Tampilkan postingan dengan label Kristen Stewart. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kristen Stewart. Tampilkan semua postingan

REVIEW - SPENCER

"A fable from a true tragedy" adalah bagaimana Spencer mencap dirinya. Bukan biopic, melainkan drama sejarah spekulatif tentang Diana Frances Spencer alias Puteri Diana. Tragedi yang dimaksud pun bukan kematian Diana. Jauh sebelum ia kehilangan nyawa, tapi saat itu, jiwanya yang pelan-pelan mati, di tengah kemegahan yang mengubur kemanusiaan.

Latarnya tahun 1991, di mana keluarga kerajaan Inggris berkumpul selama tiga hari di Sandringham House untuk merayakan Natal. Diana (Kristen Stewart) datang terlambat, yang mana sudah semua orang duga. Bagi keluarga kerjaan, Diana bak biang masalah. Mayor Gregory (Timothy Spall) selaku kepala staf Sandringham bertugas mengawasi sang Putri Wales. 

Figur intimidatif Gregory kadang tampak seperti sosok misterius dari film horor, yang mengawasi dari jauh dengan tatapan tajam, kemudian bisa muncul tiba-tiba. Dia cocok jadi salah satu karakter The Shining (1980). Pablo Larrain (Jackie) selaku sutradara pun rasanya banyak mengambil inspirasi dari karya Kubrick tersebut. Dapat dilihat dari nuansa atmosferik dalam suatu bangunan megah, hingga beberapa sekuen mimpi (stylish, walau tak jarang mendistraksi keintiman rasa). Jadilah sebuah drama psikologis yang menggambarkan kemelut batin karakter layaknya teror di film horor.

Karya Kubrick lainnya, Barry Lyndon (1975), tidak ketinggalan memberi pengaruh bagi departemen artistik. Bangunan set megah maupun deretan baju mewah nyatanya tidak menghadirkan kebahagiaan untuk Diana. Pasca 10 tahun menikahi Pangeran Charles (Jack Farthing), kejengahan atas tetek bengek tradisi hingga perselingkuhan sang suami justru makin menggerus kondisi psikisnya. Dia menderita bulimia, pula kerap melukai diri (Diana "mencubit" lengannya memakai tang jadi pemandangan paling menyakitkan di sini).

Larrain mengurung penonton bersama Diana di bangunan glamor nan luas yang ironisnya terasa begitu sempit dan menyesakkan bagi si protagonis. Kepenatan Diana, yang cuma mendapat kebahagiaan dari kedua buah hati, Pangeran William (Jack Nielen) dan Pangeran Harry (Freddie Spry), ikut kita rasakan. Sementara Maggie (Sally Hawkins) si royal dresser jadi satu dari sedikit orang yang bisa disebut "teman" oleh Diana. Kunjungan bersama Maggie ke pantai terasa menyentuh juga karena alasan serupa. Kita bisa merasakan kebahagiaan Diana yang akhirnya menghirup udara segar, terbebas dari kurungan rutinitas.

Selain tampil cantik lewat efek grainy hasil tangkapan kamera Super 16mm (format 35mm turut dipakai di beberapa adegan minim cahaya), sinematografi arahan Claire Mathon (Portrait of a Lady on Fire, Petite Maman) pun berperan dalam proses transfer emosi. Sesekali shaky cam diterapkan, tatkala kamera mengikuti kegundahan karakternya. Musik garapan Jonny Greenwood pun substansial mewakili kecemasan Diana. Kadang terdengar bagai noir, kadang thriller, kadang horor. Sedangkan kesan "horor dalam kemewahan" dihidupkan oleh bunyi-bunyian yang terdengar seperti kristal yang saling bersinggungan. 

Tentu semua takkan berarti tanpa akting Stewart. Kemunculan awalnya saat Diana tersesat di pedesaan memang bak karikatur, tapi setelahnya, ia melesat. Stewart selalu piawai memunculkan ketidaknyamanan, dan itulah mengapa sang aktris sempurna memerankan Diana dalam naskah milik Steven Knight (Dirty Pretty Things, Locke). Stewart adalah perwujudan kecemasan individu atas hilangnya jati diri, seiring lenyapnya kebebasan menjadi manusia.

(Klik Film)

UNDERWATER (2020)

“Memindahkan Alien (1979) karya Ridley Scott ke bawah laut” merupakan misi Underwater. Karena baik di luar angkasa maupun dasar samudera, tidak ada yang bisa mendengarmu berteriak. Anda pun bisa menemui jump scare berupa monster kecil melompat dari tubuh korban layaknya chestburster (bedanya, di sini lewat punggung alih-alih dada), dilanjutkan oleh analisa karakternya terhadap si monster di atas meja berwarna putih. Referensinya sudah tepat, namun penggarapan keseluruhannya belum.

Kru sebuah proyek pengeboran bawah laut dikejutkan saat laboratorium mendadak bocor, menghancurkan hampir segalanya, membunuh mayoritas manusia di dalamnya. Ada beberapa penyintas, sebutlah sang Kapten (Vincent Cassel); Paul (T.J. Miller) yang eksentrik dan selalu membawa boneka kelinci bernama “Lil Paul”; Emily (Jessica Henwick) yang dikuasai ketakutan; Liam (John Gallagher Jr.) yang diam-diam meyukai Emily; serta protagonis kita, Norah (Kristen Stewart dengan model rambut yang mengingatkan akan Sigourney Weaver di Alien 3), seorang teknisi yang menyebut dirinya sendiri sebagai seorang pesimis.

Mudah ditebak, terkait pengembangan karakter, naskah buatan Brian Duffield (Insurgent, The Babysitter) dan Adam Cozad (Jack Ryan: Shadow Recruit, The Legend of Tarzan) hendak memaparkan perjalanan Norah, dari seseorang yang pesimis, pasrah, dan senantiasa diam, hingga akhirnya bersedia melakukan sesuatu demi perubahan. Betul bahwa kedua penulis memberi alasan di balik sikap Norah, berdasarkan suatu peristiwa tragis di masa lalunya. Tapi alasan tersebut sebatas hiasan minim eksplorasi, pun proses perubahan Norah tidak dibarengi tahapan-tahapan meyakinkan. Terkesan, ia mendadak berubah sikap di akhir cerita.

Tapi kekurangan itu, maupun kritik sambil lalu terkait perusakan alam oleh manusia, bisa dimaafkan, andai Underwater sebagai berhasil memenuhi tugasnya sebagai horor: menakut-nakuti. Di sini kegagalan “meniru” Alien tampak jelas. Sama-sama menyembunyikan monsternya di mayoritas durasi, film ini lupa mengatur atmosfer sekaligus membuat tiap kematian karakter meninggalkan dampak. Menyusuri dasar laut gelap dan reruntuhan laboratorium sempit memang aktivitas klaustrofobik, namun bukan berarti, semakin sering menampilkan karakternya berjalan, berenang, dan mengambang di kegelapan otomatis memperkuat atmosfer.

Berjalan, berenang, berbicara, berjalan, berenang lagi. Pemandangan itu mendominasi Underwater. Membosankan. Bisa tertolong, andai William Eubank (Love, The Sigal) selaku sutradara piawai mengatur suasana serta intensitas. Sayangnya tidak. Saat tidak terjadi hal signifikan di layar, tak sedikit pun yang dapat penonton nikmati, pun tatkala teror mulai mengancam, ketegangannya hilang akibat pemakaian shaky cam memusingkan ditambah gerak lambat—yang meski terlihat cukup cantik—nihil substansi, bahkan tak jarang menggelikan. Soal metode menghabisi karakternya, Eubank terbatasi rating PG-13, di mana deretan kematian brutal banyak terjadi di balik layar.

Kualitas CGI-nya, dibantu banyak efek praktikal, tergolong solid, meyakinkan dalam membangun kehancuran-kehancuran bawah laut, walau pujian serupa tidak bisa diberikan terkait penampakan monsternya. Ada tiga jenis makhluk. Demi menghindari spoiler, mari sebut saja “monster 1”, “monster 2”, dan “monster 3”. Monster 2 punya generik, serupa deretan monster-monster kebanyakan di film bertema serupa, jauh dari kesan menyeramkan. Karena mereka yang paling sering kita temui sekaligus memiliki jumlah terbanyak, seberapa besar dampak kehadiran Monster 2 berifat esensial bagi keberhasilan Underwater. Artinya sederhana. Filmnya gagal.

Monster 3 paling intimidatif, paling berkesan, pula melahirkan satu-dua momen menegangkan jelang akhir yang mampu menggiring penonton membayangkan betapa mengerikannya kalau harus berhadapan langsung dengannya. Tapi statusnya sebagai “big boss” sekaligus keterbatasan dana membatasi kuantitas kemunculannya, sehingga belum cukup mengatrol daya bunuh Underwater, sekalipun sudah ditambah kemampuan Kristen Stewart menyeimbangkan kontemplasi dan ketangguhan sesosok jagoan.

CHARLIE'S ANGELS (2019)

Woman can do anything”, ucap Sabina Wilson (Kristen Stewart) membuka filmnya, seolah langsung menegaskan niat Elizabeth Banks, selaku sutradara sekaligus penulis naskah, membawa Charlie’s Angels dari eye candy pemuas fantasi lelaki di dua installment pertama (ini sekuel, bukan remake maupun reboot) menjadi sajian empowerment. Tapi dalam prosesnya justru membuat film ini tampil jauh lebih bodoh dari dua karya McG tersebut, yang notabene mengambil pendekatan campy cenderung mengarah ke parodi.

Kini Townsend Agency milik Charlie, si pria misterius yang hanya bisa didengar suaranya lewat interkom, telah melebarkan sayap merambah dunia internasional berkat inisiatif John Bosley (Patrick Stewart menggantikan Bill Murray). Beberapa cabang dibuka di berbagai belahan dunia yang dikelola oleh banyak Bosley. Ya, di sini “Bosley” bukan sebatas nama individu, pula sebuah jabatan.

Misi para Angel kali ini datang saat ilmuwan bernama Elena Houghlin (Naomi Scott), khawatir jika teknologi buatannya yang berfungsi menyediakan sumber energi, berpotensi disalahgunakan sebagai senjata berbahaya. Di bawah komando Susan (Elizabeth Banks) si mantan Angel yang sekarang merupakan salah satu Bosley, Sabina dan Jane Kano (Ella Balinska) harus terjun dalam petualangan yang diisi terlalu banyak pengkhianatan konyol serta rentetan aksi medioker.

Seperti telah saya sebutkan, dua film Charlie’s Angels pertama memang disengaja tampil campy, sehingga kekonyolan-kekonyolannya dapat dimaklumi, bahkan dinikmati. Tapi versi terbaru ini, biarpun tetap dibumbui banyak humor (yang tidak seberapa lucu), jelas ingin lebih serius. Karena itulah cara Elizabeth Banks membangun kisahnya seperti salah tempat. Pada film bertema spionase, kejutan beraroma pengkhianatan adalah elemen biasa. Banks menerapkan itu, namun dosisnya keterlaluan, Charlie’s Angels pun ibarat film kelas B yang menolak (atau tidak sadar?) dianggap demikian.

Ketika satu jenis twist diterapkan berulang kali, daya kejutnya berkurang. Charlie’s Angels membuat saya sampai di titik enggan memperhatikan alurnya lagi, juga malas memikirkan bagaimana hal “A” bisa menjadi “B”, atau kenapa seorang karakter yang tadinya bersikap “C” berubah jadi “D”. Naskah Banks seperti dibuat menggunakan prinsip warganet, yaitu “pokoknya nge-twist!”. Tidak peduli kejutan itu tidak masuk akal, mencurangi penonton, datang entah dari mana, atau bahkan merusak penokohan sebagaimana pernah dilakukan salah satu franchise spionase besar lain (can’t tell you which movie).

Dahulu, McG memakai teknik wire-fu sebagai cool factor bagi adegan aksi dua film Charlie’s Angels. Alih-alih muncul dengan metode keren lain yang lebih modern, Banks memutuskan tampil tanpa gaya, membungkus aksi secara apa adanya menggunakan quick cuts dan pergerakan kamera chaotic yang sukar dinikmati. Koreografi medioker bertempo terlampau lambat turut memperburuk keadaan. Mana mungkin misi empowering yang filmnya usung tersampaikan kalau sepak terjang para jagoannya gagal mencuri perhatian.

Satu-satunya penyelamat adalah penampilan trio Angels, walau sayangnya mereka tidak memperoleh materi yang layak. Ella Balinska paling meyakinkan sebagai Angel, bersenjatakan kemampuan bela diri terbaik dan gestur serta ekspresi natural dalam melakoni laga maupun baku tembak. Keliaran Stewart, kecanggungan menggelitik Scott, sama-sama menghibur. Tapi sulit menampik kesan bahwa mereka adalah dua mobil sport yang dikendarai bak city car. Semestinya Banks bisa memacu keduanya lebih kencang lagi, memberi materi yang lebih gila lagi.

Bicara soal empowerment, blunder terbesar Charlie’s Angels hadir jelang akhir kala mengubah mitologi panjang serinya atas nama kesetaraan. Bukan masalah andai filmnya berstatus reboot atau remake. Tapi sebagai suatu kelanjutan cerita, continuity error-nya memancing pertanyaan, “Apakah Elizabeth Banks belum menonton serial atau film-film sebelumnya? Atau dia memang tidak peduli?”.

PERSONAL SHOPPER (2016)

Judul dari kolaborasi kedua antara sutradara Olivier Assayas dengan Kristen Stewart setelah Clouds of Sils Maria yang membawa sang aktris menjadi orang Amerika pertama yang memenangkan Cesar Awards ini merujuk pada profesi tokoh utamanya, Maureen Cartwright (Kristen Stewart). Sepanjang film, kita mendapati Maureen mengendarai motor berkeliling Paris, mengambil gaun dan aksesoris mahal untuk ia berikan pada bosnya, Kyra (Nora von Waldstätten), seorang selebritis. Sementara Kyra mendatangi pemotretan maupun acara bertabur bintang satu ke lainnya, Maureen hanya bisa diam, memendam berhasrat karena tak diperkenankan mencoba gaun-gaun mahal tersebut. 

Tapi "kekangan" yang Maureen alami bukan itu saja, dan poin berikutnya menggiring Personal Shopper menuju alam lain penuh keanehan misterius. Pada adegan pembuka, Maureen bermalam di rumah kosong milik Lewis, saudara kembarnya yang meninggal akibat serangan jantung (Maureen pun memiliki kondisi serupa). Sebagaimana saudaranya pula, Maureen punya kemampuan berkomunikasi dengan hal gaib. Di rumah itu, Maureen menunggu arwah Lewis mengirimkan sebuah tanda, sesuatu yang dahulu sempat ia janjikan saat masih hidup. Proses menantikan pesan spiritual itu menahan Maureen di Paris meski ia membenci pekerjaannya bersama Kyra, dan sang kekasih, Gary (Ty Olwin) tengah berada di Oman.
Personal Shopper adalah hibrida studi karakter yang mencari makna kehidupan di tengah kekangan dari sosok hidup dan mati, Hitchcockian thriller, hingga horor supranatural yang jauh lebih mengerikan dibanding suguhan horor arus utama. Menyelami dunia spiritualisme penuh ketidakpastian memberi Assayas kebebasan menuangkan segala keanehan tak terduga, menciptakan misteri yang mempermainkan asumsi penonton. Atensi kita bakal direnggut dan ketegangan tersulut, sebab kita takkan pernah tahu apa yang disiapkan Assayas di balik dinding-dinding gelap rumah Lewis atau di ujung percakapan pesan singkat antara Maureen dengan stalker misterius yang bahkan tidak ia ketahui masih hidup atau sudah mati.

Guna mewujudkan ketakutan yang dialami Maureen (juga penonton), Assayas enggan memakai formula klise horor. Musik dan bunyi-bunyian lain diminimalisir, false alarm pun ditiadakan, di mana hal yang kita lihat maupun dengar sungguh-sungguh terjadi juga sama dengan yang dilihat dan didengar sang protagonis (kecuali satu momen creepy ketika jauh di belakang Maureen samar-samar nampak sesosok pria). Kamera bergerak perlahan, seolah Assayas sedang mencekik penonton menggunakan penantian ditemani ketidaktahuan serta ambiguitas. Terkait ambiguitas dan kesubtilan, hantu dalam film ini pun tak muncul dalam tampilan segamblang horor mainstream, namun efektif memancing kengerian, terlebih Assayas cerdik memilih timing sewaktu penonton tidak berekspektasi bakal dijejali teror.
Kepiawaian Assayas mengolah tensi tergambar dalam pertukaran chat Maureen dan sang stalker yang membuktikan bahwa pembicaraan melalui pesan telepon genggam pun dapat berujung cinematic thriller kelas satu. Menegangkan sekaligus memunculkan penasaran, momen tersebut turut menyiratkan sensualitas. Merasa terganggu di awal, Maureen pelan-pelan membuka diri, menceritakan rahasianya pada si sosok misterius, bahkan kemudian seolah tersulut hasratnya, lalu sadar tidak sadar menikmati "obrolan" kental voyeuristic manner. Pun dalam diri Maureen seperti timbul fetishism terhadap barang-barang milik Kyra yang kelak mendorongnya bermasturbasi di atas kasur sang bos sembari mengenakan baju miliknya. 

Kristen Stewart memantapkan posisinya selaku salah satu aktris Hollywood paling "berbahaya" saat ini lewat satu lagi performa magnetik, mengandalkan karisma dari kecanggungan kala berinteraksi ditambah pilihan detail-detail gestur menarik sehingga aktivitas sederhana macam mengambil kopi sekalipun menyenangkan disaksikan. Penekanan sinema Eropa termasuk Prancis akan realisme cerita membentuk para aktornya memperagakan penampilan serupa, dan Stewart pun demikian. Tanpa ledakan emosi, performanya pasca Twilight Saga mencerminkan bentuk modifikasi artistik dari gerak laku realita. Membumi namun indah kala diamati lebih lanjut.