THE HALF OF IT (2020)

3 komentar
Disclaimer berbunyi “this is not a love story” sudah menjadi keklisean baru dalam suguhan romansa yang membawa keinginan tampil beda. Salah satu quote dalam The Half of It yang berbunyi “Doesn’t everyone think they’re different? But pretty much we’re all different in the same way” dapat diaplikasikan kepada film-film semacam itu. Apakah The Half of It merupakan cerita cinta? Ya dan tidak. Apakah pengemasannya baru? Beberapa ya, beberapa tidak.

Film kedua sutradara sekaligus penulis naskah Alice Wu setelah mencetak sejarah lewat Saving Face (2004)—selaku film Hollywood pertama dengan tokoh sentral Cina-Amerika selama lebih dari satu dekade—ini tetaplah romansa. Masih melibatkan beberapa remaja yang (diam-diam) saling suka, walau tak sepenuhnya demikian, sebab konklusinya sendiri berusaha menjangkau sesuatu yang lebih luas. Ada kesegaran terkait caranya menangani cinta segitiga, meski sekarang, komedi-romantis yang cenderung lembut ketimbang eksplosif dalam mengutarakan rasa, sederhana ketimbang festive, menampilkan manusia sehari-hari ketimbang sosok-sosok glamor nan rupawan, mulai menciptakan keumuman yang baru.

Ellie Chu (Leah Lewis) merupakan tipikal protagonis komedi-romantis masa kini. Penampilannya tidak feminin, terasing dari lingkungan sosial, seorang murid teladan, walau untungnya, penulisan Wu dan penampilan Lewis membuatnya tak seklise itu. Tidak terasa aura kesengsaraan, meski ia tetap punya sudut pandang pesimistis pula skeptis. Ellie tidak percaya Tuhan (yang melahirkan beberapa humor yang menyentil religiusitas termasuk kekacauan luar biasa lucu di gereja jelang akhir cerita), pun ia memandang cinta secara logis.

Ellie memanfaatkan kepintarannya untuk berbisnis. Dia menerima jasa penulisan makalah filsafat bagi teman-teman sekelasnya. Sewaktu Paul (Daniel Diemer) memintanya menuliskan hal lain, yakni surat cinta untuk Aster (Alexxis Lemire), gadis cantik yang terjebak dalam hubungan dengan alpha male populer yang bodoh, Ellie bertanya, bagaimana bisa Paul mencintai seseorang yang tak pernah ia ajak berinteraksi langsung.

Cinta tak harus logis. Kita bisa mencintai seseorang yang tak begitu kita kenal. Pun setelah bertemu Aster, anda akan memahami kenapa Paul bisa jatuh hati. Dia cantik, senyumnya seolah menebarkan kebaikan, dan terpenting, ia berwawasan luas. Mudah bersimpati terhadap Aster, yang memiliki pacar bodoh, juga koran surat cinta palsu yang membangkitkan harapan palsu, bahwa ada pria baik nan cerdas yang dapat mencuri hatinya.

Tapi Ellie juga tak seutuhnya keliru. Cinta juga soal mengenal satu sama lain. Tanpa itu, takkan ada koneksi, seperti yang menimpa Paul dan Aster pada sebuah kencan perdana yang berantakan, di mana menyedot milkshake lebih sering dilakukan daripada bertukar pikiran.

Melihat dari apa yang sudah saya tulis, mungkin anda menemukan beberapa kontradiksi dalam filmnya. Sederhananya, membingungkan. Bagaimana tidak? Bukankah cinta membingungkan? Bukankah masa remaja membingungkan? Bayangkan betapa membingungkan saat kedua hal itu bertemu. Semakin rumit ketika pelan-pelan kita menyadari kalau Ellie adalah lesbian, dan mulai timbul kecurigaan jika ia pun menyukai Aster. Elemen tersebut memberi twist menarik untuk cinta segitiganya. Sebuah sentuhan yang membuatmu sulit menerka kisahnya bakal berakhir di mana.

Lagipula siapa yang bisa menebak hasil akhir dari problematika remaja yang senantiasa kompleks, dan seringkali di luar nalar orang dewasa. Tapi The Half of It bukan suguhan teen angst. Dan karena punya protagonis seorang queer, bukan berarti filmnya harus sarat pesan sebagai suatu tontonan berorientasi protes. Alice Wu memperlakukan elemen LGBT “hanya” sebagai salah satu bagian dari perjalanan remaja mencari jati diri.

The Half of It ingin tampil serealistis mungkin, meskipun melambungnya popularitas Ellie secara mendadak pasca sebuah penampilan sederhana di atas panggung, jelas bukan wujud realisme. Turut menyimpan masalah adalah penyutradaraan Alice Wu. Minim letupan, tender, yang mana merupakan niatan baik guna membawa keintiman lebih, biarpun seringkali, sang sutradara terlalu sibuk bermain simbolisme visual, sembari berusaha keras menekan ekspresi rasa supaya filmnya tidak berwajah mainstream. Tapi satu titik yang memperlihatkan kesuksesan sensitivitas Alice Wu terletak pada ending, tatkala selama beberapa detik, bersama karakternya, kita diajak meresapi kedamaian dalam momen. Like the moment seizes us, absorbs us into its existence.


Available on NETFLIX

3 komentar :

Comment Page:
Ismail F mengatakan...

Setelah nonton ini..
The Half of It >>> To All The Boys I've Loved Before
hehehehe, lebih suka ceritanya Ellie Chu daripada Lara Jean

Unknown mengatakan...

Ciee sekarang cuma nonton legal version. Dulu nonton format dvdscr dari zero dark thirty. Good luck aja mas rasyid

Rasyidharry mengatakan...

Oh iya. Nggak pernah menyangkal pernah nonton bajakan. Tapi di saat sekarang streaming legal udah banyak dan akses gampang mah ngapain