TROLLS WORLD TOUR (2020)

4 komentar
Film acap kali jadi media eskapisme, bahkan—walau tak seberapa sering—bisa memunculkan harapan. Pada kondisi biasa, Trolls World Tour mungkin hanya sekuel kelas dua yang tak terlalu dinantikan, dari film yang empat tahun lalu sukses mengumpulkan $346 juta. DreamWorks juga menurunkan biaya produksinya dari $125 juta menjadi $90 juta. Sampai terjadi pandemi corona yang mengguncang industri perfilman dan memaksa judul-judul high profile menunda penayangan.

DreamWorks menempuh jalur lain. Trolls World Tour langsung dilempar ke pasaran lewat media digital. Mendadak, ia pun menjadi salah satu film terpenting tahun ini. Film yang membawa keceriaan agar penonton bisa sejenak teralih dari dunia yang kelam. Film yang memberi harapan, bahwa industri masih memiliki opsi untuk bisa bertahan, atau malah berevolusi mengikuti perubahan zaman.

Tidak ada maskot yang lebih pas dari Trolls World Tour, dengan banjir warna-warni, hujan glitter, serta visual imajinatif miliknya. Kisahnya membawa kita mengikuti keadaan pasca film pertama, sekaligus mengintip sejarah bangsa trolls di masa lalu. Alkisah, ternyata ada enam jenis Trolls yang menyukai genre musik berbeda-beda. Bersama mereka ada enam buah senar yang mewakili tiap jenis musik, dan bila disatukan bakal menghasilkan kekuatan luar biasa. Masalahnya, perbedaan selera menciptakan perpecahan, sehingga keenam trolls memilih hidup terpisah, dengan masing-masing membawa sehelai senar.

Kini datanglah Barb (Rachel Bloom), Ratu dari klan Hard Rock Trolls, yang ingin menguasai semua senar, guna menyatukan semua Trolls di bawah naungan tunggal musik rock. Sebagai Ratu dari Pop Trolls, Poppy (Anna Kendrick) menolak tinggal diam. Dibantu beberapa temannya, termasuk Branch (Justin Timberlake) yang diam-diam menaruh rasa padanya, Poppy mengunjungi satu per satu klan Trolls, untuk memperingatkan mereka tentang niat jahat Barb.

Tentu saja perjalanan Poppy cuma alasan yang dibuat tim penulis naskah, agar filmnya dapat menampilkan sebanyak mungkin jenis musik dan trolls. Selepas pertemuan dengan Country Trolls yang dipimpin Delta Dawn (Kelly Clarkson), substansi road trip-nya mulai bisa dipertanyakan. Tapi tak perlu dipermasalahkan. Cukup nikmati alunan musik beraneka genre, yang ditemani deretan desain karakter dan konsep dunia unik, dalam kekayaan visual garapan sutradara Walt Dohrn yang makin menunjukkan pesonanya tiap sebuah musik dimainkan.

Wilayah Hard Rock Trolls berantakan dan didominasi warna hitam, Classical Trolls terkesan surgawi, Pop Trolls penuh warna, dan sebagainya. Menarik melihat bagaimana tim artistik Trolls World Tour menyulap elemen stereotipikal jadi pemandangan imajinatif, yang selain memuaskan mata, turut berguna memperkuat komedi, yang banyak menghantarkan tawa lewat humor-humor bertema musik. Bukan banyolan intelektual sarat referensi, melainkan kekonyolan, misalnya saat Guy Diamond (Kunal Nayyar) si troll bertubuh glitter bersuara auto-tune, yang “melahirkan” Tiny Diamond (Kenan Thompson), troll hip-hop yang walau masih bayi, penuh gaya dan punya suara berat.

“Itu bukan musik” adalah tanggapan Barb mengenai gaya digital techno dan ketiadaan lirik dalam gaya classical. Sementara Poppy berkata, “They must not know that music supposed to makes you happy. That’s awful.”, selepas mendengar lantunan sendu para Country Trolls. Sindiran-sindiran menggelitik tentang eksklusivitas yang dianut penggemar musik, khususnya para snob (apa pun genrenya), adalah kandungan paling menarik dalam cerita filmnya. Lebih menarik dan tajam dibanding pesan klise seputar “musik berasal dari hati kita” yang mengisi klimaksnya.

Meski tidak mempunyai lagu orisinal se-catchy Can’t Stop the Feeling, dan niatan menyatukan semua musik di momen puncaknya tak berlangsung mulus akibat masih terlalu condong ke arah pop ketimbang menegaskan kekuatan tiap genre, barisan lagu-lagu film ini tampil bak playlist variatif nan asyik (selama anda bukan snob), yang memberi ruang bagi penggemar musik tertentu, termasuk smooth jazz, hip-hop, pula K-Pop, yang (seperti saya), dipuaskan oleh kemunculan singkat girl group Red Velvet lewat lagu Russian Roulette (selain Zimzalabim yang dipakai mengiringi trailer-nya).

Alurnya memang tidak padat, dan mencapai pertengahan, gelaran warna-warninya sempat terasa repetitif. Otak saya tidak terstimulus atau mendapat asupan yang dianggap “bergizi”, namun begitu film usai, muncul senyuman, dan hati ini terasa lebih ringan, karena keceriaan dan warna-warna belum sepenuhnya lenyap dari dunia.


Available on AMAZON PRIME VIDEO (US Region)

4 komentar :

Comment Page:
Mukhlis mengatakan...

Wah, wilayah as? Berarti Mas lihat film ini melalui VPN, atau downloadan?

Rasyidharry mengatakan...

Pake vpn dan akun Amazon US

gregory mengatakan...

מזדיין

Pak Pipin mengatakan...

Bang rasyid tolong review Spencer Confidential