THE WAY BACK (2020)
Rasyidharry
April 22, 2020
Ben Affleck
,
Brad Ingelsby
,
Drama
,
Gavin O'Connor
,
Janina Gavankar
,
Lumayan
,
REVIEW
,
Sports
2 komentar
Lepas dari kostum Batman, Ben
Affleck kembali memerankan pria berkehidupan kelam yang terluka akibat tragedi
masa lalu. Tapi saat The Caped Crusader merupakan
salah satu hasil kerja paling mengecewakan dari sang aktor (walau ia meyakinkan
sebagai Bruce Wayne dengan tampilan fisik bak versi live action serial legendaris Batman:
The Animated Series), The Way Back jadi
salah satu performa terbaiknya. Mungkin Afflect tidak memerlukan topeng untuk
tampil maksimal, sebagaimana karakternya dalam film ini, yang perlu membuka
diri guna beranjak dari “lubang hitam”.
Affleck memerankan Jack Cunningham,
seorang pekerja konstruksi yang tiap hari menenggelamkan diri dalam alkohol. Sepulang
kerja ia mampir ke bar, saat mandi ia membawa sekaleng bir, sembari kerja pun
ia diam-diam membekali diri dengan minuman keras. Istrinya, Angela (Janina
Gavankar), meninggalkannya dan kini telah menata ulang hidup dengan memperoleh
pekerjaan mapan serta menemui pria baru. Berbeda dengan Jack, Angela tidak menatap
dunia melalui sudut pandang yang kelam.
Apa yang membuat Jack punya sudut
pandang tersebut? Pelan-pelan The Way
Back bakal mengungkapnya. Alasan kehancuran Jack, maupun hal-hal lain
seperti proses penebusan kesalahan hingga elemen drama olah raga yang filmnya
miliki, sejatinya klise. Tapi naskah buatan Brad Ingelsby, yang kemudian
diterjemahkan oleh penyutradaraan Gavin O'Connor (Warrior, The Accountant), berusaha menjauhkan diri dari pendekatan
klise dengan menekan dramatisasi, yang membiarkan penonton menyimpulkan secara
mandiri, fakta-fakta mengejutkan nan menyakitkan seputar karakternya.
Jack memang pemabuk, tapi saya bisa
berempati dengan kejengahannya, dengan betapa mengesalkan saat kamu sedang
jatuh, orang-orang justru rutin melempar kritik, bertanya, “Kenapa kamu
menghancurkan hidupmu? Kenapa kamu tidak bangkit?”, tanpa memahami rasa
sakitnya. Apalagi sang istri meninggalkannya. Tentu Angela tidak keliru. Dia
pun terluka. Dia pantas memperbaiki kehidupannya. Tapi tidak bisa disangkal, itu
memperburuk kondisi Jack.
Di sinilah akting Ben Affleck
berkontribusi. Bermain subtil, Affleck bukan mengimitasi rasa sakit lewat tampilan
luar. Seolah rasa sakit itu benar-benar menggerogoti dari dalam, menciptakan
kerapuhan yang tak sampai membuat penonton membencinya. Kita ingin ia bangkit,
termasuk saat Jack ditawari melatih tim basket SMA Katolik Bishop Hayes, tempat
di mana dahulu Jack dikenal sebagai salah satu pemain terbaik di kalangan
pelajar.
Seperti sudah saya sebut, The Way Back turut merambah keklisean
drama olah raga. Serupa Jack, kondisi Bishop Hayes tengah hancur-hancuran.
Prestasi tiarap, kuantitas tim terbatas, sementara para pemain tak punya
disiplin memadai. Arahnya mudah ditebak. Kedua belah pihak akan saling
menyadarkan. Masalahnya, tidak ada keintiman antara Jack dengan anak-anak
asuhnya. Interaksi mereka di luar pertandingan dan pembahasan taktik begitu
terbatas, untuk bisa membuat penonton merasa terikat, kemudian mendukung aksi
mereka di lapangan.
Gavin O'Connor memang handal
mengolah drama secara elegan, tapi tidak soal unsur olah raga. Sekuen
latihannya, jangankan menambah insight mengenai
basket, menghibur dan menyulut adrenalin pun tidak. Begitu pun pertandingannya,
yang kebanyakan cuma diisi potongan-potongan momen singkat yang tak signifikan,
seperti rangkaian highlights yang footage-nya tak diseleksi. O’Connor
gagal membuat penonton melebur dalam ketegangan aksi saling kejar skor.
The Way Back bisa saja terus menempuh jalur formulaik, berhenti
pada titik yang oleh film kebanyakan, bakal dipakai sebagai puncak kejayaan
karakternya. Alih-alih demikian, Brad Ingelsby justru membawa kisahnya terus
berlanjut, membuat filmnya seolah memiliki babak keempat. Keputusan itu
dilakukan sebagai bentuk penolakan simplifikasi terhadap dinamika psikis
individu yang tengah berduka. Andai memilih konklusi sesuai formula, The Way Back hanya akan membuat
protagonisnya mengejar hari kemarin, bergantung pada “the good old glorious day”. Tapi “the good old glorious day” tersebut hanya dijadikan pijakan untuk
memasuki kejayaan sesungguhnya. Jack mengintip sisi manis masa lalu guna menghadapi
kepahitan yang juga telah lalu, kembali ke sosok lamanya yang lebih baik, lalu berusaha
melangkah maju.
Available on CATCHPLAY
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
2 komentar :
Comment Page:Iya sih bang. Pas baca sinopsisnya mirip2 film kayak coach carter. Tp emang feel pertandingannya kurang greget. Mungkin penulis naskahnya bingung mau buat film drama olahraga atau studi karakter alkoholik gitu kali ya ?
Nggal juga. Tujuannya jelas kok kayak udah ditulis di paragraf terakhir.
Posting Komentar