JUST MERCY (2019)

1 komentar
Seorang terpidana mati kulit hitam mendengar pernyataan jaksa penuntut yang berbunyi, “Aku tahu kamu adalah pembunuh hanya dengan melihat wajahmu”. Sementara dalam sidang terhadap veteran Perang Vietnam pengidap PTSD yang akhirnya dijatuhi hukuman mati (juga berkulit hitam), seorang hakim menyebut bahwa rehabilitasi adalah sebuah lelucon. Menurut sang veteran, setidaknya di Vietnam dia berkesempatan mempertahankan hidup. Apakah hukuman hati lebih buruk daripada perang? Atau lebih menyakitkan lagi, apakah berkulit hitam lebih mematikan ketimbang terjun ke medan perang?

Just Mercy merupakan adaptasi memoar Just Mercy: A Story of Justice and Redemption buatan Bryan Stevenson (versi filmnya diperankan Michael B. Jordan), pengacara yang mengkhususkan diri membela para terpidana mati yang tak memperoleh pembelaan secara layak. Bersama Eva Ansley (Brie Laron), ia mendirikan badan non-profit Equal Justice Initiative (EJI) di Alabama. Mengapa Alabama? Sebab di sanalah tindak rasisme pada penerapan hukum, yang berujung pada individu tak bersalah mendapat hukman mati, banyak terjadi. Salah satunya menimpa Walter “Johnny D.” McMillian (Jamie Foxx).

Johnny D. adalah tukang kayu yang dituduh membunuh seorang gadis kulit putih 18 tahun. Hanya berdasarkan pengakuan rancu narapidana bernama Ralph Myers (Tim Blake Nelson), pun tanpa bukti memadai, Johnny D. dijatuhi hukuman mati. Terdapat ironi. Johnny D. berasal dari Monroeville, Alabama, yang dikenal sebagai rumah untuk To Kill a Mockingbird. Beberapa karakternya bahkan membanggakan keberadaan museum selaku tribute untuk novel klasik karya Harper Lee, yang jadi simbol keadilan hukum dan antirasisme itu. Mereka membanggakan itu, seolah ingin menegaskan, “Kami tidak rasis. Mana mungkin masyarakat Monroeville, rumah To Kill a Mockingbird, rasis.”. Ya, sama seperti orang yang mengaku tidak rasis hanya karena memiliki teman berkulit hitam.

Mengamati perjuangan Stevenson, timbul beberapa pertanyaan. Bila seorang terpidana mati ternyata memang seorang kriminal keji, apakah secara moral ia layak dibela? Bagaimana pertentangan batin Stevenson kala membela seseorang yang sungguh bersalah? Just Mercy sayangnya tidak menyentuh pertanyaan-pertanyaan kompleks tersebut. Para terpidana mati di film ini seluruhnya adalah korban ketidakadilan berbasis rasisme. Tapi tak apa. Itu pembicaraan untuk lain waktu. Mengacu pada title card di akhir film yang menyatakan kalau satu dari sembilan terpidana mati di Amerika Serikat sejatinya tidak bersalah, apa yang diangkat Just Mercy lebih mendasar, dengan urgensi lebih besar.

Walau berbentuk legal drama, filmnya lebih banyak memperlihatkan insiden-insiden rasisme ketimbang membicarkan seluk beluk legalitas yang bisa memusingkan penonton awam. Mengapa sutradara Destin Daniel Cretton (Short Term 12, Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings) yang turut menulis naskahnya bersama Andrew Lanham memakai pendekatan demikian? Sebab dalam konteks filmnya, ketidakadilan hukum terjadi akibat rasisme.

Just Mercy berusaha memprovokasi (bukan dalam artian negatif), guna menggiring penonton agar mengecam ketidakadilan tersebut, melalui adegan-adegan emosional, misalnya saat tanpa alasan jelas, Stevenson dihadang oleh dua polisi patroli. Penyutradaraan Cretton mampu menghadirkan efek dramatis yang ampuh menyulut amarah. Mungkin bagi sebagian kalangan, Cretton menempuh jalan yang terlalu mudah. Terlalu blatant. Tapi adakah cara subtil untuk mempresentasikan isu ini? Kalau pun ada, apakah diperlukan? Rasanya tak perlu kesan elegan atau lembut untuk mengemas masalah brutal semacam ini, selama sudut pandangnya bijak. Keberadaan Eva dan sesosok sipir muda kulit putih baik hati sudah cukup menunjukkan kebijaksanaan itu.

Di jajaran penampil, Tim Blake Nelson bermain solid sebagai narapidana yang mengalami konflik hati, sedangkan Jamie Foxx—yang berhasil meraih nominasi Outstanding Performance by a Male Actor in a Supporting Role dalam SAG Awards tahun ini—mampu mengolah emosi dengan kuat. Pun Michael B. Jordan punya kepercayaan diri seorang pengacara muda yang kompeten namun naif. Kepercayaan dirinya berasal dari ketidaktahuan tentang seberapa keji realita. Dan Just Mercy merupakan proses belajarnya menempa ketangguhan tanpa harus kehilangan hati.


Available on CATCHPLAY

1 komentar :

Comment Page:
Unknown mengatakan...

Jadi inget A Time To Kill....