JUST MERCY (2019)
Rasyidharry
April 18, 2020
Andrew Lanham
,
Bagus
,
Biography
,
Brie Larson
,
Destin Daniel Cretton
,
Jamie Foxx
,
Michael B. Jordan
,
REVIEW
,
Tim Blake Nelson
1 komentar
Seorang terpidana mati kulit hitam mendengar
pernyataan jaksa penuntut yang berbunyi, “Aku tahu kamu adalah pembunuh hanya
dengan melihat wajahmu”. Sementara dalam sidang terhadap veteran Perang Vietnam
pengidap PTSD yang akhirnya dijatuhi hukuman mati (juga berkulit hitam), seorang
hakim menyebut bahwa rehabilitasi adalah sebuah lelucon. Menurut sang veteran,
setidaknya di Vietnam dia berkesempatan mempertahankan hidup. Apakah hukuman
hati lebih buruk daripada perang? Atau lebih menyakitkan lagi, apakah berkulit
hitam lebih mematikan ketimbang terjun ke medan perang?
Just Mercy merupakan adaptasi memoar Just Mercy: A Story of Justice and Redemption buatan Bryan
Stevenson (versi filmnya diperankan Michael B. Jordan), pengacara yang
mengkhususkan diri membela para terpidana mati yang tak memperoleh pembelaan
secara layak. Bersama Eva Ansley (Brie Laron), ia mendirikan badan non-profit
Equal Justice Initiative (EJI) di Alabama. Mengapa Alabama? Sebab di sanalah
tindak rasisme pada penerapan hukum, yang berujung pada individu tak bersalah
mendapat hukman mati, banyak terjadi. Salah satunya menimpa Walter “Johnny D.”
McMillian (Jamie Foxx).
Johnny D. adalah tukang kayu yang
dituduh membunuh seorang gadis kulit putih 18 tahun. Hanya berdasarkan
pengakuan rancu narapidana bernama Ralph Myers (Tim Blake Nelson), pun tanpa
bukti memadai, Johnny D. dijatuhi hukuman mati. Terdapat ironi. Johnny D.
berasal dari Monroeville, Alabama, yang dikenal sebagai rumah untuk To Kill a Mockingbird. Beberapa
karakternya bahkan membanggakan keberadaan museum selaku tribute untuk novel klasik karya Harper Lee, yang jadi simbol keadilan
hukum dan antirasisme itu. Mereka membanggakan itu, seolah ingin menegaskan, “Kami
tidak rasis. Mana mungkin masyarakat Monroeville, rumah To Kill a Mockingbird, rasis.”. Ya, sama seperti orang yang mengaku
tidak rasis hanya karena memiliki teman berkulit hitam.
Mengamati perjuangan Stevenson,
timbul beberapa pertanyaan. Bila seorang terpidana mati ternyata memang seorang
kriminal keji, apakah secara moral ia layak dibela? Bagaimana pertentangan
batin Stevenson kala membela seseorang yang sungguh bersalah? Just Mercy sayangnya tidak menyentuh
pertanyaan-pertanyaan kompleks tersebut. Para terpidana mati di film ini
seluruhnya adalah korban ketidakadilan berbasis rasisme. Tapi tak apa. Itu
pembicaraan untuk lain waktu. Mengacu pada title
card di akhir film yang menyatakan kalau satu dari sembilan terpidana mati
di Amerika Serikat sejatinya tidak bersalah, apa yang diangkat Just Mercy lebih mendasar, dengan
urgensi lebih besar.
Walau berbentuk legal drama, filmnya lebih banyak
memperlihatkan insiden-insiden rasisme ketimbang membicarkan seluk beluk
legalitas yang bisa memusingkan penonton awam. Mengapa sutradara Destin Daniel
Cretton (Short Term 12, Shang-Chi and the
Legend of the Ten Rings) yang turut menulis naskahnya bersama Andrew Lanham
memakai pendekatan demikian? Sebab dalam konteks filmnya, ketidakadilan hukum
terjadi akibat rasisme.
Just Mercy berusaha memprovokasi (bukan dalam artian negatif),
guna menggiring penonton agar mengecam ketidakadilan tersebut, melalui
adegan-adegan emosional, misalnya saat tanpa alasan jelas, Stevenson dihadang oleh
dua polisi patroli. Penyutradaraan Cretton mampu menghadirkan efek dramatis
yang ampuh menyulut amarah. Mungkin bagi sebagian kalangan, Cretton menempuh
jalan yang terlalu mudah. Terlalu blatant.
Tapi adakah cara subtil untuk mempresentasikan isu ini? Kalau pun ada,
apakah diperlukan? Rasanya tak perlu kesan elegan atau lembut untuk mengemas
masalah brutal semacam ini, selama sudut pandangnya bijak. Keberadaan Eva dan
sesosok sipir muda kulit putih baik hati sudah cukup menunjukkan kebijaksanaan
itu.
Di jajaran penampil, Tim Blake
Nelson bermain solid sebagai narapidana yang mengalami konflik hati, sedangkan
Jamie Foxx—yang berhasil meraih nominasi Outstanding
Performance by a Male Actor in a Supporting Role dalam SAG Awards tahun ini—mampu
mengolah emosi dengan kuat. Pun Michael B. Jordan punya kepercayaan diri seorang
pengacara muda yang kompeten namun naif. Kepercayaan dirinya berasal dari
ketidaktahuan tentang seberapa keji realita. Dan Just Mercy merupakan proses belajarnya menempa ketangguhan tanpa
harus kehilangan hati.
Available on CATCHPLAY
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
1 komentar :
Comment Page:Jadi inget A Time To Kill....
Posting Komentar