THE WILLOUGHBYS (2020)
Rasyidharry
April 23, 2020
Alessia Cara
,
Animated
,
Cukup
,
Jane Krakowski
,
Kris Pearn
,
Mark Stanleigh
,
Martin Short
,
Maya Rudolph
,
REVIEW
,
Seán Cullen
,
Will Forte
3 komentar
Mary Poppins, The Wizard of Oz, Charlie and the Chocolate Factory, hingga The Addams Family (tata artistiknya
ditangani Kyle McQueen yang juga menangani versi animasi The Addams Family), adalah judul-judul yang memberi inspirasi kuat
terhadap adaptasi buku berjudul sama buatan Lois Lowry ini. Pun ucapan si
kucing narator (Ricky Gervais) tentang bagaimana filmnya bukan kisah manis penuh
cinta kasih keluarga yang berakhir bahagia pun mengingatkan pada A Series of Unfortunate Events.
Menilik deretan referensi di atas,
timbul pertanyaan: Apakah The Willoughbys
seaneh itu?. Ya. Apakah kisahnya tidak (berusaha tampil) manis? Tidak juga.
Nuansa sentimentil tetap hadir dalam tuturannya mengenai keluarga. Bahwa
keluarga yang sesungguhnya tidak harus punya ikatan darah denganmu. Bahwa kamu
bisa memilih siapa keluargamu. Dan di situ letak masalahnya. The Willoughbys kesulitan menyeimbangkan
opsi-opsi pendekatannya. Apakah animasi semua umur atau dewasa? Apakah animasi mean-spirited atau heartwarming?
The Willoughbys adalah keluarga
dengan sejarah panjang, yang tinggal di sebuah rumah kuno di tengah-tengah kota
modern. Dahulu nama keluarga ini begitu tersohor. Dengan kumis tebal berwarna
merah yang bahkan juga dipunyai para wanita, leluhur Willoughby melakukan
beragam hal luar biasa. Sekarang kondisinya berbeda. Mr. dan Mrs. Willoughby
(Martin Short dan Jane Krakowski) terlalu sibuk berasyik masyuk. Dahulu nama
keluarga ini begitu tersohor, tapi saat Tim (Will Forte) si putera sulung
lahir, hanya nama yang orang tuanya beri padanya. Tidak ada perhatian, nihil
kasih sayang. Bahkan jika berbuat “nakal”, Tim dikurung dalam gudang batu bara
oleh sang ayah.
Mengetahui sejarah panjang
keluarga, Tim terobsesi (baca: terbebani) oleh nama “Willoughby”. Dia ingin
menjadi Willoughby hebat yang mengembalikan kejayaan keluarga. Sering ia
mencoba berlagak tangguh, bahkan tak jarang, tanpa belas kasihan. Sebuah
pengingat betapa beban sebuah nama dapat menghasilkan dampak negatif bagi sang
penerus, juga soal pengaruh buruknya pola asuh. Anak mungkin membenci orang tua
akibat perlakuan tak menyenangkan yang diterima, tapi tanpa disengaja, mungkin
saja terjadi mirroring, dan kelak
sang anak menjadi sama seperti orang tuanya.
Saya marah menyaksikan tingkah Mr.
dan Mrs. Willoughby, karena semua itu tidak dibuat-buat. Orang tua yang
menganggap anak sebagai beban bukan pemandangan langka. Walau demikian, banyak
dari mereka melanjutkan proses reproduksi. Total ada empat anak di keluarga
Willoughbys. Selain Tim, ada Jane (Alessia Cara) si gadis penyayang, dan si
kembar Barnaby (Seán Cullen) yang punya nama sama, mungkin karena orang tuanya
malas memikirkan dua nama, atau malah tidak sadar kalau putera bungsu mereka
kembar.
Keempatnya hidup menderita. Keempatnya
diberi jatah makanan sisa kemarin, yang mana selalu orang tua mereka habiskan.
Siapa yang memasak untuk keluarga ini? Bukankah tidak ada pelayan? Tapi saya
rasa logika semacam itu tidak berlaku. Bahkan untuk standar animasi, The Willoughbys tergolong “di luar nalar”.
Ini adalah film yang menempatkan seekor kucing sebagai narator. Ini adalah film
di mana empat anak kecil berusaha menjadi yatim piatu.
Memang gelap. Bahkan Linda (Maya
Rudolph) si pengasuh eksentrik yang baik hati punya masa lalu yang tidak diisi
tawa riang. Bagaimanapun juga ini adalah cerita tentang pengabaian. Anak-anak
Willoughbys menemukan bayi yang ditinggalkan dalam kotak di depan gerbang rumah
mereka. Jane ingin merawat sang bayi—yang oleh Tim diberi nama Ruth (dari kata “ruthless”)—namun ditentang orang tuanya,
yang mengancam bakal mengusir mereka berempat kalau tidak membuang Ruth.
Mulai jengah, Jane pun mencetuskan
ide mengirim Mr. dan Mrs. Willoughby ke sebuah liburan palsu, agar mereka
berempat bisa menjadi yatim piatu. Setelahnya, anda mungkin bisa menduga
peristiwa apa yang menanti, tapi tidak dengan pilihan kreatif dan pendekatan
artistiknya. Siapa sangka karyawan-karyawan yayasan penampungan yatim piatu tampil
bak anggota Men in Black?
The Willoughbys berani tampil kelam, karakter anak-anaknya sempat terjebak
dalam bahaya mematikan yang bahkan lebih mengerikan dibanding klimaks Toy Story 3, mengingat mereka adalah
anak-anak manusia sungguhan. Dan tidak seperti animasi heartwarming, tidak ada penebusan dosa di konklusi film ini. Walau
demikian, sutradara Kris Pearn (Cloudy
with a Chance of Meatballs 2, 2013) membalut visualnya dengan pelangi dan
banjir permen beraneka warna.
Tapi bukan itu masalahnya,
melainkan ketidakmulusan The Willoughbys beralih
tone dari suasana kelam yang sesekali
kejam menuju rasa manis jelang konklusi. Kris Pearn dan Mark Stanleigh selaku
penulis naskah ingin menggabungkan tone serta
bahan baku sebanyak mungkin, yang melahirkan kekacauan plot bertempo cepat,
yang melucuti emosi akibat ketiadaan ruang bagi penonton meresapi rasa.
Begitu pula humornya. Sebuah mixed bag antara banyolan
kekanak-kanakan demi memuaskan audiens luas dengan komedi berorientasi dewasa.
Humor gelapnya lucu sekaligus segar, semisal saat Tim membayangkan berbagai
skenario kematian kedua orang tuanya saat liburan. Sedangkan signifikansi humor
bocahnya patut dipertanyakan. Bersediakah anda mengajak anak, adik, atau
ponakan menonton animasi tentang anak yang berusaha membunuh orang tuanya? Apa anda
siap menjawab jika mereka bertanya kenapa orang tua di film ini berkali-kali
membiarkan anak-anak mereka nyaris mati? Kreativitas The Willoughbys mengagumkan, tapi begitu memutarkannya ke anak,
mungkin anda akan berpikir, “Kenapa aku tidak memutarkan film tentang
sekumpulan trolls yang bisa bernyanyi itu saja ya?”.
Available on NETFLIX
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
3 komentar :
Comment Page:Bang, ada niatan buat review drakor the world of married yang edan dan jahanam itu gak bang?
Kingdom dulu bang. Baru the world of married...
Cukup marah-marah di twitter aja kalo World of Married. Kalo di sini jadi kebanyakan kata kasar nanti
Kalo Kingdom, well, season 1 luar biasa bosennya. Season 2 baru itu keren
Posting Komentar