HONEYLAND (2019)
Rasyidharry
Juli 18, 2020
Bagus
,
Documentary
,
European Film
,
Ljubomir Stefanov
,
REVIEW
,
Tamara Kotevska
4 komentar
Merupakan dokumenter pertama sepanjang sejarah yang meraih
nominasi Oscar di kategori Best
International Feature Film (perwakilan Makedonia) sekaligus Best Documentary Feature, duo sutradara
Tamara Kotevska dan Ljubomir Stefanov awalnya hendak menjadikan Honeyland sebuah dokumenter pendek
mengenai lingkungan di sekitar sungai Bregalnica yang didanai oleh pemerintah.
Sampai mereka bertemu Hatidže Muratova di lokasi.
Hatidže adalah peternak lebah liar (salah satu yang terakhir
di Eropa) yang tinggal di Bekirlija, sebuah desa terpencil tanpa listrik dan
sumber air, bersama sang ibu yang berumur 85 tahun dan sudah amat lemah
sehingga selama empat tahun terakhir hanya berada di tempat tidur. Fokus Honeyland pun dialihkan ke arah hubungan
ibu-anak tersebut, sembari menyoroti keseharian Hatidže beternak lebah. Prinsip
Hatidže adalah, “Cukup ambil separuh madu dan tinggalkan separuhnya untuk para
lebah”. Tujuannya jelas: keseimbangan ekosistem.
Kotevska dan Stefanov sejatinya tak berniat menambahkan
konflik. Jendela bagi penonton mengintip kehidupan yang jarang diekspos jadi
tujuan. Lalu datang peternak nomaden bernama Hussein Sam beserta istri dan tujuh
anaknya, yang menetap di sana. Awalnya tak banyak perubahan berarti. Kita masih
disajikan keseharian normal, diajak mengintip rutinitas keluarga nomaden
tersebut, termasuk bagaimana mereka menjalin hubungan harmonis dengan Hatidže.
Desa yang sunyi berubah jadi ramai, dan mungkin bagi Hatidže, itu menyemarakkan
hidupnya, memberikan warna baru.
Hatidže sendiri merupakan sosok ramah, ceria, juga bertenaga.
Kepribadian yang bukan cuma membuatnya disukai anak-anak Hussein, pula
menjadikan tangkapan realita di paruh pertama Honeyland tetap menarik disimak, walau ketidakpastian fokus maupun
permasalahan cukup menguji kesabaran, meski memang gaya bertutur demikian yang
diincar oleh kedua sutradara. Tapi lagi-lagi rencana berubah.
Melihat potensi bisnis jual-beli madu milik Hatidže, Hussein
terdorong melakukan hal serupa. Awalnya Hatidže dengan senang hati mengulurkan
bantuan. Bisnis pun berjalan mulus. Hingga permintaan pasar meroket, memaksa
Hussein mensuplai madu lebih banyak dari yang ia mampu. Prinsip “take half, leave half” perlahan Hussein lupakan
tatkala keuntungan— selaku bagian budaya konsumerisme— mulai membutakan. Akibat
tiada lagi madu tersisa di sarang, lebah-lebah Hussein menyerang lebah Hatidže.
Kerusakan terjadi, dengan harmoni alam, pula sesama manusia (keluarga dan
tetangga) menjadi korban.
Beberapa kali perubahan fokus cerita itu, alih-alih
mengganggu, justru mampu menangkap esensi realita, di mana seringkali hidup
berjalan tak sesuai rencana akibat terjadinya hal-hal di luar perkiraan. Para
pembuat filmnya, sebagaimana subjek mereka, dituntut beradaptasi, menciptakan
koneksi antara si pembuat karya dengan karyanya.
Kotevska dan Stefanov menerapkan gaya fly on the wall dan cinéma
vérité, yang sama-sama bertujuan menelanjangi kebenaran melalui visual. Pertemuan
antara kedua gaya di atas dengan perubahan arah narasinya justru saling
menguatkan. Tanpa narasi voice over,
penonton diposisikan sebagai observer tak kasat mata yang masuk ke ruang intim
karakter. Kita bukan dibawa pada studi kasus masa lampau, tapi mengalami langsung
lika-liku peristiwanya, termasuk deretan change
of event tanpa rekayasa. Baik penonton, kamera, maupun objek, (seolah)
menjalaninya secara bersamaan. Andai konflik serupa dituturkan melalui media
drama fiktif, dampaknya takkan sebanding karena ketiadaan kesan “right here right now” yang organik.
Pembuatan Honeyland memakan
waktu tiga tahun. Stok rekaman sekitar 400 jam berhasil dikumpulkan. Waktu yang
cukup untuk membuat jajaran individunya, yang konon awalnya malu-malu di depan
kamera, menjadi terbiasa. Mereka tak menahan diri dalam meluapkan isi hati.
Mereka melupakan keberadaan kamera, begitu pula kita. Honeyland benar-benar menangkap realita. Sebuah realita yang heartbreaking tatkala (seperti biasa)
manusia menginvasi harmoni.
Available on HULU
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
4 komentar :
Comment Page:Langganan Hulu di Indonesia gmn? Apakah ada penyedia nya juga seperti netflix?
Harus pake vpn US dan donlot aplikasinya di web
Bayarnya gimana mas? Pusing bgt nyari CC US buat sign up hulu.
Wah selain pake CC US kurang tahu
Posting Komentar