli teknik perfilm'an dibanding gue yang hanya hobi nuntun film 😂😂😂
Posting Komentar