LAMPOR: KERANDA TERBANG (2019)

4 komentar
Menonton horor, mudah menebak apakah seorang sutradara merupakan penggila genre itu atau bukan lewat bagaimana ia membungkus sekuen teror. Menahkodai Lampor: Keranda Terbang, Guntur Soeharjanto yang selama ini identik dengan sajian romansa dan religi seperti 99 Cahaya di Langit Eropa (2013), Assalamualaikum Beijing (2014), hingga Ayat-Ayat Cinta 2 (2017), kentara belum menguasai genre yang dibawakannya, melahirkan deretan kecanggungan dalam debutnya menyutradarai horor.

Bukan Guntur seorang yang menjajal horor untuk kali pertama. Begitu pula Adinia Wirasti. Memerankan wanita bernama Netta yang mengalami trauma masa kecil saat adiknya digondol Lampor (hantu pembawa keranda terbang berwujud mirip Dementor), Adinia berusaha menampilkan kesubtilan kala menangani keresahatan individu yang menyimpan setumpuk rahasia, tapi malah menghasilkan penampilan tak bernyawa. Pasif, sering merenung, selalu muram, dan gemar menggumam, meski masih memikat kala dituntut meletupkan emosi, secara keseluruhan, sebagaimana sutradaranya, debut horor sang aktris berakhir kurang manis.

Setidaknya, separuh awal Lampor: Keranda Terbang punya pondasi solid, bersedia bercerita ketimbang menumpuk penampakan belaka. Bersama si suami, Edwin (Dion Wiyoko), dan kedua anaknya, Agam (Bimasena) dan Sekar (Angelia Livie), Netta terpaksa pulang ke kampung halamannya di Temanggung, guna menyampaikan pesan terakhir ibunya, Ratna (Unique Priscilla), kepada sang ayah, Jamal (Mathias Muchus). Ketika Netta kecil, Ratna membawanya pergi meninggalkan Jamal karena ia menganut ilmu hitam pemberian Pak Atmo (Landung Simatupang), si dukun setempat.

Malang, tepat di hari kedatangan Netta, Jamal mendadak meninggal dunia. Warga pun menyambut sinis kepulangan Netta, menganggapnya sebagai pembawa bencana. Mereka yakin bahwa keberadaan Netta mengundang teror Lampor. Benarkah itu? Kalau bukan, apa penyebab utama kemunculan Lampor, yang konon menyambangi tempat di mana pendosa berada? Pertanyaan itu jadi basis eksplorasi naskah buatan Alim Sudio (Kuntilanak, Makmum, Twivortiaire). Remah-remah misteri ditebar secara berkala, sambil pelan-pelan kompleksitas ditingkatkan lewat kemunculan tokoh-tokoh baru.

Kematian tidak wajar Jamal memancing kecurigaan bahwa ia sejatinya dibunuh oleh orang yang mengincar warisannya. Ada sejumlah tersangka. Apakah Esti (Nova Eliza) selaku istri muda Jamal sekaligus keponakan Pak Atmo? Bimo (Dian Sidik) si tukang pukul? Mitha (Steffi Zamora) si puteri angkat Jamal dan Esti? Atau Nining (Annisa Hertami) si pelayan yang senantiasa bersikap baik? Naskahnya mengeksplorasi pertanyaan itu dengan baik, membuat alur bergerak dinamis, sambil sesekali menyelipkan pemanis berupa mitos-mitos mistis seperti awan berbentuk naga hingga kucing hitam sebagai pertanda bencana.

Tapi memasuki paruh akhir, naskahnya kewalahan sewaktu berusaha menyusun keping-keping kebenaran dan menjelaskan "rules" di balik teror Lampor. Seperti benang kusut. Belum lagi karakternya kerap melakukan tindakan yang pantas dipertanyakan. Contohnya Netta, yang kerap meninggalkan anak-anaknya sendiri, padahal seharusnya ia paling tahu betapa berbahaya hal itu. Beruntung di tengah keruwetan itu, Dion Wiyoko memberi satu lagi performa kuat. Bukan yang terbaik dari sang aktor, tapi cukup untuk menghalangi filmnya dari keruntuhan.

Poin terlemah Lampor: Keranda Terbang adalah eksekusi terornya. Padahal, bayangkan betapa mengerikan makhluk satu ini. Membawa keranda terbang, berstatus prajurit Nyi Roro Kidul, menculik lalu merenggut nyawa siapa saja yang terlihat dan melihatnya. Potensinya besar, apalagi ditambah CGI memadai—walau fakta bahwa Lampor banyak muncul di kegelapan malam cukup membantu. Tapi seperti telah disebutkan, Guntur Soeharjanto belum piawai menangani horor.

Pengadeganannya sering menghasilkan disorientasi apalagi pada momen-momen yang mengetengahkan kekacauan sarat aksi. Daripada urgency, justru pusing kepala yang didapat. Bukan saja kekurangcakapan sutradara mengatur fokus adegan, serupa banyak produksi Starvision, penyuntingan kasar berujung transisi berantakan lebih sering menghantui ketimbang hantunya sendiri (walau di kasus Lampor: Keranda Terbang saya curiga sutradara memang tidak menyuplai materi yang cukup).

4 komentar :

Comment Page:
Dana Saidana mengatakan...

Saya pikir Lampor dan kerandanya itu mahluk halus Bang.
Tapi kalo ditabrak Mobil aja kerandanya bisa hancur, berarti ada banyak cara buat musnahinnya.
Bisa dengan disiram bensin, dibakar, diberondong senapan, dsb.
Atau lebih simplenya penduduk setempat bisa bahu membahu keroyokan aja gebukin Lampor pake golok, cangkul, parang, garpu atau gergaji mesin sekalian ya Bang :-D

Unknown mengatakan...

Saya nonton ini cuma ingin lihat gimana kampung halaman, Temanggung 😁😁😁 salah satu tempat yg jarang kena ekspose untuk dunia film padahal disana hawa horor nya berasa.

Chan Hadinata mengatakan...

mas rasyid,, sdh nonton the farewell??
kok gak tayang di bioskop yah??
kasi review sedikit dong :D

hilpans mengatakan...

Besok nonton ini.krn ad si anggun dan tangguh.adinia....dan Minggu nonton gadis Priangan si zara