LAST CHRISTMAS (2019)
Rasyidharry
Desember 09, 2019
Bryony Kimmings
,
Comedy
,
Cukup
,
Emilia Clarke
,
Emma Thompson
,
Henry Golding
,
Michelle Yeoh
,
Paul Feig
,
Peter Mygind
,
REVIEW
,
Romance
1 komentar
Last Christmas, yang naskahnya ditulis oleh Emma Thompson (Sense and Sensibility, Nanny McPhee, Bridget
Jones’s Baby) dan Bryony Kimmings berdasarkan lagu berjudul sama buatan
George Michael, merupakan komedi-romantis berlatar Natal, yang seperti banyak
film Natal, “nilai apa yang diangkat” lebih dipentingkan dari penceritaan. Hasilnya
klise dan kerap terlalu sentimentil, tapi merupakan kebohongan bila saya
mengaku film ini gagal meninggalkan kesan.
Termasuk Last Christmas, ada total 14 lagu duo pop Wham! dan solo George
Michael plus satu unreleased track (This Is How (We Want You to Get High)),
mengiringi perjalanan Katarina, atau yang lebih suka dipanggil Kate (Emilia
Clarke), seorang gadis dari keluarga Yugoslavia yang menetap di London pasca
meletusnya perang. Hidup Kate berantakan. Hubungannya dengan keluarga, terutama
sang ibu (Emma Thompson) merenggang, pun akibat kecerobohan serta keegoisannya,
Kate selalu diusir di mana saja ia tinggal, menjadikannya tunawisma ,
mondar-mandir di jalanan London membawa koper dengan stiker “George Michael Forever”, mengenakan
sepatu Elf selaku seragam kerjanya.
Kate bekerja di toko barang Natal
milik Santa (Michelle Yeoh), di mana dia selalu terkena teguran si bos akibat
kinerja buruknya. Mimpinya menjadi penyanyi senantiasa kandas akibat deretan
kegagalan audisi. Begitu sampai di titik terendah dalam hidupnya, Kate bertemu
Tom (Henry Golding). Berkebalikan dengan sinisme Kate, Tom penuh semangat
bahkan cenderung eksentrik. Tom gemar menari di tengah jalan, dan ketimbang
menatap layar smartphone, dia lebih
suka menengadah memperhatikan detail-detail di sekitarnya.
Kate mulai tertarik pada Tom yang
mengembalikan kepoitifannya, membuka matanya akan warna-warna dalam hidup yang
selama ini tidak Kate acuhkan, dan dari situ, mudah menebak Last Christmas bakal bergerak ke mana. Film
ini adalah soal proses Kate memperbaiki diri, menemukan kebahagiaan dengan cara
mengurangi egoisme untuk membahagiakan sesama, alias sejalan dengan nilai-nilai
Natal perihal kebaikan hati dan kebersamaan.
Sederhana, hanya saja di tengah
perjalanan, naskahnya menambahkan beberapa kisah sampingan yang sejalan dengan
nilai-nilai di atas, meski signifikansi terhadap konflik utamanya
dipertanyakan. Isu rasisme sedikit disentil, sedangkan Santa, yang digambarkan
keras dan dingin, rupanya bisa luluh juga karena cinta. Dia terpikat pada
seorang pria pemalu pengunjung toko (Peter Mygind), pasca pertemuan pertama
yang menunjukkan totalitas Michelle Yeoh mengolah rasa, bahkan untuk adegan
komedik ringan sekalipun.
Setumpuk masalah kompleks menimpa
Kate, namun seperti tertulis di paragraf pembuka, naskahnya cuma berfokus pada
nilai daripada kualitas penceritaan. Berbasis pada konsep keajaiban Natal,
filmnya melakukan simplifikasi tatkala seluruh konflik usai begitu saja begitu
Kate berhasil memperbaiki diri, yang mana prosesnya juga tidak kalah instan. Beruntung
kita takkan keberatan menyaksikan perubahan Kate, sebab dengan semua sifat
buruknya, sosoknya tetap simpatik berkat penampilan Emilia Clarke.
Walau tampil apik di Me Before You (2016) dan Solo: A Star Wars Story (2018), di
sinilah talenta sang aktris dimanfaatkan seutuhnya. Sesuatu yang sangat Clarke
butuhkan guna lepas dari bayang-bayang Game
of Thrones. Clarke mampu mengubah sinisme dan sikap apatis jadi kejenakaan loveable, lalu saat akhirnya Kate sukse
mengentaskan diri dari jurang kesengsaraan, senyum lebarnya bakal membuatmu
ikut merasakan kebahagiaan. Henry Golding jadi tandem sempurna dengan pesona
bak Prince Charming dari negeri
dongeng sebagaimana telah ditunjukkannya di Crazy
Rich Asians.
Membungkus pertemuan dua hati itu
adalah penyutradaraan Paul Feig (Bridesmaids,
Spy, A Simple Favor) yang tahu caranya menangkap romantisme berlatar
kelap-kelip indah hiasan lampu Natal, sembari masih meninggalkan jejak
kelihaiannya memvisualisasikan komedi. Euforia serta kehangatan adegan musikal
selaku penutup pun mampu dihantarkan Feig, yang efeknya akan lebih kuat andai
sebelumnya tidak ada gangguan berupa twist melodramatis
ala Nicholas Sparks, yang kemunculannya bisa ditebak hanya dengan membaca dua
kalimat dari lirik salah satu lagu George Michael.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
1 komentar :
Comment Page:❤️❤️❤️
Posting Komentar