THE CLOSET (2020)

Tidak ada komentar
Apa kaitan keluarga disfungsional dengan lemari? Ada anak yang menjadikan lemari sebagai tempat sembunyi saat semua tekanan terlampau berat, ada pula mereka yang dikurung di lemari sebagai bentuk hukuman dari orang tua. Lemari jamak jadi sarana menakut-nakuti dalam horor, tapi jarang yang memberinya substansi seperti The Closet, sebuah kisah saat penderitaan bocah-bocah memanggil sesosok arwah.

Sang-won (Ha Jung-woo), seorang arsitek, dan puterinya, Yi-na (Heo Yool), baru pindah ke rumah baru yang berdekatan dengan alam. Kepindahan tersebut bertujuan untuk memperbaiki hubungan mereka yang canggung, pasca kecelakaan maut yang menelan nyawa istri Sang-won. Akibat kecelakaan itu pula Sang-won kerap terkena serangan kepanikan. Masalahnya, Yi-na selalu diam. Boneka-boneka impor mahal yang menurut Sang-won diinginkan puterinya, sama sekali tak disentuh.

Di situlah masalahnya. Komunikasi nyata tidak pernah terjadi, dan Sang-won tak pernah menanyakan, apa yang sebenarnya Yi-na mau. “Orang tua menentukan hal terbaik bagi anak tanpa mencari tahu apa keinginan si anak”. Kim Kwang-bin selaku sutradara sekaligus penulis naskah menyelipkan konflik—yang entah sudah diangkat berapa ratus ribu kali oleh film dari beraneka genre—ke dalam pola horor formulaik yang punya elemen-elemen alur familiar: Yi-na mulai berubah setelah bertemu “teman” yang berasal dari lemari kamarnya, hingga kemudian ia menghilang. Bahkan third act-nya kembali menghadirkan perjalanan memasuki alam lain.

The Closet memang punya kisah klise. Pembedanya terletak di subteks perihal pola asuh dan penelantaran anak, yang selepas terkuaknya jawaban misteri, terasa semakin kelam nan menyakitkan. Terlebih, pengadeganan Kwang-bin (yang menyertakan senyum menyeramkan Park Sung-woong) mampu menguatkan nuansa disturbing pada momen tersebut. Seringkali, horor di kehidupan sehari-hari memang tidak kalah mengerikan dibanding teror makhluk halus. Ada pula sentilan mengenai media framing, yang sayangnya sekadar numpang lewat.

Sebagaimana menu kegemaran Guillermo del Toro, The Closet menampilkan tragedi, ditambah hantu-hantu sedih yang sejatinya (juga) merupakan korban. Hantu-hantu yang dihidupkan oleh tata rias yang tampak cukup realistis. Desainnya mungkin tak seberapa kreatif (bola mata putih, luka-luka di sekitar mata), tapi setidaknya menyimpan arti, bukan cuma “agar wajah mereka kelihatan rusak”, mengingat hantu di sini dipanggil “The Blinded”.

Tapi elemen tragedi itu memberi dampak negatif di klimaks, tatkala Kwang-bin lebih fokus menampilkan melodrama daripada membangun ketegangan. Padahal, sepanjang durasi, sang sutradara telah menunjukkan kapasitas mengemas teror melalui beberapa jump scare yang berhasil mengejutkan berkat ketepatan timing, meski terkadang volume musiknya berlebihan.

Di luar genre horor yang selalu diminati, daya tarik terbesar The Closet jelas keterlibatan Ha Jung-woo. Bersama Kim Nam-gil yang memerankan Kyung-hoon si pengusir setan, dia melahirkan dynamic duo, yang bermodalkan kepribadian berlawanan keduanya (Sang-won serius, sementara Kyung-hoon gemar bercanda dan sering bersikap semaunya), kerap memproduksi interaksi menarik, bahkan tak jarang menggelitik, termasuk sebuah humor meta tentang film terbesar Ha Jung-woo.

Tidak ada komentar :

Comment Page: