TIME TO HUNT (2020)
Rasyidharry
April 24, 2020
Action
,
Ahn Jae-hong
,
Choi Woo-shik
,
Crime
,
Cukup
,
Korean Movie
,
Lee Je-hoon
,
Lim Won-geun
,
Park Hae-soo
,
Park Jung-min
,
Primary
,
REVIEW
,
Thriller
,
Yoon Sung-hyun
1 komentar
Time to Hunt merupakan film Korea Selatan pertama yang
berkesempatan tayang di Berlinale Special,
sebuah program dalam Festival Film Internasional Berlin yang menyoroti film
dengan format unik dan/atau punya relevansi topik. Berlatar dunia distopia, di
sini tidak ada neon warna-warni, hologram, maupun mobil terbang. Semua seperti
dunia kita sekarang, hanya lebih suram, pun gedung-gedung terbengkalai jamak
dijumpai, di mana banyak di antaranya merupakan toko yang ditinggalkan sang
pemilik selepas gulung tikar.
Tidak ada pemberontakan robot, tidak
ada perang saudara, tidak ada ledakan nuklir penghancur segala. Dari berita
yang secara berkala sayup-sayup terdengar dari televisi, kita tahu Korea Selatan
mengalami krisis finansial. IMF menolak memberikan dana bantuan tambahan.
Demonstrasi buruh akhirnya jadi pemandangan sehari-hari. Tidakkah itu terasa
relevan? Begitu dekat, kita bisa membayangkan bila situasi serupa terjadi pada
realita.
Mata uang won hancur lebur dan cuma
dollar yang masih punya nilai. Banyak orang bebas membawa senjata api. Tapi
bukankah senjata api di film aksi merupakan kewajaran? Korea Selatan berbeda
dengan Amerika Serikat. Pertaturan tentang senjata begitu ketat, di mana
seluruh senjata api yang dipakai untuk aktivitas berburu hingga olah raga mesti
disimpan di kantor polisi. Coba perhatikan. Bukankah film aksi Korea Selatan
lebih sering mengedepankan perkelahian tangan kosong atau dengan senjata tajam?
Di tengah kekacauan, hiduplah empat
sahabat: Jang-ho (Ahn Jae-hong), Ki-hoon (Choi Woo-shik), Sang-soo (Park
Jung-min), dan Joon-seok (Lee Je-hoon) yang baru keluar dari penjara. Joon-seok
mendekam dalam bui agar ketiga kawannya lolos, sewaktu aksi mereka merampok
toko perhiasan tidak berjalan mulus. Berharap memakai uang hasil rampokan untuk
memulai hidup baru di Taiwan, Joon-seok harus kecewa saat situasi carut-marut
ditambah aturan-aturan ekonomi baru membuat uang mereka nyaris tak bersisa.
Yoon Sung-hyun (Bleak Night) sebagai sutradara sekaligus
penulis naskah tidak langsung membawa filmnya tancap gas. Dibangun pelan-pelan,
setelah melewati 30 menit, barulah kita melihat Joon-seok memimpin teman-temannya
melakukan aksi gila, yakni merampok kasino tempat Sang-soo bekerja. Berbeda
dengan perampokan sebelumnya, kali ini, begitu karyawan kasino menyalakan
alarm, alih-alih polisi, sekelompok premanlah yang turun tangan mengejar
keempat protagonis kita. Risikonya bukan mendekam di penjara, melainkan
meregang nyawa.
Beruntung mereka berhasil lolos dan
berteriak kegirangan melihat setumpuk uang di dalam tas. Semakin keras teriakan
bahagia itu ketika Sang-soo tidak lupa membawa pergi harddisk berisi rekaman CCTV kala perampokan dilangsungkan. Andai
mereka tahu ada rekaman lain yang tersimpan di harddisk tersebut, mungkin teriakan tadi berubah jadi teriakan
ketakutan, dan mereka akan berharap Sang-soo lupa menjalankan tugasnya.
Siapa sangka, akibat sekeping harddisk, seorang pembunuh misterius
bernama samaran Han (Park Hae-soo) sampai memburu mereka. Han adalah antagonis
yang bak tak punya emosi humanis. Baginya, membunuh ibarat hiburan di waktu
senggang. Ditambah tatapan dan senyum dingin Park Hae-soo, membuatnya makin
mengerikan. Sosok Han tak ubahnya pembunuh dari film-film slasher (Atau Terminator?
Atau Anton Chigurh dari No Country for
Old Men?).yang berjalan santai mendekati mangsanya dan bisa tiba-tiba
muncul di mana pun. Bagaimana bisa dia tahu hotel tempat Joon-seok dan
kawan-kawan menginap?
Sung-hyun menyuntikkan elemen thriller kental tidak hanya melalui villain-nya. Dibantu sinematografer Lim
Won-geun, sang sutradara mengincar nuansa atmosferik lewat pencahayaan minim
yang didominasi warna hijau atau merah. Melengkapi visualnya, departemen audio
pun berjasa membangun intensitas. Primary, musisi hip hop sekaligus produser yang
telah berkolaborasi dengan banyak nama besar (Zion. T, Simon D, MBLAQ, Jessi, EXID,
JB, dan lain-lain), memproduksi musik yang membantu usaha Sung-hyun menggedor
jantung penonton melalui aksi kucing-kucingan dan baku tembak bertempo cepat.
Tata suaranya pun sempat pamer kreativitas sewaktu meleburkan bunyi alarm mobil
dengan musik chaotic, hingga sampai
pada titik di mana penonton sulit membedakan mana suara alarm, mana musik.
Urusan teknis aksi, Time to Hunt memang nyaris tanpa
masalah. Di luar itu, sayangnya lain cerita. Penulisan terhadap keempat
protagonisnya lemah. Mereka membosankan, tidak digali secara memadai, sehingga
tak menyisakan alasan bagi penonton untuk menaruh kepedulian. Alhasil, tiap
adegan aksinya rehat sejenak, dinamika seketika lenyap. Datar. Persoalan
terkait naskah ini sayangnya berlanjut sampai akhir.
Menjelang klimaks, Sung-hyun
tiba-tiba menyertakan satu pihak tambahan, yang fungsinya hanya semacam deus ex machina yang mengkahiri konfik
sedemikian gampang, daripada alat
bantu menambah keseruan dan/atau kompleksitas konflik. Yoon Sung-hyun memilih
tak menuntaskan proses perkembangan karakternya demi menjadikan Time to Hunt sebagai setup bagi sekuel yang jauh lebih
menarik. Padahal ada potensi emosi yang cukup tinggi, tersimpan dalam ironi
tentang seseorang yang pergi mencari kedamaian, namun begitu tiba di tujuan, ia
justru dihantui ketakutan, kecemasan, kemarahan, dan rasa bersalah. Banyak rasa
berkecamuk dalam dirinya, tapi tidak ada kedamaian.
Available on NETFLIX
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
1 komentar :
Comment Page:Ini film lumayan menegangkan, ga sy sangka, bakal semenarik ini klo melihat 30menit diawal.pas 30 menit terakhir malah kendor filmnya, hrsnya banyak kesempatan han bs bunuh joon seok, tp dilepas gt aja.hrsnya bs selesai 90menit aja nih film, abis itu siapin deh sekuel lanjutan yg kayanya bakal lebih keren.
Posting Komentar