MIDWAY (2019)
Rasyidharry
November 09, 2019
Aaron Eckhart
,
Cukup
,
Ed Skrein
,
Etsushi Toyokawa
,
Geoffrey Blake
,
Jun Kunimura
,
Nick Jonas
,
Patrick Wilson
,
REVIEW
,
Roland Emmerich
,
Tadanobu Asano
,
War
,
Wes Tooke
,
Woody Harrelson
6 komentar
Didedikasikan untuk prajurit
Amerika Serikat dan Jepang yang terlibat Pertempuran Midway, film ini punya
niat baik, ingin mengangkat perspektif yang adil tanpa menyudutkan pihak mana
pun (baca: Jepang). Tidak ada nasionalisme buta, tidak ada kibaran The Stars and Stripes tiap beberapa
menit sekali (I’m looking at you Michael Bay),
minim antagonisasi, sementara beberapa prajurit berperang karena “tuntutan
pekerjaan”, beberapa lainnya didorong hasrat balas dendam. Seharusnya Midway bisa jadi alternatif blockbuster bertema Perang Dunia II.
Tapi ini adalah karya Roland
Emmerich, yang beberapa tahun belakangan, lewat Anonymous (2011) dan Stonewall
(2015), ingin keluar dari zona nyaman namun berujung kegagalan. Ditulis
naskahnya oleh Wes Tooke, seperti judulnya, Midway
ibarat usaha Emmerich mengambil jalan tengah dengan tetap menampilkan
kehancuran masif bombastis andalannya sembari menguatkan cerita. Poin kedua
sayangnya kurang berhasil.
Tokoh sentralnya adalah Letnan Dick
Best (Ed Skrein), pilot angkatan laut Amerika Serikat yang dikenal lewat
kenekatannya. Dick pun jadi salah satu ujung tombak serangan balik Amerika
pasca Jepang membombardir Pearl Harbor, yang turut menewaskan sahabat Dick.
Tapi ini bukan kisah Dick seorang. Sepanjang 138 menit durasi, Midway hendak memaparkan peperangan dari
beragam sisi. Ada Edwin T. Layton (Patrick Wilson) selaku inteligen pengumpul
informasi rahasia Jepang yang bertugas di bawah komando Admiral Chester Nimitz (Woody Harrelson), juga Letnan Kolonel Jimmy Doolittle (Aaron Eckhart)
yang memimpin serbuan ke Tokyo (disebut “Serbuan Doolittle”).
Belum lagi membahas nama-nama yang
sempat diberi spotlight singkat
seperti para prajurit dalam kapal selam atau Bruno Gaido (Nick Jonas) lewat
aksi heroiknya menembak jatuh pesawat musuh seorang diri. Jonas merupakan aktor
bertalenta. Bukan saja karena mendapat salah satu momen paling badass, keberhasilannya menghidupkan
sisi carefree Bruno yang tak takut
menantang maut membuat saya berharap karakternya diberi porsi lebih.
Sementara di kubu Jepang, Admiral
Isoroku Yamamoto (Etsushi Toyokawa), Rear Admiral Tamon Yamaguchi (Tadanobu Asano), dan Vice Admiral Chuichi Nagumo
(Jun Kunimura) diberi porsi lebih. Tapi apakah itu cukup sebagai jalan
menyimbangkan sudut pandang? Sayangnya tidak. Mampu menggambarkan prajurit
Jepang bukan sebagai pembunuh berdarah dingin, itu betul. Pun filmnya menjadikan
tingginya harga diri tentara Jepang untuk melandasi sebuah momen sentimentil yang
(diharapkan) menyentuh hati. Tapi itu saja tidak cukup. Berbeda dengan lawannya
dari Amerika, kita urung diajak mengunjungi ruang intim prajurit-prajurit
Jepang. Mereka masih figur-figur tak bernyawa yang selalu sibuk mengatur
strategi. Artinya, Midway gagal
menyeimbangkan perspektif.
Mungkin beberapa pembaca ingat
bahwa saya bukan penggemar Dunkirk-nya
Nolan. Tapi bagaimana naskahnya menata cerita dari beragam sudut pandang supaya
seimbang patut dipuji. Emmerich dan Tooke mestinya bisa mengambil contoh soal cara
membagi fokus. Metode yang Midway pakai
bak sekadar asal menyelipkan, membiarkan tercipta distraksi akibat banyaknya
karakter datang dan pergi, termasuk yang substansinya pantas dipertanyakan.
Misalnya kehadiran sutradara John Ford (Geoffrey Blake) yang terjebak di baku
tembak kala mengambil gambar untuk dokumenter pendek The Battle of Midway (1942). Ford tidak memberi dampak pada sentral
cerita sekaligus bakal membingungkan bagi penonton yang asing terhadapnya.
Ketika ceritanya setengah matang, bagaimana
Emmerich menyusun peperangan (mayoritas berupa pertempuran udara) justru
mengundang decak kagum. Bermodalkan $100 juta, yang menjadikannya salah satu film indie termahal (Emmerich sempat kesulitan mencari dana), tercipta tiga set
pieces besar: Serangan ke Pearl Harbor, Serbuan Doolittle, dan tentunya
Pertempuran Midway. Di Pearl Harbor, Emmerich menyajikan horor di tengah lautan
api, yang tambah mencekam saat adegan sesaat berpindah memperlihatkan seorang
bocah yang menyaksikan pertempuran (baca: pembantaian) tersebut dari kejauhan.
Sejenak saya merasakan teror yang dialami “orang luar”.
Sedangkan pada Pertempuran Midway
selaku puncak, Emmerich mengajak kita memasuki kokpit para dive bomber, khususnya Dick Best, yang berani menukik jauh lebih
rendah ke arah target dibanding rekan-rekannya. Serupa pengalaman menaiki roller coaster—hanya saja kali ini
dibarengi ledakan dan kepulan asap—Emmerich mampu membuat penontonnya menahan
napas, merasakan bagaimana mencekamnya aksi para pilot bertaruh nyawa
menghindari hujan peluru, terjun mendekati target sedekat mungkin, dan mesti
pintar mengatur timing kapan harus
meluncurkan bom untuk kemudian kembali lepas landas di detik-detik terakhir,
berharap tidak turut jadi korban ledakan yang ia ciptakan.
Ada paralel antara perjalanan
karakternya dengan Emmerich sendiri. Dari seorang pilot sombong, Dick Best
tertekan kala ditunjuk memimpin skuadron, dan berhasrat menebus “dosa” karena
beberapa anak buahnya tewas. Demikian pula Layton, yang bekerja tanpa henti
sampai jarang meluangkan waktu bersama istri akibat dihantui rasa bersalah “membiarkan”
Jepang meledakkan Pearl Harbor. Melalui Midway,
mungkin Roland Emmerich ingin menebus kegemarannya bertahan di zona nyaman
membuat tontonan-tontonan brainless bombastis. Untuk itu, ia belum berhasil. Dan rasanya
Emmerich perlu berhenti menebusnya. Pertama, karena hal tersebut bukan
kekeliruan, dan kedua, sebagaimana ia buktikan (lagi) di sekuen peperangan film
ini, Emmerich adalah ahli di bidang tersebut.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
6 komentar :
Comment Page:kalo di bandingin dengan pearl harbour bagaimana bang?
Keluar dari zona nyaman? Maksudnya karena Emmerich spesialis film2 disaster ya Bang?
Bang Rasyid,
Maaf, diriku kok ngantuk yak nuntun film ini 🤣🤣🤣
Ntr malem midnight Ratu Ilmu Hitam, bakal ngantuk nggk ya, wkwkwkwk..
Bagusan ini, nggak pakai romansa sinetron yang dipaksa masuk dan kebanyakan
Kayak Bay, Emmerich biasanya kurang peduli cerita. Di sini dia sama penulisnya ambil pendekatan yang jarang dipakai film perang mainstream biarpun nggak berhasil juga. Dan di sini dia balik lagi ke jalur indie
Oot nih. Kira2 knives out bakal tayang di bioskop indo ga ya? Kalo iya kira2 tgl brp bang?
Posting Komentar