BLOW THE MAN DOWN (2019)
Rasyidharry
April 27, 2020
Annette O'Toole
,
Bridget Savage Cole
,
Comedy
,
Danielle Krudy
,
June Squibb
,
Lumayan
,
Marceline Hugot
,
Margo Martindale
,
Morgan Saylor
,
Mystery
,
REVIEW
,
Sophie Lowe
,
Thriller
1 komentar
Kota itu bernama Easter Cove. Kota
kecil di mana setiap penduduk saling kenal, dan (tentunya) saling membicarakan
di belakang. Kota yang dingin pula. Matahari seolah tidak pernah bersinar
sepenuhnya untuk melelehkan tumpukan salju. Juga kota yang kental dengan
maskulinitas, bahkan saat pertama menjejakkan kaki di sana, kita langsung
disambut oleh deretan nelayan berjanggut yang bernyanyi lantang bak pelaut yang
tak kenal takut.
Tapi itu cuma kulit luar, sebab
dalam debut mereka, duo sutradara sekaligus penulis naskah Bridget Savage Cole
dan Danielle Krudy menjadikan kota yang “sangat laki-laki” ini sebagai panggung
bagi kisah mengenai perempuan-perempuan yang bersatu (walau dalam kubu
masing-masing) dalam rangka “menangani situasi”. Situasi macam apa? Well, ini sedikit rumit.
Perkenalkan dua bersaudari
Connolly, Mary Beth (Morgan Saylor) dan Priscilla (Sophie Lowe). Sifat keduanya
berlawanan. Jika sang kakak, Priscilla, bak tipikal anak baik yang sederhana,
maka Mary Beth lebih berapi-api, egosentris, dan gemar menghabiskan malam di bar.
Saylor dan Lowe mampu membangun dinamika kuat berdasarkan penokohan bertolak
belakang tersebut, saling berdebat sebagaimana biasanya kakak-adik. Di siang
hari, keduanya baru saja memakamkan sang ibu, namun siapa sangka, pada malam
hari, mereka harus memakamkan orang lain. Seorang pria bernama Gorski (Ebon
Moss-Bachrach) yang ditemui Mary Beth di bar.
Kata “memakamkan” sebenarnya kurang
pas. Berniat mabuk-mabukkan sebagai “pembuka” sebelum lanjut berhubungan seks,
Mary Beth terkejut saat mendapati darah segar di bagasi mobil Gorski. Sempat
terlibat kejar-kejaran, Mary Beth berakhir menusuk Gorski dengan sebuah harpun lalu
memukul kepalanya memakai batu bata. Di dalam situasi yang mewakili unsur
komedi hitam filmnya, Mary Beth dan Priscilla berusaha menghilangkan mayat
tersebut, termasuk dengan memotong tangan Gorski, memasukkannya ke dalam kotak
pendingin, lalu membuangnya ke laut.
Selesai? Tentu tidak. Cole dan
Krudy seolah menerapkan catatan yang mereka buat kala menonton film-film Coen
Bersaudara. Humor gelap, latar kota kecil, penemuan mayat, hingga konflik-konflik
terpisah yang kelak terhubung pasca melalui banyak belokan, walau kalau harus
dibandingkan dengan Coen Bersaudara, Cole-Krudy belum seliar itu. Termasuk
perihal misteri, yang kurang berhasil memainkan elemen kejutan dan
ketidaktahuan. Mayoritas poin penting sudah terpampang nyata di depan mata sedari
awal, meski setidaknya, kedua sutradara memahami pernyataan “some questions are better left unanswered”,
lalu membiarkan beberapa ambiguitas bertahan sampai film usai.
Menambah kompleksitas adalah
kehadiran tokoh-tokoh wanita berumur. Ada trio Susie (June Squibb), Gail
(Annette O’Toole), dan Doreen (Marceline Hugot), sahabat mendiang ibu
protagonis kita, yang tengah berencana menutup Oceanview, rumah prostitusi
milik Enid (diperankan Margo Martindale lewat wibawa serta aura intimidatif
yang bakal membuat siapa saja berpikir ulang untuk menghadapinya seorang diri).
Sekilas, mereka bertiga adalah trio moralis menyebalkan, sementara Enid
merupakan figur yang mementingkan “the
greater good” dengan membawa kebaikan melalui apa yang dipandang
orang-orang buruk. Tapi benarkah demikian?
Sebuah mayat ditemukan terdampar.
Awalnya Priscilla takut bahwa itu adalah mayat Gorski, sampai polisi mengidentifikasinya
sebagai salah satu gadis yang bekerja di Oceanview. Gadis itu tewas ditembak
sebelum ditenggelamkan. Trio moralis kita percaya bahwa Enid ada di balik kematian
sang gadis. Apakah itu sebatas tuduhan licik demi memulukan langkah mereka
menutup Oceanview? Ataukah Enid memang sejahat yang dituduhkan? Apalagi di
adegan awal, kita melihat Enid, dari balik jendela, dengan dingin menyaksikan
kekerasan yang dilakukan seorang pria kepada wanita. Apakah ada kaitannya?
Balutan misterinya mungkin tak
menyimpan twist mengejutkan, tapi lain
cerita soal studi karakter. Studi mengenai (sebagaimana saya tulis di paragraf
atas) para wanita yang dihadapkan pada proses “menangani situasi”. Sepanjang
jalan kita diajak mengamati, bagaimana Mary Beth dan Priscilla, Enid, maupun
trio wanita tua moralis, harus menyelesaikan permasalahan yang menuntut mereka
menanggalkan kekakuan pikir. Dan apakah Susie-Doreen-Gail memang tiga orang gila
moral? Women stand together for each
other. Itulah yang ingin disampaikan Blow
the Man Down.
Available on PRIME VIDEO
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
1 komentar :
Comment Page:Sebenarnya konflik antara 3 nenek dan Enid itu apa sih? Masih belum paham
Posting Komentar