Tampilkan postingan dengan label Ben Affleck. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ben Affleck. Tampilkan semua postingan

REVIEW - THE LAST DUEL

The Last Duel diangkat dari buku non-fiksi The Last Duel: A True Story of Trial by Combat in Medieval France karya Eric Jager. Latarnya tahun 1386, tapi ini bukan pengingat mengenai masa lampau, melainkan tamparan, bahwa dibanding enam abad lalu, cara masyarakat menyikapi kasus pemerkosaan, termasuk pendefinisian terhadapnya, belum mengalami perkembangan signifikan. 

Sebelum menyelami isunya, satu hal yang langsung mencuri perhatian adalah tata artistik. Desain produksinya melahirkan latar medieval kelas satu, yang mana makin jarang kita temui, pada era di mana film medieval berbiaya ratusan juta dollar mendekati kepunahan (situasi yang sejatinya bisa dipahami melihat remuknya pendapatan The Last Duel). 

Naskah buatan Nicole Holofcener bersama Matt Damon dan Ben Affleck, yang kembali berduet menulis sejak Good Will Hunting (1997), tampil bak Rashomon (1950), membagi kisah menjadi tiga babak, guna mengolah konsep "perspektif". Tapi berbeda dengan karya Akira Kurosawa tersebut, di sini penonton diberi tahu mana kebenaran sesungguhnya. 

Tiga figur utamanya adalah Jean de Carrouges (Matt Damon), Jacques le Gris (Adam Driver), dan Marguerite de Carrouges (Jodie Comer). Kerap terjun ke medan perang bersama, Jean dan Jacques adalah kawan baik. Setidaknya sampai perbedaan nasib merenggangkan keduanya. Karir Jacques moncer pasca jadi orang kepercayaan Count Pierre (Ben Affleck), sebaliknya, Jean terlilit masalah finansial. 

Konflik meruncing setelah Marguerite, istri Jean, mengaku diperkosa oleh Jacques. Melalui tiga babak yang masing-masing menyoroti sudut pandang ketiga karakternya, kita dibawa menelusuri kebenaran. Benarkah Jacques memerkosa Marguerite? 

Apabila Rashomon menilik relativitas kebenaran lewat ketiadaan jawaban pasti, maka The Last Duel sebaliknya. Semua versi merupakan kebenaran, dipisahkan oleh perbedaan sudut pandang yang diciptakan misogini. Bagi satu karakter, perkosaan tak terjadi sebab memang itu yang ia percaya. Di mata karakter lain, ia tengah membela martabat wanita, karena begitulah isi kepalanya. Tidak ada kebohongan. Hanya ada kebodohan. 

Bukankah perihal serupa masih kerap terjadi hari ini? Pria merasa sudah meninggikan wanita walau sejatinya tengah merendahkan mereka. Di ranah seksualitas, pria mengesampingkan consent, menutup mata atas penolakan dengan anggapan "Dia mau tapi malu", atau "merupakan tugas istri melayani suami". Alhasil, pertanyaan sesungguhnya bukan "Apakah ada pemerkosaan?", melainkan, "Ada BERAPA pemerkosaan?". 

Segala hal di atas, ditambah penyalagunaan sisi agama yang meringankan pelaku sekaligus memberatkan korban, menghadirkan paralel dengan era sekarang. Sungguh keterlaluan saat manusia modern seperti kita masih bersikap seperti mereka, yang hidup saat pemerkosaan dilihat sebagai aksi kriminal terhadap suami selaku "pemilik properti". 

Naskahnya tidak asal membagi babak. Siapa pertama, kedua, dan ketiga, memiliki maksud. Bukan saja demi twist, pula menyampaikan, bahwa kita harus selalu memercayai korban terlebih dahulu. Setiap babak pun tampil efektif berkat akting kuat jajaran pemain. Comer, Damon, dan Driver memberi perbedaan bagi karakter masing-masing, tergantung bagaimana si "pemilik babak" memandang karakter mereka. 

Salah satu contoh terbaik adalah ketika Jacques mendadak mengunjungi Marguerite. Comer dan Driver melakoni dua interaksi berisi baris kalimat yang kurang lebih sama, tetapi dengan penanganan berbeda terhadap karakter masing-masing. Perubahannya subtil namun pasti. 

Judul The Last Duel merujuk pada tantangan Jean pada Jacques untuk berduel sampai mati sebagai bentuk pengadilan resmi, yang jadi judicial duel terakhir sepanjang sejarah (masih ada duel sampai 1547, namun bukan dalam rangka pengadilan legal). Filmnya mengandung beberapa sekuen peperangan berdarah, yang membuktikan masih piawainya Ridley Scott menyutradarai genre ini, namun "duel terakhir" adalah yang paling intens. 

Sebab di situ kita terlibat secara emosional. Bukan pada dua pria yang sedang beradu fisik, melainkan si wanita yang batinnya bergejolak, kala lukanya justru dijadikan ajang pembuktian maskulinitas. Ibaratnya seperti para aktivis berstandar ganda, yang daripada benar-benar memedulikan korban, lebih mementingkan peningkatan citra. 

(DISNEY+ HOTSTAR)

REVIEW - ZACK SNYDER'S JUSTICE LEAGUE

Saya tidak perlu menjelaskan panjang lebar mengenai bagaimana pergerakan #ReleaseTheSnyderCut berhasil merealisasikan apa yang sebelumnya nampak mustahil. Tapi saya perlu menegaskan, bahwa Zack Snyder's Justice League jauh lebih baik, sekaligus film yang "berbeda" dibanding versi Joss Whedon (saya termasuk sebagian kecil penonton yang cukup menikmatinya).

Kata "berbeda" di sini punya definisi yang tak sederhana. Garis besar alurnya masih sama. Bruce Wayne / Batman (Ben Affleck) membentuk tim metahuman yang terdiri dari Diana Prince / Wonder Woman (Gal Gadot), Arthur Curry / Aquaman (Jason Momoa), Barry Allen / The Flash (Ezra Miller), dan Victor Stone / Cyborg (Ray Fisher), guna menghadapi Steppenwolf (Ciarán Hinds), yang bersama pasukan Parademons miliknya, berusaha mengumpulkan tiga Mother Boxes. Merasa tak cukup kuat, para superhero memutuskan untuk menghidupkan kembali Clark Kent / Superman (Henry Cavill). 

Gagasan dasarnya serupa, namun pengembangannya berbeda. Konon cuma 20% dari versi bioskopnya yang merupakan hasil karya Snyder. Sedangkan 80% sisanya adalah footage baru ditambah modifikasi konsep lama. Sebelum menontonnya, saya termasuk kalangan yang menganggap pernyataan di atas hanya strategi marketing belaka. Sungguh saya keliru. Begitu menyaksikan Snyder Cut, saya bertanya-tanya, bagaimana mungkin jajaran eksekutif Warner Bros. menonton ini, kemudian berujar, "Film ini buruk dan terlalu gelap. Mari buat versi lebih ringan dengan kisah lebih sederhana"?

Tanpa campur tangan Whedon pun, film ini jauh lebih ringan dari Batman v Superman: Dawn of Justice berkat beberapa sentuhan humor, meski masih seperti biasa, Snyder bukan sutradara yang piawai soal comic timing. Soal durasi yang mencapai empat jam (tepatnya 242 menit, dibagi dalam enam babak plus epilog), saya yakin, bila dahulu berkesempatan menyelesaikan visi aslinya, Snyder takkan merilis film sepanjang itu, walau tentunya bakal lebih dari dua jam sebagaimana mandat Warner Bros. (durasi tiga jam seperti Avengers: Endgame rasanya masuk akal). 

Versi ini mencapai empat jam karena Snyder tidak harus menerapkan asas kill your darlings (menghapus bagian-bagian yang dirasa kurang penting, seberapa pun sang pembuat karya mencintainya). Biarpun tidak lebih dari lima menit, turut terdapat adegan baru. Menurut Snyder, "adegan Knightmare" di mana Joker (Jared Leto) dan Batman bertemu, merupakan satu-satunya tambahan, namun saya cukup meyakini, momen penutupnya, tatkala Bruce disambangi oleh cameo salah satu karakter, baru diambil belakangan, mengacu pada konsep cerita dua sekuel Justice League yang tak menyertakan karakter itu, ditambah massa otot Ben Affleck yang berkurang. Harus diakui, beberapa update tersebut adalah wujud fan service menyenangkan, yang memancing rasa penasaran terhadap kelanjutan kisahnya (kini pergerakan RestoreTheSnyderVerse mulai bergema). 

Di luar itu, perbedaan mendasar sudah nampak sejak menit pertama. Momen saat Batman memancing Parademon menggunakan ketakutan seorang pencuri hilang. Bahkan di sini, modus operandi Parademons bukanlah mencium aroma rasa takut, yang otomatis mengubah cara membunuh Steppenwolf. Sebagai gantinya, kita menyaksikan lagi kematian Superman, di mana teriakannya menciptakan gelombang suara begitu kuat, hingga mencapai Atlantis dan Themyscira, yang makin menegaskan bagaimana tragedi itu berdampak luar biasa.

Kemudian Steppenwolf memulai invasinya, dan semakin kentara superioritas Snyder Cut. Tengok pertempuran di Themyscira. Versi Whedon berlangsung cuma lima menit, sedangkan versi Snyder hingga sekitar 10-11 menit. Whedon yang menyebut dirinya feminis, rupanya tidak sehebat Snyder perihal menunjukkan kehebatan prajurit wanita Amazon, yang dengan lantang berteriak, "We have no fear!" kepada Steppenwolf. Dan sungguh Snyder memperlihatkan ketiadaan rasa takut mereka, melalui pertempuran dahsyat yang juga mengandung bobot emosional lebih. Ketimbang sekadar membuat Steppenwolf menerobos keluar dari kuil penyimpanan Mother Box, di sini kuil itu ditenggelamkan bersama puluhan prajurit Amazon. Bukan sebatas tragedi, melainkan pengorbanan berbasis kepahlawanan. 

Kesan di atas makin kentara, lewat bertambahnya unsur kekerasan. Zack Snyder's Justice memang mendapat rating R karena beberapa cipratan darah, yang meski tak sampai membuat filmnya layak dicap "gory", terbukti meningkatkan dampak adegan aksi, bahkan di saat kelemahan CGI masih terasa di sana-sini. Musik gubahan Tom Holkenborg a.k.a. Junkie XL terdengar menggelegar, menambah nuansa epik, yang tak dimiliki buatan Danny Elfman. Bukan berarti hasil karya Elfman buruk, hanya saja, bukan iringan yang pas guna membungkus aksi masif para dewa. Begitu pula rasio aspek 4:3 khas IMAX, sehingga jajaran superhero-nya tampak bak dewa-dewa agung yang berdiri di tengah umat manusia.

Naskah Chris Terrio juga terkatrol kualitasnya, baik soal penokohan maupun penceritaan. Saya mengeluhkan bagaimana Batman v Superman: Dawn of Justice dan Justice League membuat salah satu superhero paling badass sepanjang masa terlihat bak pecundang di hadapan lawan (serta kawan) berkekuatan super. Kali ini, Snyder dan Terrio sanggup menjadikan Batman jauh lebih berguna, tanpa mengsampingkan fakta bahwa ia manusia biasa. Berkat teknologi serta kepintarannya, jangankan melawan Parademons, Batman bisa menahan mata laser Superman, walau cuma sementara. 

Saya bukan penggemar Affleck kala ia mengenakan mantel Batman, namun sebagai Bruce Wayne, ia salah satu yang terbaik (bagi saya, cuma kalah dari Michael Keaton). Penokohan Bruce lebih konsisten, betul-betul memperlihatkan proses perubahannya, dari figur paranoid di Batman v Superman: Dawn of Justice, menjadi, well, paranoid yang lebih memiliki harapan, serta mulai bersedia menaruh kepercayaan terhadap orang lain. 

Cyborg jauh lebih berkembang lagi. Penonton diajak mempelajari betapa luar biasa potensi kekuatannya (penutup trilogi Justice League berencana menjadikannya semacam "dewa teknologi"), pula lebih terikat secara emosional, terkait konflik batin Victor. Kita tahu mengapa ia begitu membenci sang ayah (Joe Morton), mengapa proses tranformasinya begitu memilukan, pun konklusi hubungan ayah-anak tersebut berbeda. Lebih emosional, yang memungkinkan Fisher memberi performa dramatik solid. 

Meski tak sampai meningkatkan kelasnya di jajaran villain film superhero secara signifikan, Steppenwolf tak luput diberi bobot lebih, sebagai pelayan Darkseid (Ray Porter) yang pernah berkhianat, dan tengah berusaha mengembalikan kepercayaan tuannya. Semua terjadi, sebab Snyder benar-benar peduli dan mengenal karakter-karakternya. Alhasil pengarahannya juga sarat sensitivitas, walau dalam bentuk dramatisasi penuh gerak lambat plus musik folk/rock, yang bagi sebagian penonton mungkin dianggap berlebihan. Aksi Barry menyelamatkan Iris (Kiersey Clemons) diiringi lagu Song to the Siren adalah peristiwa "cinta pada pandangan pertama" yang cheesy tetapi manis, sedangkan Distant Sky milik Nick Cave menemani rutinitas Lois Lane (Amy Adams) membeli kopi di pagi hari. Perlukah? Mungkin tidak, tapi bukankah sewaktu patah hati, dirundung duka akibat kehilangan, merindukan seseorang, atau malah gabungan ketiganya, hidup kita memang bagai berada dalam gerak lambat, yang makin terasa "nikmat" jika ditemani rintik hujan dan lagu-lagu sendu? 

Kalau anda seperti saya, yang mempertanyakan cara kerja Mother Boxes di versi bioskop, maka film ini muncul dengan jawaban. Daripada perdebatan mengenai etika yang tak lebih dari versi medioker dari pertengkaran Avengers di The Avengers, "rapat perdana" Justice League berisikan eksposisi tentang itu, sekaligus penjelasan mengapa Superman menjadi individu berbeda ketika dibangkitkan lagi. Lalu saat ingatannya kembali, terdapat penjelasan lebih nyata sekaligus heartful, yang makin emosional berkat What Are You Going to Do When You Are Not Saving the World buatan Hans Zimmer. 

Superioritas Zack Snyder's Justice League makin tidak bisa disangkal begitu mencapai klimaks. Salah satu alasan saya menyukai Justice League adalah kembalinya Superman sebagai beacon of hope, dan nyatanya, Snyder melakukan hal serupa secara lebih baik. Mengenakan kostum hitamnya, Superman muncul, mengucapkan kalimat paling badass sepanjang film, kemudian melancarkan serangan brutal. Masih deus-ex-machina yang overpoweres, tapi kali ini dia tidak bekerja sendirian. Kedatangannya membuat Justice League bekerja lebih efektif sebagai tim. 

Tapi sebagaimana keseluruhan film, poin terbaik klimaksnya terletak pada gagasan besar di universe Snyder, sekaligus bagaimana ia memperlakukan para jagoan layaknya dewa. Misalnya di momen paling jaw-dropping berbalut visual fantastis, tatkala The Flash memamerkan salah satu kekuatan terhebatnya (that somehow mirroring one moment in the third act of 'Avengers: Infinity War', but this time for the heroes' sake). Justice League adalah tim berisi gabungan dewa, yang juga bertarung melawan para dewa, dan Zack Snyder's Justice League memperlakukan mereka sebagaimana mestinya. 


Available on HBO MAX / HBO GO / MOLA TV

THE WAY BACK (2020)

Lepas dari kostum Batman, Ben Affleck kembali memerankan pria berkehidupan kelam yang terluka akibat tragedi masa lalu. Tapi saat The Caped Crusader merupakan salah satu hasil kerja paling mengecewakan dari sang aktor (walau ia meyakinkan sebagai Bruce Wayne dengan tampilan fisik bak versi live action serial legendaris Batman: The Animated Series), The Way Back jadi salah satu performa terbaiknya. Mungkin Afflect tidak memerlukan topeng untuk tampil maksimal, sebagaimana karakternya dalam film ini, yang perlu membuka diri guna beranjak dari “lubang hitam”.

Affleck memerankan Jack Cunningham, seorang pekerja konstruksi yang tiap hari menenggelamkan diri dalam alkohol. Sepulang kerja ia mampir ke bar, saat mandi ia membawa sekaleng bir, sembari kerja pun ia diam-diam membekali diri dengan minuman keras. Istrinya, Angela (Janina Gavankar), meninggalkannya dan kini telah menata ulang hidup dengan memperoleh pekerjaan mapan serta menemui pria baru. Berbeda dengan Jack, Angela tidak menatap dunia melalui sudut pandang yang kelam.

Apa yang membuat Jack punya sudut pandang tersebut? Pelan-pelan The Way Back bakal mengungkapnya. Alasan kehancuran Jack, maupun hal-hal lain seperti proses penebusan kesalahan hingga elemen drama olah raga yang filmnya miliki, sejatinya klise. Tapi naskah buatan Brad Ingelsby, yang kemudian diterjemahkan oleh penyutradaraan Gavin O'Connor (Warrior, The Accountant), berusaha menjauhkan diri dari pendekatan klise dengan menekan dramatisasi, yang membiarkan penonton menyimpulkan secara mandiri, fakta-fakta mengejutkan nan menyakitkan seputar karakternya.

Jack memang pemabuk, tapi saya bisa berempati dengan kejengahannya, dengan betapa mengesalkan saat kamu sedang jatuh, orang-orang justru rutin melempar kritik, bertanya, “Kenapa kamu menghancurkan hidupmu? Kenapa kamu tidak bangkit?”, tanpa memahami rasa sakitnya. Apalagi sang istri meninggalkannya. Tentu Angela tidak keliru. Dia pun terluka. Dia pantas memperbaiki kehidupannya. Tapi tidak bisa disangkal, itu memperburuk kondisi Jack.

Di sinilah akting Ben Affleck berkontribusi. Bermain subtil, Affleck bukan mengimitasi rasa sakit lewat tampilan luar. Seolah rasa sakit itu benar-benar menggerogoti dari dalam, menciptakan kerapuhan yang tak sampai membuat penonton membencinya. Kita ingin ia bangkit, termasuk saat Jack ditawari melatih tim basket SMA Katolik Bishop Hayes, tempat di mana dahulu Jack dikenal sebagai salah satu pemain terbaik di kalangan pelajar.

Seperti sudah saya sebut, The Way Back turut merambah keklisean drama olah raga. Serupa Jack, kondisi Bishop Hayes tengah hancur-hancuran. Prestasi tiarap, kuantitas tim terbatas, sementara para pemain tak punya disiplin memadai. Arahnya mudah ditebak. Kedua belah pihak akan saling menyadarkan. Masalahnya, tidak ada keintiman antara Jack dengan anak-anak asuhnya. Interaksi mereka di luar pertandingan dan pembahasan taktik begitu terbatas, untuk bisa membuat penonton merasa terikat, kemudian mendukung aksi mereka di lapangan.

Gavin O'Connor memang handal mengolah drama secara elegan, tapi tidak soal unsur olah raga. Sekuen latihannya, jangankan menambah insight mengenai basket, menghibur dan menyulut adrenalin pun tidak. Begitu pun pertandingannya, yang kebanyakan cuma diisi potongan-potongan momen singkat yang tak signifikan, seperti rangkaian highlights yang footage-nya tak diseleksi. O’Connor gagal membuat penonton melebur dalam ketegangan aksi saling kejar skor.

The Way Back bisa saja terus menempuh jalur formulaik, berhenti pada titik yang oleh film kebanyakan, bakal dipakai sebagai puncak kejayaan karakternya. Alih-alih demikian, Brad Ingelsby justru membawa kisahnya terus berlanjut, membuat filmnya seolah memiliki babak keempat. Keputusan itu dilakukan sebagai bentuk penolakan simplifikasi terhadap dinamika psikis individu yang tengah berduka. Andai memilih konklusi sesuai formula, The Way Back hanya akan membuat protagonisnya mengejar hari kemarin, bergantung pada “the good old glorious day”. Tapi “the good old glorious day” tersebut hanya dijadikan pijakan untuk memasuki kejayaan sesungguhnya. Jack mengintip sisi manis masa lalu guna menghadapi kepahitan yang juga telah lalu, kembali ke sosok lamanya yang lebih baik, lalu berusaha melangkah maju.


Available on CATCHPLAY

JUSTICE LEAGUE (2017)

Sejak adegan pembuka ketika beberapa bocah merekam wawancara mereka dengan Superman (Henry Cavill), Justice League kentara berpindah dari jalur yang dipasang Man of Steel kemudian dipatenkan Batman v Superman: Dawn of Justice. Si Manusia Baja tersenyum ramah bahkan mau bercanda tentang lambang di dadanya yang mirip huruf "S". Momen singkat itu seketika memperbaiki gambaran Superman sebagai sosok pemanggul harapan pujaan publik. Filmnya pun serupa, mengedepankan harapan, mencerahkan suasana melalui balutan humor, dan mengeliminasi alur rumit tak perlu. Justice League menggiring DCEU (atau apapun namanya) ke jalan yang benar.

Penulisan naskah Chris Terrio sejatinya masih bermasalah. Mengemban obligasi mengenalkan Flash (Ezra Miller), Aquaman (Jason Momoa) dan Cyborg (Ray Fisher), serta memaparkan usaha Batman (Ben Affleck) dan Wonder Woman (Gal Gadot) menyatukan mereka, mengakibatkan lompatan alur kasar (juga kekurangan Batman v Superman) kembali menghantui. Sementara kurang mampunya Zack Snyder menggarap adegan non-aksi menghasilkan pace melelahkan, khususnya sebelum kelima pahlawan bersatu. Satu-satunya fase dramatis kuat adalah reuni Clark dengan sang ibu (Diane Lane), itu pun berkat kepiawaian Lane bermain emosi ketimbang sensitivitas Snyder. Setidaknya, pemberian porsi mengenai duka/masalah personal tiap tokoh sedikit menambah bobot penokohan.
Untungnya ambisi menyusun alur berlapis berbalut filosofi kini ditiadakan. Ini penting, karena kelemahan penceritaan, bobot emosi, atau ancaman medioker dari Steppenwolf (Ciaran Hinds) dan rencananya mengumpulkan Mother Boxes terjadi dalam lingkup kemurnian blockbuster selaku media senang-senang, sehingga pantas ditoleransi. Berlawanan dengan niat Batman v Superman membangun dunia (sok) serius. Dari sini pula, Terrio, dengan sedikit bantuan Joss Whedon diberi jalan menghembuskan nyawa lewat bumbu humor. Belum sepenuhnya mulus, lagi-lagi akibat kecanggungan Snyder mengemas adegan tanpa baku hantam, namun cukup sebagai penghasil dinamika.

Keenam pahlawan kita tidak ragu bersenda gurau selama atau di sela-sela pertempuran. Flash tentu paling mencuri perhatian. Layaknya bocah di antara lima orang dewasa, ia berulang kali melempar celetukan menggelitik sampai sederet tingkah konyol yang sempurna dijalankan oleh Ezra Miller, termasuk "momen intim" dengan Gal Gadot yang rasanya berasal dari otak Joss Whedon. Pahlawan super mana lagi yang memutar video musik K-Pop di markasnya? Momoa lancar memamerkan machismo pewaris tahta Atlantis arogan yang menikmati berada di medan perang, sedangkan Gal Gadot selalu menonjol bersenjatakan pesona dan ketangguhan meyakinkan. Dua nama terbesar, Batman dan Superman justru mengalami nasib saling berlawanan.
Batman bak bahan olok-olok. Tidak memiliki kekuatan super, perannya selaku otak dan ahli teknologi turut tertutup keberadaan Cyborg. Affleck yang makin sering mengutarakan keinginan "gantung jubah" pun tampak malas. Gaya komedi deadpan-nya jelas dihempaskan antusiasme penuh energi Miller, sedangkan karisma sebagai Bruce Wayne yang menonjol di Batman v Superman juga lenyap. Sebaliknya, Superman kini layak menjadi simbol harapan sekaligus ujung tombak tim. Selain ikut bercanda tawa, setelah sekian lama akhirnya kita bisa melihat sisi badass Superman yang menghindari pukulan Steppenwolf sambil tersenyum. Walau sebelumnya, saat ia mengungguli kekuatan Wonder Woman, Aquaman, dan Cyborg, juga kecepatan Flash, sudah cukup memberi penegasan.

Merupakan film DCEU tersingkat sejauh ini (120 menit), ditambah klimaks singkat nan generik, Justice League mungkin bukan epic seperti dugaan banyak pihak. Toh gelaran laga Snyder masih solid, apalagi terkait penggambaran para meta-human kelas berat setingkat dewa yang aksinya sanggup mengobrak-abrik seisi dunia. Film superhero tidak wajib tenggelam di penderitaan atau kisah kompleks guna memikat, dan blockbuster tidak melulu mesti berbentuk epic cinema. Di samping sederet kekurangan penghasil jalan terjal, Justice League memenuhi hakikatnya selaku hiburan ringan menyenangkan sembari membawa franchise-nya ke masa depan yang menarik melalui pengembangan mitologi sebagaimana diperlihatkan lewat sebuah cameo superhero DC lain dan post-credits scene