REVIEW - THE LAST DUEL
The Last Duel diangkat dari buku non-fiksi The Last Duel: A True Story of Trial by Combat in Medieval France karya Eric Jager. Latarnya tahun 1386, tapi ini bukan pengingat mengenai masa lampau, melainkan tamparan, bahwa dibanding enam abad lalu, cara masyarakat menyikapi kasus pemerkosaan, termasuk pendefinisian terhadapnya, belum mengalami perkembangan signifikan.
Sebelum menyelami isunya, satu hal yang langsung mencuri perhatian adalah tata artistik. Desain produksinya melahirkan latar medieval kelas satu, yang mana makin jarang kita temui, pada era di mana film medieval berbiaya ratusan juta dollar mendekati kepunahan (situasi yang sejatinya bisa dipahami melihat remuknya pendapatan The Last Duel).
Naskah buatan Nicole Holofcener bersama Matt Damon dan Ben Affleck, yang kembali berduet menulis sejak Good Will Hunting (1997), tampil bak Rashomon (1950), membagi kisah menjadi tiga babak, guna mengolah konsep "perspektif". Tapi berbeda dengan karya Akira Kurosawa tersebut, di sini penonton diberi tahu mana kebenaran sesungguhnya.
Tiga figur utamanya adalah Jean de Carrouges (Matt Damon), Jacques le Gris (Adam Driver), dan Marguerite de Carrouges (Jodie Comer). Kerap terjun ke medan perang bersama, Jean dan Jacques adalah kawan baik. Setidaknya sampai perbedaan nasib merenggangkan keduanya. Karir Jacques moncer pasca jadi orang kepercayaan Count Pierre (Ben Affleck), sebaliknya, Jean terlilit masalah finansial.
Konflik meruncing setelah Marguerite, istri Jean, mengaku diperkosa oleh Jacques. Melalui tiga babak yang masing-masing menyoroti sudut pandang ketiga karakternya, kita dibawa menelusuri kebenaran. Benarkah Jacques memerkosa Marguerite?
Apabila Rashomon menilik relativitas kebenaran lewat ketiadaan jawaban pasti, maka The Last Duel sebaliknya. Semua versi merupakan kebenaran, dipisahkan oleh perbedaan sudut pandang yang diciptakan misogini. Bagi satu karakter, perkosaan tak terjadi sebab memang itu yang ia percaya. Di mata karakter lain, ia tengah membela martabat wanita, karena begitulah isi kepalanya. Tidak ada kebohongan. Hanya ada kebodohan.
Bukankah perihal serupa masih kerap terjadi hari ini? Pria merasa sudah meninggikan wanita walau sejatinya tengah merendahkan mereka. Di ranah seksualitas, pria mengesampingkan consent, menutup mata atas penolakan dengan anggapan "Dia mau tapi malu", atau "merupakan tugas istri melayani suami". Alhasil, pertanyaan sesungguhnya bukan "Apakah ada pemerkosaan?", melainkan, "Ada BERAPA pemerkosaan?".
Segala hal di atas, ditambah penyalagunaan sisi agama yang meringankan pelaku sekaligus memberatkan korban, menghadirkan paralel dengan era sekarang. Sungguh keterlaluan saat manusia modern seperti kita masih bersikap seperti mereka, yang hidup saat pemerkosaan dilihat sebagai aksi kriminal terhadap suami selaku "pemilik properti".
Naskahnya tidak asal membagi babak. Siapa pertama, kedua, dan ketiga, memiliki maksud. Bukan saja demi twist, pula menyampaikan, bahwa kita harus selalu memercayai korban terlebih dahulu. Setiap babak pun tampil efektif berkat akting kuat jajaran pemain. Comer, Damon, dan Driver memberi perbedaan bagi karakter masing-masing, tergantung bagaimana si "pemilik babak" memandang karakter mereka.
Salah satu contoh terbaik adalah ketika Jacques mendadak mengunjungi Marguerite. Comer dan Driver melakoni dua interaksi berisi baris kalimat yang kurang lebih sama, tetapi dengan penanganan berbeda terhadap karakter masing-masing. Perubahannya subtil namun pasti.
Judul The Last Duel merujuk pada tantangan Jean pada Jacques untuk berduel sampai mati sebagai bentuk pengadilan resmi, yang jadi judicial duel terakhir sepanjang sejarah (masih ada duel sampai 1547, namun bukan dalam rangka pengadilan legal). Filmnya mengandung beberapa sekuen peperangan berdarah, yang membuktikan masih piawainya Ridley Scott menyutradarai genre ini, namun "duel terakhir" adalah yang paling intens.
Sebab di situ kita terlibat secara emosional. Bukan pada dua pria yang sedang beradu fisik, melainkan si wanita yang batinnya bergejolak, kala lukanya justru dijadikan ajang pembuktian maskulinitas. Ibaratnya seperti para aktivis berstandar ganda, yang daripada benar-benar memedulikan korban, lebih mementingkan peningkatan citra.
(DISNEY+ HOTSTAR)
REVIEW - ZACK SNYDER'S JUSTICE LEAGUE
Saya tidak perlu menjelaskan panjang lebar mengenai bagaimana pergerakan #ReleaseTheSnyderCut berhasil merealisasikan apa yang sebelumnya nampak mustahil. Tapi saya perlu menegaskan, bahwa Zack Snyder's Justice League jauh lebih baik, sekaligus film yang "berbeda" dibanding versi Joss Whedon (saya termasuk sebagian kecil penonton yang cukup menikmatinya).
Kata "berbeda" di sini punya definisi yang tak sederhana. Garis besar alurnya masih sama. Bruce Wayne / Batman (Ben Affleck) membentuk tim metahuman yang terdiri dari Diana Prince / Wonder Woman (Gal Gadot), Arthur Curry / Aquaman (Jason Momoa), Barry Allen / The Flash (Ezra Miller), dan Victor Stone / Cyborg (Ray Fisher), guna menghadapi Steppenwolf (Ciarán Hinds), yang bersama pasukan Parademons miliknya, berusaha mengumpulkan tiga Mother Boxes. Merasa tak cukup kuat, para superhero memutuskan untuk menghidupkan kembali Clark Kent / Superman (Henry Cavill).
Gagasan dasarnya serupa, namun pengembangannya berbeda. Konon cuma 20% dari versi bioskopnya yang merupakan hasil karya Snyder. Sedangkan 80% sisanya adalah footage baru ditambah modifikasi konsep lama. Sebelum menontonnya, saya termasuk kalangan yang menganggap pernyataan di atas hanya strategi marketing belaka. Sungguh saya keliru. Begitu menyaksikan Snyder Cut, saya bertanya-tanya, bagaimana mungkin jajaran eksekutif Warner Bros. menonton ini, kemudian berujar, "Film ini buruk dan terlalu gelap. Mari buat versi lebih ringan dengan kisah lebih sederhana"?
Tanpa campur tangan Whedon pun, film ini jauh lebih ringan dari Batman v Superman: Dawn of Justice berkat beberapa sentuhan humor, meski masih seperti biasa, Snyder bukan sutradara yang piawai soal comic timing. Soal durasi yang mencapai empat jam (tepatnya 242 menit, dibagi dalam enam babak plus epilog), saya yakin, bila dahulu berkesempatan menyelesaikan visi aslinya, Snyder takkan merilis film sepanjang itu, walau tentunya bakal lebih dari dua jam sebagaimana mandat Warner Bros. (durasi tiga jam seperti Avengers: Endgame rasanya masuk akal).
Versi ini mencapai empat jam karena Snyder tidak harus menerapkan asas kill your darlings (menghapus bagian-bagian yang dirasa kurang penting, seberapa pun sang pembuat karya mencintainya). Biarpun tidak lebih dari lima menit, turut terdapat adegan baru. Menurut Snyder, "adegan Knightmare" di mana Joker (Jared Leto) dan Batman bertemu, merupakan satu-satunya tambahan, namun saya cukup meyakini, momen penutupnya, tatkala Bruce disambangi oleh cameo salah satu karakter, baru diambil belakangan, mengacu pada konsep cerita dua sekuel Justice League yang tak menyertakan karakter itu, ditambah massa otot Ben Affleck yang berkurang. Harus diakui, beberapa update tersebut adalah wujud fan service menyenangkan, yang memancing rasa penasaran terhadap kelanjutan kisahnya (kini pergerakan RestoreTheSnyderVerse mulai bergema).
Di luar itu, perbedaan mendasar sudah nampak sejak menit pertama. Momen saat Batman memancing Parademon menggunakan ketakutan seorang pencuri hilang. Bahkan di sini, modus operandi Parademons bukanlah mencium aroma rasa takut, yang otomatis mengubah cara membunuh Steppenwolf. Sebagai gantinya, kita menyaksikan lagi kematian Superman, di mana teriakannya menciptakan gelombang suara begitu kuat, hingga mencapai Atlantis dan Themyscira, yang makin menegaskan bagaimana tragedi itu berdampak luar biasa.
Kemudian Steppenwolf memulai invasinya, dan semakin kentara superioritas Snyder Cut. Tengok pertempuran di Themyscira. Versi Whedon berlangsung cuma lima menit, sedangkan versi Snyder hingga sekitar 10-11 menit. Whedon yang menyebut dirinya feminis, rupanya tidak sehebat Snyder perihal menunjukkan kehebatan prajurit wanita Amazon, yang dengan lantang berteriak, "We have no fear!" kepada Steppenwolf. Dan sungguh Snyder memperlihatkan ketiadaan rasa takut mereka, melalui pertempuran dahsyat yang juga mengandung bobot emosional lebih. Ketimbang sekadar membuat Steppenwolf menerobos keluar dari kuil penyimpanan Mother Box, di sini kuil itu ditenggelamkan bersama puluhan prajurit Amazon. Bukan sebatas tragedi, melainkan pengorbanan berbasis kepahlawanan.
Kesan di atas makin kentara, lewat bertambahnya unsur kekerasan. Zack Snyder's Justice memang mendapat rating R karena beberapa cipratan darah, yang meski tak sampai membuat filmnya layak dicap "gory", terbukti meningkatkan dampak adegan aksi, bahkan di saat kelemahan CGI masih terasa di sana-sini. Musik gubahan Tom Holkenborg a.k.a. Junkie XL terdengar menggelegar, menambah nuansa epik, yang tak dimiliki buatan Danny Elfman. Bukan berarti hasil karya Elfman buruk, hanya saja, bukan iringan yang pas guna membungkus aksi masif para dewa. Begitu pula rasio aspek 4:3 khas IMAX, sehingga jajaran superhero-nya tampak bak dewa-dewa agung yang berdiri di tengah umat manusia.
Naskah Chris Terrio juga terkatrol kualitasnya, baik soal penokohan maupun penceritaan. Saya mengeluhkan bagaimana Batman v Superman: Dawn of Justice dan Justice League membuat salah satu superhero paling badass sepanjang masa terlihat bak pecundang di hadapan lawan (serta kawan) berkekuatan super. Kali ini, Snyder dan Terrio sanggup menjadikan Batman jauh lebih berguna, tanpa mengsampingkan fakta bahwa ia manusia biasa. Berkat teknologi serta kepintarannya, jangankan melawan Parademons, Batman bisa menahan mata laser Superman, walau cuma sementara.
Saya bukan penggemar Affleck kala ia mengenakan mantel Batman, namun sebagai Bruce Wayne, ia salah satu yang terbaik (bagi saya, cuma kalah dari Michael Keaton). Penokohan Bruce lebih konsisten, betul-betul memperlihatkan proses perubahannya, dari figur paranoid di Batman v Superman: Dawn of Justice, menjadi, well, paranoid yang lebih memiliki harapan, serta mulai bersedia menaruh kepercayaan terhadap orang lain.
Cyborg jauh lebih berkembang lagi. Penonton diajak mempelajari betapa luar biasa potensi kekuatannya (penutup trilogi Justice League berencana menjadikannya semacam "dewa teknologi"), pula lebih terikat secara emosional, terkait konflik batin Victor. Kita tahu mengapa ia begitu membenci sang ayah (Joe Morton), mengapa proses tranformasinya begitu memilukan, pun konklusi hubungan ayah-anak tersebut berbeda. Lebih emosional, yang memungkinkan Fisher memberi performa dramatik solid.
Meski tak sampai meningkatkan kelasnya di jajaran villain film superhero secara signifikan, Steppenwolf tak luput diberi bobot lebih, sebagai pelayan Darkseid (Ray Porter) yang pernah berkhianat, dan tengah berusaha mengembalikan kepercayaan tuannya. Semua terjadi, sebab Snyder benar-benar peduli dan mengenal karakter-karakternya. Alhasil pengarahannya juga sarat sensitivitas, walau dalam bentuk dramatisasi penuh gerak lambat plus musik folk/rock, yang bagi sebagian penonton mungkin dianggap berlebihan. Aksi Barry menyelamatkan Iris (Kiersey Clemons) diiringi lagu Song to the Siren adalah peristiwa "cinta pada pandangan pertama" yang cheesy tetapi manis, sedangkan Distant Sky milik Nick Cave menemani rutinitas Lois Lane (Amy Adams) membeli kopi di pagi hari. Perlukah? Mungkin tidak, tapi bukankah sewaktu patah hati, dirundung duka akibat kehilangan, merindukan seseorang, atau malah gabungan ketiganya, hidup kita memang bagai berada dalam gerak lambat, yang makin terasa "nikmat" jika ditemani rintik hujan dan lagu-lagu sendu?
Kalau anda seperti saya, yang mempertanyakan cara kerja Mother Boxes di versi bioskop, maka film ini muncul dengan jawaban. Daripada perdebatan mengenai etika yang tak lebih dari versi medioker dari pertengkaran Avengers di The Avengers, "rapat perdana" Justice League berisikan eksposisi tentang itu, sekaligus penjelasan mengapa Superman menjadi individu berbeda ketika dibangkitkan lagi. Lalu saat ingatannya kembali, terdapat penjelasan lebih nyata sekaligus heartful, yang makin emosional berkat What Are You Going to Do When You Are Not Saving the World buatan Hans Zimmer.
Superioritas Zack Snyder's Justice League makin tidak bisa disangkal begitu mencapai klimaks. Salah satu alasan saya menyukai Justice League adalah kembalinya Superman sebagai beacon of hope, dan nyatanya, Snyder melakukan hal serupa secara lebih baik. Mengenakan kostum hitamnya, Superman muncul, mengucapkan kalimat paling badass sepanjang film, kemudian melancarkan serangan brutal. Masih deus-ex-machina yang overpoweres, tapi kali ini dia tidak bekerja sendirian. Kedatangannya membuat Justice League bekerja lebih efektif sebagai tim.
Tapi sebagaimana keseluruhan film, poin terbaik klimaksnya terletak pada gagasan besar di universe Snyder, sekaligus bagaimana ia memperlakukan para jagoan layaknya dewa. Misalnya di momen paling jaw-dropping berbalut visual fantastis, tatkala The Flash memamerkan salah satu kekuatan terhebatnya (that somehow mirroring one moment in the third act of 'Avengers: Infinity War', but this time for the heroes' sake). Justice League adalah tim berisi gabungan dewa, yang juga bertarung melawan para dewa, dan Zack Snyder's Justice League memperlakukan mereka sebagaimana mestinya.